Menuju konten utama

Ada Amerika di Balik Pencoretan Wajib Beli Susu Peternak Lokal?

Revisi Permentan Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan No. 30/2018 berbarengan saat Indonesia sedang menghadapi tekanan AS di WTO terkait restriksi perdagangan pada produk hortikultura.

Ada Amerika di Balik Pencoretan Wajib Beli Susu Peternak Lokal?
Peternak menuangkan susu sapi hasil perahan di kandang komunal Kelompok Tani Ternak Gondang Makmur, Sumogawe, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Jumat (9/6). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

tirto.id - Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia, Agus Warsito mengkritik langkah Kementerian Pertanian (Kementan) yang tidak lagi mewajibkan industri pengolahan susu (IPS) untuk bermitra dengan peternak sapi perah. Anggapan ini mencuat seiring dengan revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2017 menjadi Permentan Nomor 30 Tahun 2018 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

Aturan yang diundangkan pada 20 Juli 2018 itu dinilai merugikan peternak sapi karena kemitraan antara pabrik pengolahan susu dan peternak tak lagi menjadi pertimbangan saat IPS akan mengantongi rekomendasi impor bagi industri. Dengan kata lain, "proteksi" terhadap peternak sapi perah lokal sudah tak berlaku. Kata "kemitraan" pada Permentan memang penghalusan dari proses selama ini soal kewajiban menyerap susu peternak lokal.

“Dalam rangka memberikan harga kepada peternak, tidak ada kompetisi sama sekali. Karena sekarang tidak ada kewajiban untuk menyerap susu lokal, maka tidak ada sanksi bagi industri,” kata Agus kepada Tirto, Senin (13/8/2018).

Agus menduga, revisi Permentan No. 26/2017 berkaitan dengan anti-proteksi Amerika Serikat (AS) yang belakangan ini menekan Indonesia agar terus melonggarkan restriksi perdagangan. Hal ini dilakukan mengingat impor susu Indonesia cukup besar, yaitu 77 persen dari kebutuhan nasional, pemasok utamanya berasal dari AS, Selandia Baru, dan Australia.

Menurut Agus, saat ini neraca perdagangan AS mengalami defisit cukup lebar terhadap Indonesia. Hal ini tentu membuat AS tidak tinggal diam, sehingga mencari cara memaksa pemerintah untuk mengikuti apa saja yang mereka inginkan, dengan menuntut pelonggaran hambatan perdagangan khususnya di sektor hortikultura.

“Tidak hanya memberatkan, namun menghambat komoditas mereka untuk masuk ke negara kita. [Mendesak] beberapa regulasi yang menghambat itu agar dicabut,” kata Agus.

Agus menambahkan, impor susu terbesar Indonesia adalah Australia dan Selandia Baru. Menurut dia, selama ini kedua negara juga komplain dengan Permentan. “Tapi karena neraca perdagangan mereka dengan kita enggak defisit — enggak ada power untuk menekan. Mungkin mereka jadi kongkalikong dengan AS, sehingga AS maju, menekan pemerintah kita,” kata Agus.

Pemerintah memang telah menghapus kata “wajib” pada Pasal 23 di Permentan Nomor 30 Tahun 2018. Sebelum direvisi, Pasal 23 tersebut berbunyi: “Pelaku usaha wajib melakukan kemitraan dengan peternak, gabungan kelompok peternak, dan/atau koperasi melalui pemanfaatan SSDN (Susu Segar Dalam Negeri) atau promosi secara saling menguntungkan”.

Adapun kata “wajib” juga hilang pada Pasal 24 di Permentan Nomor 30 Tahun 2018. Setelah direvisi, ayat (1) pada pasal tersebut berbunyi: “Kemitraan melalui pemanfaatan SSDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan bagi pelaku usaha yang memproduksi susu olahan”.

Secara keseluruhan, terdapat enam pasal yang diubah, yakni Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 34, dan Pasal 44. Agus mengklaim bahwa revisi beleid tersebut dilakukan Kementerian Pertanian tanpa adanya pembicaraan terlebih dahulu dengan asosiasi.

