tirto.id - “Menjadi tuan rumah SEA Games adalah kesempatan Filipina menunjukkan kepada dunia sejauh apa mereka melangkah, khususnya di era Presiden Rodrigo Duterte.”
Kalimat tersebut diutarakan senator Filipina, Christopher Lawrence Tesoro Go alias Bong Go saat menggelar konferensi pers di Gedung Senat, 23 Juli 2019 lalu. Dasar dari pendapat itu sederhana, karena SEA Games adalah momen yang akan bikin media di seantero dunia mengarahkan lampu sorot mereka kepada Filipina.
Empat bulan berlalu, pembukaan pesta olahraga terbesar Asia Tenggara ini tinggal menghitung hari. Dan seperti ucapan Bong Go, tak lama lagi pandangan dunia terhadap Filipina era Duterte akan menyeruak.
Apesnya, tanda-tanda sejauh ini justru menunjukkan kalau PHISGOC, panitia pelaksana SEA Games 2019 bakal mendapat rapor merah.
Terkait hal paling sederhana, pengurusan ID wartawan misal, panitia gagal menjadi fasilitator yang baik. Mereka kurang responsif terhadap keluhan sejumlah wartawan yang mengurus proses akreditasi.
Saat seluruh ID peliputan sudah tercetak, Senin (25/11/2019), proses pendistribusian ke masing-masing pemilik juga tidak dipermudah.
ID-ID tersebut hanya diletakkan di ruang media, tanpa diurutkan berdasarkan abjad nama wartawan. Akibatnya, awak media yang mengambil akreditasi peliputan harus membuang waktu lama untuk menemukan ID masing-masing.
Beredarnya foto kondisi ruang konferensi pers cabor sepakbola yang memprihatinkan, menjadi puncak yang bikin Filipina jadi bulan-bulanan di media sosial. Tagar #SEAGamesFail bahkan sempat menempati urutan teratas trending topic Twitter hingga Selasa (26/11/2019) pagi.
Atlet Mengeluhkan Infrastruktur dan Akomodasi
Keluhan terhadap kinerja panitia bukan cuma muncul dari kalangan media. Tamu dari berbagai negara, khususnya para atlet mengalami hal lebih parah.
Hingga artikel ini rilis sepakbola adalah cabang yang memutar kompetisi paling awal. Dari para pemain dan staf cabor sepakbola berbagai negara, keluhan lebih sering terdengar ketimbang pujian.
Timnas Thailand misal. Mereka sempat mengeluhkan kondisi penginapan dan makanan yang mereka dapat. Menu yang disediakan panitia disebut tak memenuhi asupan nutrisi yang sepantasnya didapat para pemain.
Sementara soal penginapan, jarak yang terlalu jauh dengan lokasi latihan bikin Tim Gajah Putih sempat melakoni latihan di lapangan pinggir jalan.
“Bukan cuma kami yang mengalami ini. Timor Leste juga. Mereka butuh dua jam untuk pindah dari hotel ke tempat latihan, ini benar-benar tak realistis,” keluh kepala pelatih Thailand, Akira Nishino seperti dilansir Fox Sports.
Timor Leste, tim yang sempat disinggung Nishino, mengalami polemik tidak kalah pelik.
Selain perkara jarak hotel ke lokasi, pada Sabtu (24/11/2019) lalu, para penggawa tim Timor Leste ini sempat terlantar berjam-jam karena bus panitia mengantarkan mereka ke hotel yang salah.
Pengalaman buruk dengan bus yang disiapkan panitia juga dialami Myanmar. Tim ini sempat terhambat karena bus yang mendampingi mereka tidak memiliki ruang yang longgar untuk menampung seluruh pemain.
Lain lagi dengan cerita dari kontingen Malaysia. Pelatih Timnas Malaysia, Datuk Seri Subahan menyebut banyak stadion yang bahkan masih dalam tahap renovasi, termasuk Rizal Memorial Sports yang jadi lokasi laga perdana Harimau Malaya.
Situasi tersebut bikin kontingen Malaysia tidak merasakan kenyamanan ketika singgah di stadion berkapasitas 12.000 penonton tersebut.
“Ruang ganti stadion bahkan masih dalam renovasi,” tuturnya seperti dilansir The Star.
Ada lagi kasus yang belakangan menuai kritik paling pedas, terkait nasib skuat Kamboja usai tiba di hari pertamanya. Para pemain sempat tertidur di lantai hotel hampir lima jam karena menunggu pelayan menyiapkan kamar hotel mereka.
Pihak PHISGOC menyebut kasus yang menimpa Kamboja disebabkan detail kedatangan dari pihak ofisial yang terlambat mereka terima.
“Namun kami benar-benar meminta maaf atas apa yang menimpa tamu-tamu dari Timor Leste, Myanmar, khususnya Kamboja yang membuat para atlet dan ofisial kebingungan,” sambung PHISGOC dalam pernyataan tertulisnya.
Politikus Saling Lempar & Dugaan Korupsi
Ketua PHISGOC, Alan Peter Cayetano sempat melontarkan pembelaan atas karut marut yang terjadi di awal pelaksanaan SEA Games 2019. Menurut dia, persoalan ini tidak lepas dari kecerobohan Senat Filipina yang menggeser penganggaran SEA Games kepada komite olahraga Filipina.
Hal itu berbuntut anggaran tiba-tiba dipotong 33,3 persen hanya delapan bulan sebelum SEA Games dibuka. Panitia pun kelimpungan karena pemangkasan tersebut.
"Anggaran sebelumnya mencapai 7,5 miliar peso, tapi senat mengkritiknya. Ingin rasanya aku memaki mereka, tapi tentu aku harus menurut pada senat," sindir Cayetano.
Ketua Senat Filipina, Franklin Driolion membalas tegas sindiran tersebut dengan argumen lain. Dia bersikukuh pemangkasan anggaran bukan persoalan.
Masalah utamanya, menurut Drilon, adalah kebijakan presiden Rodrigo Duterte dalam pengalokasian anggaran.
Duterte memang sempat disorot media setempat karena memakai 50 juta peso (setara Rp36 miliar lebih) dari anggaran hanya untuk membangun sebuah kaldero yang akan dipakai pada pesta pembukaan.
“Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk membangun kelas-kelas atau infrastruktur [SEA Games] lain yang bisa dipakai jangka panjang dan lebih bermanfaat, tapi kenapa justru digunakan untuk hal yang sekali pakai?,” ujar Drilon mempertanyakan, seperti dilansir Rappler.
Kaldero ini disebut-sebut dirancang langsung oleh arsitek kondang Francisco Bobby Manosa.
"Aku tidak mengatakan itu kemahalan, aku hanya merasa penganggaran itu tak proporsional," imbuh dia.
Drilon lantas mencurigai ada praktik korupsi di balik pembangunan kaldero tersebut. Kecurigaan yang tentu saja dibantah keras-keras oleh Duterte.
Duterte menyebut pembangunan kaldero tersebut masih dalam batas wajar. Dia menolak tudingan jika penganggarannya disebut membuang-buang uang.
“Anda tidak bisa menyebut ini korupsi atau buang-buang anggaran. Lagipula uang yang kami bayar masuk ke kantong arsitek lokal. Jika seniman yang mengerjakannya memang mematok harga tinggi, bagaimana mungkin kami menganggarkan uang yang lebih rendah?,” tukasnya.
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz