Menuju konten utama

Agar Xiaomi Tak Senasib BlackBerry

Sang raksasa teknologi asal Cina Xiaomi yang pernah menyalip Samsung dan Apple sedang menghadapi masa “krisis”. Kejayaan di awal kemunculannya membuat mereka cukup percaya diri untuk menetapkan target yang terbilang cukup tinggi. Namun, mereka terpaksa menghadapi kenyataan penjualan tak sesuai dengan target.

Agar Xiaomi Tak Senasib BlackBerry
Lei Jun, pendiri dan CEO perusahaan ponsel Tiongkok, menunjukkan Xiaomi mi 5 saat peluncurannya di Beijing, Tiongkok. [Antara foto/Reuters/Jason Lee]

tirto.id - Tak butuh waktu yang lama untuk menjadikan produsen ponsel pintar asal Cina Xiaomi menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Ia mampu berdampingan dengan Samsung, Apple, Huawei, dan Lenovo dalam jejeran lima besar penjualan ponsel pintar terlaris di dunia sehingga dijuluki “Apple of the East”, menurut International Data Corporation (IDC).

Bagaimana Xiaomi yang masih sangat muda langsung menjadi salah satu dari industri ponsel pintar dunia? Xiaomi baru berdiri pada 6 April 2010. Perusahaan ini dibentuk oleh delapan mitra termasuk mantan CEO Kingsoft Lei Jun. Rencana awalnya bukan untuk membangun industri ponsel pintar, melainkan pada ROM yang difokuskan untuk menjadi salah satu yang terpopular di dunia yakni MIUI.

Xiaomi berhasil dengan perangkat ROM itu karena memiliki sekitar 100 juta pengguna pada 2010. Tak puas dengan keberhasilan di dunia perangkat lunak, pada 2011 perusahaan itu meluncurkan Xiaomi Mi 1. Perangkat ini menjadi ponsel pintar pertama Xiaomi. Hanya butuh 34 jam bagi perusahaan ini untuk menghabiskan persediaan ponsel pintar yang ada.

Kejayaan Xiaomi didukung oleh fokus perusahaan pada keuntungan jangka panjang dan rasa tak cepat puas. Mereka juga fokus pada penjualan yang dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, memperkuat brand dan membangun pondasi yang kuat untuk keuntungan masa depan.

Perusahaan ini kemudian membuat perangkat yang murah tapi berkualitas. Selain murah dan berkualitas, produk Xiaomi juga didukung oleh sistem penjualan yang kemudian mengilhami kompetitornya HTC untuk melakukan strategi yang sama. Penjualan Xiaomi dilakukan dengan sistem online melalui webstore resmi Xiaomi.

Strategi bisnis Xiaomi selalu memanfaatkan jaringan internet serta kekuatan media sosial yang memang sedang naik daun. Perusahaan ini menerapkan sistem yang minim pengeluaran pada segi marketing atau iklan. Sehingga jarang menemukan iklan Xiaomi di stasiun TV, billboard atau majalah.

Hingga peluncuran Xiaomi di India yang kemudian mengubah strategi bisnis mereka dan kembali pada tradisi lama dengan beriklan di TV, majalah dan lainnya. Redmi Note 3 adalah iklan pertama Xiaomi di TV berkolaborasi dengan Amazon India.

Selain itu, sistem penjualan ponsel pintar Xiaomi juga menggunakan sistem adu cepat dalam transaksi online flash sale yang dinilai sukses. Hal ini diakui oleh Senior Vice President Marketing and Bussiness Development Lazada, Andry Huzain. Lazada berhasil menjual belasan ribu Xiaomi Redmi 1S hanya dalam 12 menit dengan sistem flash sale.

"Periode pertama lima ribu unit dalam enam menit, periode kedua 10 ribu unit dalam 12 menit, dan terakhir 18 September kami jual 10 ribu dalam 12 menit," kata Andry, dikutip dari Antara.

Pada 2014, Xiaomi berhasil menjual 61 juta unit secara global. Di Desember 2014, Xiaomi mendapat investasi sebesar $1,1 miliar dengan valuasi Xiaomi di kisaran $46 miliar. Xiaomi pun disebut-sebut sebagai salah satu start-up teknologi dengan nilai perusahaan tertinggi di dunia.

Melihat penjualan yang cukup tinggi itu membuat Xiaomi cukup percaya diri untuk terus menaikkan target penjualan. Tak tanggung-tanggung, perusahaan ini menargetkan pertumbuhan sebesar 30 persen pada 2015. Dengan target penjualan sebesar 80-100 juta unit ponsel pintar.

Target yang tinggi itu kemudian menjadi tantangan bagi Xiaomi saat catatan panjualan pada 2015 hanya mencapai 71 juta unit ponsel pintar. Target penjualan 80 juta unit ponsel pintar itu masih belum bisa dicapai Xiaomi hingga tutup buku 2015.

Market share Xiaomi di pasar global tergerus. Data dari Statista menunjukkan market share Xiaomi di pasar global mencapai titik tertinggi pada kuartal II-2015 sebesar 5,3 persen. Namun penurunan mulai terjadi pada kuartal berikutnya yakni kuartal III-2015 yang hanya sebesar 5,2 persen (turun 0,1 persen). Hingga pada akhir kuartal IV-2015 penurunan terus terjadi sehingga hanya mencapai 4,6 persen market share Xiaomi di pasar global.

Menurut data terakhir dari IDC yang dilaporkan IB Times, penjualan Xiaomi di Cina pada kuartal II-2016 anjlok sebesar 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal di periode itu, pasar ponsel Cina tumbuh 4,6 persen. Kompetitor berat Xiaomi di saat yang sama membukukan lonjakan penjualan, terutama Huawei, Oppo, dan Vivo.

Gagal mencapai target penjualan berarti gagal mencapai target pendapatan. Nilai perusahaan Xiaomi sudah merosot jauh dari masa keemasannya yang kini kurang dari $4 miliar. Bayang-bayang nasib BlackBerry mulai menghantui. Seperti diketahui, BlackBerry sempat sangat berjaya di pasar telepon pintar. Hampir setengah pangsa pasar dikuasai. Sayangnya, BlackBerry lupa berinovasi. Alih-alih mengadopsi perkembangan teknologi, BlackBerry malah sedemikian percaya diri. Hasilnya, mereka kini terjungkal dan nyaris tak lagi kebagian pangsa pasar yang besar.

Penyebab Anjlok

Anjloknya penjualan Xiaomi tak lepas dari hantaman yang berasal dari lingkungan eksternal dan juga internal Xiaomi sendiri. Laporan dari The Wall Street Journal mengungkapkan penurunan penjualan Xiaomi ini disebabkan oleh adanya perlambatan ekonomi Cina, ditambah lagi dengan gejolak di pasar saham negara itu, yang mendorong investor untuk mempertimbangkan valuasi start-up Cina.

“Dengan perlambatan ekonomi Cina, banyak start-up perlu lebih berhati-hati dalam strategi ekspansi mereka,” kata Analis perusahaan riset pasar Canalys, Nicole Peng, dikutip dari The Wall Street Journal.

Selain faktor eksternal itu, faktor internal juga turut andil dalam jatuhnya penjualan Xiaomi. Kompetitor lain membuat ponsel pintar dengan fitur baru yang inovatif, sehingga Xiaomi secara perlahan mulai ditinggalkan. Misalnya Vivo yang menawarkan layar lengkung, Oppo dan OnePlus dengan pengisian daya yang cepat dan Huawei yang menawarkan dual lens cameras, dan fingerprint sensors.

Masalah lain yang menghantam Xiaomi yaitu terkendala paten. Penjualan di India yang merupakan pasar terbesar kedua Xiaomi, sempat dilarang karena disebut melanggar paten Ericsson. Xiaomi semakin susah bersaing di pasar global karena tidak memiliki portofolio paten yang cukup. Sehingga Xiaomi perlu memperkuat sektor riset dan pengembangan untuk memperbanyak patennya di masa depan.

Tak hanya sampai di situ, anjloknya penjualan Xiaomi juga terkait konsumen. Cina, yang merupakan basis penjualan mereka, ternyata memiliki tipikal konsumen yang tidak loyal pada merek. Sebuah studi yang dilakukan oleh perusahaan riset Bain & Company pada 2014 mengungkapkan, merek di Cina harus terus berjuang untuk memenangkan pelanggan baru karena kurangnya loyalitas dari konsumen.

Kepala pemasaran HTC, Idris Mootee mengungkapkan, sebuah merek harus diperkenalkan sebagai cerita bagi para konsumen. Setiap produk yang dilempar ke pasaran harus menawarkan kisah tertentu, bukan sekadar menjual semurah-murahnya untuk dibeli sebanyak-banyaknya.

Dalam hal ini, Mootee menganggap Apple adalah perusahaan teknologi yang sudah menerapkan konsep tersebut. Produk-produk Apple di mata Mootee, terlihat lebih bernilai ketimbang hanya sekadar komoditas elektronik.

"Mereka (Apple) mengedepankan sesuatu, sesuatu yang lebih besar daripada brand," kata Mootee, dikutip dari PhoneArena.

Sebuah produk memang harus terus berinovasi, Xiaomi pun demikian. Kejayaan di awal kemunculannya itu bisa disebut sebagai keberuntungan pemula. Perjalanan Xiaomi masih panjang. Ia harus terus berinovasi dan menciptakan produk-produk yang lebih spektakuler di pasar yang sangat kompetitif sekarang ini. Xiaomi harus berjuang agar tetap dikenal sebagai “Apple of the East” bukan “BlackBerry of the East”.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Teknologi
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti