tirto.id - Ahmad bin Muhammad Surkati dikenal sebagai pembaharu Islam di Jawa pada permulaan abad ke-20. Michael Laffan, guru besar sejarah Universitas Princeton, menggambarkan Surkati sebagai cendekiawan yang diplomatis. Meski disebutkan bahwa ia memandang rendah orang-orang Belanda seperti ulama-ulama pada umumnya, Surkati tetap menghormati para penasihat urusan pribumi seperti Snouck Hurgronje dan beberapa penerus Belandanya.
Dalam Sejarah Islam di Nusantara (2015), Laffan menuliskan upaya Surkati mendekati para penerus Snouck seperti D.A. Rinkes dan B.J.O. Schrieke. Surkati mengirim surat dengan harapan mereka akan mengizinkannya memimpin persoalan agama Islam secara damai di bawah kekuasaan Belanda (hlm. 237-238).
Dalam suratnya, lanjut Laffan, Surkati bersungguh-sungguh saat menunjukkan keinginan berkontribusi mengangkat moral masyarakat dari seluruh kelas melalui serangkaian program. Surkati mengklaim programnya ini dapat menghasilkan keamanan yang menyeluruh di Hinda Belanda. Di samping itu juga amat menguntungkan pemerintah kolonial, karena dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik antara pemerintah dengan yang diperintah. Terakhir, Surkati mengungkit pula permasalahan agama dan iklim pasca-Perang Dunia I.
Gagasan-gagasan Surkati menarik perhatian para pejabat kolonial. Meskipun tidak semua penasihat memercayai Surkati, ia berhasil menumbuhkan hubungan baik antara gerakan pembaruan Islam dengan para penasihat urusan pribumi.
Sebenarnya siapakah Ahmad Surkati? Mengapa ia amat mendukung perubahan praktik Islam di Jawa?
Dari Hijaz ke Hindia Belanda
Ahmad Surkati lahir ketika keluarganya tengah hijrah ke Dongola, Sudan, antara 1874-1875. Kebetulan Surkati dilahirkan dalam keluarga cendekiawan Islam. Baik ayah maupun kakeknya pernah menuntut ilmu agama di Mesir.
Di Sudan, Surkati tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berpikiran jernih. Ia sering kali diperlakukan istimewa oleh sang ayah dengan diajak bepergian menghadiri majelis-majelis yang bersifat ilmiah. Meski tidak suka mematuhi peraturan sekolah, Surkati dikenal sangat jenius dan bisa menghafal Alquran hanya dengan sekali membaca.
Setelah menyelesaikan ilmu agama dasar di Sudan, Surkati pindah ke Makkah pada 1896 sembari melaksanakan ibadah haji. Di sana ia tidak bermukim lama, tetapi malah melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk menuntut ilmu agama dan bahasa Arab selama empat tahun. Setelah lulus dari Madinah, Surkati memilih tinggal di Makkah selama 11 tahun untuk memperdalam fikih.
Berkat kemampuannya, pada 1909, Surkati berhasil mendapatkan pengakuan dari para cendekiawan Makkah. Tak butuh waktu lama sampai Surkati dihadiahi posisi guru kehormatan di Kota Suci itu. Sebelumnya, Surkati juga sudah menjalin hubungan baik dengan kelompok reformis Islam di Mesir.
Sepak terjang Surkati sampai juga ke telinga para pemimpin Jamiatul Khair di Batavia. Mereka sangat terkesan dan mengundang cendekiawan muda itu datang ke Jawa untuk menjadi guru.
Surkati menerima tawaran pergi ke Batavia, meski ia sudah kerap mendengar kabar bahwa pemerintah kolonial suka menindas orang-orang Muslim dari Semenanjung Arab. Menurut catatan Natalie Mobini-Kesheh dalam The Hadrami Awakening: Community and Identity in The Netherlands East Indies, 1900-1942 (1999: 54), keputusan Surkati timbul berkat keinginannya berjuang memajukan Islam di Hindia Belanda, khususnya Jawa.
“Di antara kematianku berjuang atas nama Islam di Jawa, dan kematianku tanpa berjuang atas nama Islam di Mekkah, aku memilih Jawa,” tulis Mobini-Kesheh mengutip Perdana Suara edisi khusus Ahmad Surkati.
Sekitar Oktober 1911, Surkati tiba di Jawa. Ia ditemani dua orang guru asing. Berdasarkan penelusuran Mobini-Kesheh, semenjak Surkati menjadi pengawas di sekolah-sekolah Jamiatul Khair, guru-guru asing mulai berdatangan dari Arab. Dua tahun setelah kedatangan Surkati, empat guru lain tiba di Jawa, semuanya lulusan Makkah dan masih cukup muda.