“Kami tidak diajak rembukan. Sampai saat ini belum ada informasi atau penjelasan secara resmi terkait alasannya. Namun secara nonformal, kami menduga ada tekanan dari luar negeri,” kata Agus.

Dihubungi terpisah Ketua Dewan Persusuan Indonesia Teguh Boediyana menduga kuat upaya Kementan menghapus kata "wajib" IPS bermitra dengan peternak adalah bagian dari upaya pemerintah terhindari dari tekanan dari AS saat sidang WTO 15 Agustus 2018 mendatang. Indonesia memang punya kewajiban melakukan pelonggaran restriksi perdagangan pada produk hortikultura setelah kalah banding di WTO 9 November 2017 lalu.

"Saya pikir karena pertimbangan soal itu, WTO memang sangat sensitif soal kuota. Beberapa kata-kata, WTO memang alergi seperti kata "wajib" atau "kuota"," kata Teguh kepada Tirto.

Sementara itu, Agus menilai revisi dari Permentan itu hanya berpotensi membuka keran impor susu sapi. Agus pesimistis bahwa peternak di dalam negeri bisa bersaing dengan peternak dari luar. Menurut dia, revisi Permentan Nomor 26 Tahun 2017 pun bakal membuat peternak lokal harus menghadapi pertarungan bebas dengan produk impor.

“Ya jelas enggak mampu [bersaing dengan peternak luar]” ucap Agus.

Selain itu, Agus juga mengklaim pemberlakuan revisi itu telah menafikan kerja keras seluruh pihak yang menyusun draf Permentan Nomor 26 Tahun 2017. Agus menyebutkan bahwa Permentan itu disusun lebih kurang 1,5 tahun lamanya.

Setelah melalui sejumlah pembahasan dan evaluasi, Agus mengatakan bahwa Permentan Nomor 26 Tahun 2017 sudah mulai membuahkan hasil. Ia berkata, peternak sapi perah mulai merasakan dampaknya secara langsung karena iklim persaingan pun terbangun menjadi lebih sehat.

Harga susu segar di koperasi yang tadinya berada di kisaran Rp4.200,00-Rp4.300,00 per liter, berangsur naik hingga di kisaran Rp4.800,00-Rp5.000,00 per liter.

“Karena ada tren persaingan antar-pabrik itulah, harga susu semakin naik. Di saat […] ada kesempatan bagus, usaha yang menarik ini hilang hanya dalam hitungan 30 hari. Permentan yang memberedeli itu, yakni [Permentan Nomor] 30,” kata Agus.

Saat ini, Agus mengklaim produksi susu segar dalam negeri berada di kisaran 700-800 ribu ton. Sementara kebutuhan nasional bisa mencapai 4 juta ton. Peternak lokal memang baru bisa mencukupi kebutuhan susu nasional sekitar 16-17 persen saja.

Agus mengaku pihaknya belum menyiapkan langkah konkret terkait revisi Permentan ini. Menurut Agus, para peternak sapi perah masih melakukan konsolidasi untuk mengambil sikap dan paling tidak pada akhir Agustus sudah ada langkah konkret yang diambil asosiasi.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian, Fini Murfiani membenarkan adanya perubahan beleid tersebut. Fini irit bicara saat diminta keterangan lebih lanjut terkait hal ini.

“Kami masih berkoordinasi internal untuk penjelasan resmi. Mohon ditunggu ya,” kata Fini melalui pesan singkat kepada Tirto, Senin (13/8/2018).

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita juga bersikap kurang lebih sama. Ia menyerahkan ihwal konfirmasi terkait revisi Permentan itu kepada Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen PKH Kementan, Syamsul Ma’arif.

“Beliau [Syamsul Ma'arif] yang tangani persusuan,” kata I Ketut singkat.

Saat dihubungi Tirto, Syamsul sempat membalas pesan singkat. Namun demikian, saat ditanya lebih lanjut terkait alasan dan upaya sosialisasi dari Kementan terhadap revisi beleid tersebut, baik pesan singkat maupun telepon tak lagi direspons.

Infografik CI industri pengolahan susu

Baca juga artikel terkait INDUSTRI SUSU atau tulisan lainnya dari Damianus Andreas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Damianus Andreas
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz