Menuju konten utama

Akar Masalah Penjarahan di Sulteng Karena Bantuan Tak Merata

Penjarahan diprediksi terjadi sebagai bentuk protes. Sebab pemerintah belum bisa menyalurkan bantuan secara merata.

Akar Masalah Penjarahan di Sulteng Karena Bantuan Tak Merata
Warga mengambil barang yang ada di mall PGM pascatsunami di wilayah Talise, Palu Barat, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Sulawesi Tengah (Sulteng) mengubah 61.867 warganya menjadi pengungsi. Di provinsi itu penyaluran bantuan yang tak merata, menjadi akar masalah munculnya penjarahan dan pencegatan berbagai mobil pengangkut logistik.

Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengistilahkan, saat ini Sulteng dihantam “periode panik”. Fenomena semacam itu kerap terjadi dalam proses penanganan darurat usai bencana besar.

"Itu bisa terjadi karena, pertama, mereka masih trauma dengan kejadian yang ada di sana, apalagi gempa susulan masih berlangsung. Selain itu kebutuhan sehari-hari ternyata terbatas. Makanan, minuman, rumahnya sudah hancur, dan ketersediaan yang lain terbatas," kata Sutopo saat ditemui reporter Tirto, Selasa (2/10/2018).

Dampaknya, menurut Sutopo, menyebabkan stres dan perasaan menderita bagi sebagian masyarakat Sulteng. Maka dari itu, dia menegaskan, perlu ada terapi trauma healing untuk meminimalisir efek traumatik korban.

"Agar mereka tetap optimis dan semangat," tuturnya.

Sutopo menjelaskan, sejauh ini masyarakat harus bisa bertahan dan menanti datangnya bantuan. Keadaan tersebut harus dihadapi dengan sabar.

"Hingga hari ketiga, gimana mau masuk wong jalannya rusak. Bandara juga terbatas, sehingga banyak makanan dan logistik tapi tak bisa dikirim ke daerah," ungkapnya.

Kebutuhan Pokok Harus Segera Terpenuhi

Psikolog UNIKA Atma Jaya Indra Nurpatria menganggap penjarahan barang-barang kebutuhan dasar oleh masyarakat usai bencana bisa diwajarkan. Sebabnya, menurut psikolog bencana yang terlibat dalam penanggulangan bencana sejak tsunami Aceh tahun 2004 ini, kebutuhan pokok mereka mendesak untuk dipenuhi.

"Dalam konteks psikologi bencana, kebutuhan mendesak manusia setelah bencana besar adalah kebutuhan dasar. Supaya bertahan hidup, supaya terpenuhi, melakukan penjarahan itu masuk akal," kata Indra saat dihubungi Tirto, Selasa (2/10/2018) malam.

Indra menuturkan, kemungkinan besar penjarahan kebutuhan pokok terjadi karena warga protes atau mengekspresikan amarah pada pemerintah. Sebab kebutuhan mereka belum bisa dipenuhi pemerintah.

Sementara soal penjarahan barang elektronik, Indra menilai, itu tak ada hubungannya dengan psikologis masyarakat yang emosional akibat hilangnya keluarga yang belum terevakuasi.

"Kalau reaksinya nyolong TV atau barang elektronik, ya enggak nyambung. Enggak ada hubungannya. Enggak bisa dikatakan bahwa itu bisa jadi pelampiasan," lanjutnya.

Indra mengatakan bahwa terdapat tiga hal yang harus dipenuhi untuk memulihkan keadaan psikologis korban bencana. Pertama ialah, korban bencana harus merasa aman dan nyaman meski sebagian besar dari yang mereka punya hancur ditelan bencana.

"Pemerintah harus memastikan [rasa keamanan] ini," katanya.

Kemudian kedua, kepastian ketersediaan kebutuhan dasar seperti makanan dan minum. Sedangkan ketiga, perlahan memulihkan rutinitas.

"Contoh karena ada perasaan tidak nyaman tidur di rumah pasca-gempa, akhirnya lebih nyaman di tenda, ya akhirnya lebih memilih di tenda," lanjutnya.

Infografik CI dari asing untuk palu

Upaya Pemulihan Psikososial

Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pihaknya telah berupaya mempercepat pemulihan keadaan psikologis korban bencana Sulteng. Salah satu caranya ialah sudah bekerja sama dengan Kementerian Sosial yang memiliki wewenang melaksanakan trauma healing.

"Jadi di dalam penanganan darurat itu ada namanya kluster-kluster. Kluster kesehatan oleh Kemenkes, kluster SAR oleh Basarnas, kluster pengungsi oleh Kemensos. BNPB fungsinya hanya koordinator. Jadi nanti detailnya bisa ditanyakan Kemensos," kata Sutopo.

Staf Ahli Kementerian Sosial Syahabuddin mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya pemulihan keadaan psikologis korban bencana. Hal tersebut sudah dijalankan dan akan menjadi program jangka panjang.

"Kami sudah turunkan layanan psikososial di Palu, dari perguruan tinggi dan Kemensos, dari psikolog dan penyuluh agama juga ada. Contoh hadirkan agenda menulis dan menggambar sebagai bentuk trauma healing ke anak-anak. Supaya mereka layaknya di rumah," kata Syahabuddin kepada reporter Tirto, Selasa (2/10/2018).

Syahabuddin menuturkan, hingga kini di Lompok pun, program serupa masih terus digerakkan. “Saya baru mengalihkan tim dari Lombok ke Palu karena sangat emergency," tuturnya.

Meski sejumlah upaya sudah dan akan dilakukan pemerintah, psikolog Indra Nurpatria memberi catatan, pemerintah dan media harus berhati-hati dalam menggunakaan kata ‘trauma’. Sebab menurutnya bencana di Sulteng baru berlalu kurang dari seminggu, maka belum bisa dikatakan sebagai trauma.

"Harusnya lebih ke pemulihan atau pemenuhan psikososial. Jika trauma, menegakkan diagnosis trauma enggak bisa secepat itu," tutupnya.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Dieqy Hasbi Widhana