tirto.id - Pada tanggal 30 September 1965, Menko Hankam Jenderal Abdul Haris Nasution menyempatkan diri berlatih golf di Rawamangun. Menurut catatan Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006:138), Nasution hendak mengikuti pertandingan golf pada tanggal 1 Oktober 1965 dalam rangka HUT ABRI ke-20.
Golf adalah olahraga yang relatif baru bagi Nasution. Sejak muda, ia lebih menyukai tenis. Di lapangan tenis juga ia bertemu dengan Yohanna Sunarti Gondokusumo yang kemudian menjadi istrinya.
Brigadir Jenderal Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik, seperti terdapat dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2011:239) bahkan membantah jika Nasution pernah bermain golf.
"Nasution dan Bung Karno tidak pernah bermain golf, mungkin karena merasa bahwa itu tidak sesuai dengan taraf hidup rakyat dan prajurit pada waktu itu," tulisnya.
Sebagaimana Nasution seperti yang dicatat oleh Rum Aly, pada tanggal 30 September 1965, Letnan Jenderal Ahmad Yani pun berlatih golf di rawamangun, namun mereka tidak bertemu sebab Nasution datang lebih pagi.
“Pada jam enam sore, bapak pulang dari bermain golf lewat garasi dan masuk melalui pintu belakang sambil berpesan kepada Pak Dedeng, supir bapak, agar alat-alat golf itu dibersihkan, karena sudah tak akan dipakai lagi,” kata Amelia Yani dalam Profil Seorang Prajurit TNI (1990:18).
Ya, sore itu adalah latihan golf terakhir Ahmad Yani, sebab beberapa jam kemudian ia dan beberapa jenderal staf umum Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung dalam peristiwa G30S.
Dan bagi Nasution, meski ia lolos dari penculikan, namun kakinya luka karena tertembak. Lantas bagaimana pertandingan golf antarperwira tersebut? Tentu saja batal diadakan karena situasi tak memungkinkan.
Pergeseran Gaya Hidup Para Perwira
Dalam catatan Hario Kecik, Ahmad Yani mempunyai pengaruh atas menjamurnya hobi golf di kalangan petinggi Angkatan Darat dan elite sipil. Kawan main golf Ahmad Yani di antaranya adalah Bob Hasan, Achmad Tirtosudiro, dan Yunus.
Kecik menambahkan dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2011:230) bahwa golf adalah bentuk pergeseran gaya hidup perwira tinggi Angkatan Darat yang berbiaya tinggi. Dan hal itu terjadi saat Ahmad Yani mulai menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat.
"Penghidupan yang memerlukan biaya tinggi seperti 'main golf', 'tren menyekolahkan anak ke luar negeri', 'poligami', dan lain-lain yang dahulu tidak dilakukan oleh seorang perwira TNI AD, bukan karena ada peraturan yang melarangnya tetapi karena merasakannya sendiri (disiplin internal). Pada waktu A. Yani menjadi KSAD, gaya hidup para perwira tinggi itu berubah," tulisnya.
Saat itu, salah satu alasan golf dipandang sebagai permainan atau hobi yang mahal dan mewah karena peralatannya tidak murah, termasuk stik pemukul bola. Oleh karena itu, golf dianggap hanya mainan para pejabat dan pengusaha.
Sebuah fragmen tentang bagaimana Ahmad Yani dan seorang perwira Angkatan Darat lain senang bermain golf diceritakan oleh Anton Tabah dalam Dua Jenderal Besar Bicara tentang Gestapu/PKI (1999:29), yang ia kutip dari anak sulung Ahmad Yani, ”Dulu bapak (Ahmad Yani) senang main golf, Pak Harto juga begitu. Sampai suatu hari bapak mendatangi Pak Harto di hotel dan memberikan seperangkat stick golf.”
Tak hanya Soeharto, Soemitro—yang belakangan jadi Pangkopkamtib—juga diajak Ahamd Yani untuk bermain golf. Saat itu, Soemitro adalah Panglima Kodam Mulawarman—berpusat di Balikpapan—yang suka berburu rusa.
”Saya disuruh main golf, tetapi saya belum bersedia dan lebih senang main tenis,” kata Soemitro dalam Soemitro: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994:25).
Namun tak lama kemudian Soemitro pun mencoba main golf dan ia merasa rileks. Balikpapan yang jadi pusat Kodam Mulawarman adalah kota tambang minyak yang dilengkapi berbagai fasilitas olahraga dan hiburan seperti kolam renang, lapangan golf, bioskop. Pejabat militer seperti Soemitro tentu tidak sulit untuk mengakses sejumlah fasilitas tersebut. Belakangan, hal itu membuatnya keranjingan bermain golf, bahkan hampir setiap hari.
Informasi lain tentang para pejabat yang doyan main golf disampaikan oleh dokter Priguna Sidharta dalam Seorang Dokter dari Losarang: Sebuah Otobiografi Priguna Sidharta (1993:223). Menurutnya, mulai akhir 1950-an para pejabat sudah main golf. Tahun 1959, imbuhnya, Laksamana Raden Eddy Martadinata (Kepala Staf Angkatan Laut 1959-1966) menjadi ketua Jakarta Golf Club. Komunitas tersebut adalah pemilik lapangan golf Rawamangun.
Secara historis, lapangan tersebut pada awalnya adalah tempat bermain Batavia Golf Club yang eksis sejak tahun 1872 dan didirikan oleh A. Gray dan TC Wilson di daerah Gambir. Tahun 1934, mereka pindah ke Rawamangun. Batavia Golf Club berubah nama menjadi Jakarta Golf Club pada 1950.
Dalam catatan Priguna Sidharta disebutkan bahwa banyak peristiwa yang terjadi di lapangan golf tersebut. Beberapa di antaranya adalah tentang Ahmad Yani yang membiarkan dan menonton Bob Hasan baku hantam dengan George Hadi, lawan tandingnya. Selain itu, ada juga peristiwa Chaerul Saleh yang menggetok kepala seorang diplomat asing dengan stik golf.
Setelah G30S 1965, golf dijadikan senjata oleh golongan yang tidak suka pada dominasi tentara. Pangdam V Jakarta Raya, Mayor Jenderal Amirmachmud, seperti dirilis Berita Yudha (15/06/1967), menyampaikan dalam sebuah pidatonya kepada para perwira ABRI (semua matra dan kepolisian) bahwa rumah, mobil, pengawal, sikap playboy, dan main golf menjadi senjata untuk menyerang ABRI.
Serangan itu tidak dilempar oleh orang-orang yang dicap sebagai PKI, melainkan justru oleh golongan yang anti-PKI. Meski demikian, para jenderal tak bisa sepenuhnya lepas dari golf. Mereka tetap menjalani hobi tersebut setelah menjalani penatnya pekerjaan di tahun-tahun sulit akhir pemerintahan Sukarno.
Editor: Irfan Teguh