Kedatangan guru-guru asing, menurut Mobini-Kesheh, memberikan semangat pembaruan Islam di tanah Jawa. Mereka dengan getol mulai mengajarkan gagasan-gagasan reformasi Islam di sekolah-sekolah. Akibat perbedaan interpretasi hukum Islam, terjadi kerenggangan hubungan antara kelompok reformis Islam dengan para pemimpin Jamiatul Khair yang konservatif.
Surkati sendiri hanya bertahan tiga tahun di Jamiatul Khair. Pada 1914 ia memutuskan hubungan kerja akibat perbedaan pandangan dengan para pembesar organisasi itu. Keputusan Surkati ternyata berdampak pada perpecahan organisasi, karena guru-guru pendukung Surkati yang berhaluan reformasi Islam turut mengundurkan diri.
Atas dorongan dari pada pendukungnya, Surkati memutuskan membuka sekolah sendiri di Batavia yang diberi nama Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Ia juga mendirikan yayasan untuk mendukung keuangan organisasi. Berkat hubungan baik Surkati dengan para penasihat urusan pribumi, Al-Irsyad langsung mendapatkan pengakuan resmi dari Pemerintah Kolonial pada Agustus 1915.
Gerakan Reformasi Pendidikan Islam
Kendati memiliki wawasan keagamaan yang luas, tidak mudah mengulik pemikiran Ahmad Surkati. Menurut salah seorang muridnya, Umar Hubeis, Surkati adalah cendekiawan yang suka bekerja dalam kesunyian dan tidak banyak menulis, sehingga ia tidak bisa dikenali dari publikasi atau ucapannya.
“Kita hanya dapat mengarahkan Anda kepada para siswa yang dididik olehnya,” kata Umar Hubeis seperti dikutip majalah Al-Misbah edisi Februari 1929.
Birsi Affandi dalam disertasi Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1945): Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (1999) berhasil mengumpulkan pengakuan terhadap ketokohan Ahmad Surkati. A. Hassan, tokoh Persatuan Islam (Persis), menuturkan bahwa Surkati adalah gurunya. Begitu pula dengan para reformis Islam seperti pendiri Persis Haji Zamzam dan pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan adalah sahabat sekaligus murid dari prinsip dan pemikiran Surkati (hlm. 1).
Mobini-Kesheh juga menunjuk adanya idealisme dan integritas tinggi dalam membawa perubahan Islam di Jawa dalam diri Ahmad Surkati. Saat pertama kali tiba di Batavia, Surkati mendapati kaum Muslim di Hinda Belanda terjebak dalam keterbelakangan dan ketidaktahuan. Agar dapat menuntun kelompok-kelompok tersebut, Al-Irsyad didirikan sebagai lembaga yang dapat membimbing kaum Muslim ke arah pencerahan.
Sejak 1915, yayasan Al-Irsyad secara konsisten menggalang dana untuk kebutuhan program-program bimbingan dan pemurnian Islam. Sepanjang dasawarsa 1920-an hingga 1930-an, Al-Irsyad berhasil membangun gedung-gedung pertemuan, sekolah, dan perpustakaan. Para tokoh Al-Irsyad tak henti-hentinya menyebarkan tradisi Arab, mengajarkan bahasa Arab, Belanda, dan bahasa-bahasa lainnya.
Sejak 1917, Al-Irsyad sudah mulai membuka cabang di penjuru Jawa. Pembukaan pertama dilakukan di Surabaya dan Tegal. Sepanjang 1918-1919, cabang Al-Irsyad bertambah lagi di Cirebon, Pekalongan, dan Bumiayu. Selanjutnya tahun 1927-1928, Al-Irsyad kembali berkembang di Banyuwangi, Bondowoso, dan Bogor. Sebagian madrasah Al-Irsyad ini ada yang mendatangkan guru-guru reformis lulusan Mesir, di samping tenaga pengajar lulusan madrasah cabang Surabaya dan Pekalongan.
Menurut Birsi Affandi, perkembangan Al-Irsyad yang amat pesat kemungkinan didukung adanya peningkatan kesadaran mengenai pentingnya pendidikan di kalangan Arab non-sayid. Tak hanya komunitas Arab, kalangan bumiputra pun turut bersekolah di Al-Irsyad berkat prinsip Surkati yang memandang perlunya pemahaman dua arah antara kaum Muslim lokal dengan komunitas Arab.
==========
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Editor: Ivan Aulia Ahsan