tirto.id - Abdullah bin Abul Kadir Munsyi adalah seorang sastrawan Melayu keturunan Arab-India. Dia menguasai pengetahuan yang mendalam dan terampil menguasai enam bahasa, yaitu Tamil, Arab, Melayu, Hindi, Mandarin, dan Inggris. Pada usia tujuh tahun, dia belajar Al-Qur’an dan mulai menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu.
William Girdlestone Shellabear dalam pengantarnya untuk The Autobiography of Munshi Abdullah (1947) menyebut Abdullah sebagai pelopor kesusastraan Melayu modern. Dia sekaligus diakui sebagai orang Melayu pertama yang menerbitkan karya autobiografi berjudul Hikayat Abdullah. Selain peri kehidupan Abdullah sendiri, autobiografi berjudul yang pertama kali terbit pada 1849 itu juga memotret kondisi sosial masyarakat Melayu.
Di usia yang baru 13 tahun, Abdullah telah pandai mengajarkan Islam kepada para prajurit India yang menetap di Semenanjung Malaka. Minatnya pada naskah-naskah Melayu kemudian membawanya pada studi bahasa Melayu yang lebih serius.
Menurut Ibrahim bin Ismail dalam The Printing of Munshi Abdullah's Edition of the Sejarah Melayu in Singapore (1986), Abdullah pernah bekerja sebagai penerjemah untuk Thomas Stamford Raffles sekira 1810-an. Tugas utamanya adalah menyalin naskah Melayu klasik yang kemudian membuka jalan menuju karier kesusasteraannya.
Di sekitar tahun yang sama, Abdullah juga bersinggungan dengan Gubernur Jenderal India Lord Minto di Malaka. Lord Minto terkesan oleh kemahiran Abdullah Munsyi berbicara bahasa Hindi. Ketika Raffles mendirikan Singapura pada 1819, Abdullah kembali bekerja untuknya—bukan hanya sebagai penerjemah biasa, tapi lebih seperti sekretaris pribadi.
Setelah Raffles kembali ke Inggris, Abdullah Munsyi mendapat tawaran pekerjaan penerjemahan oleh para misionaris. Dia menyetujui pekerjaan baru itu dan segera terlibat dalam proyek penerjemahan buku-buku misionaris dan Alkitab.
Lain itu, Abdullah juga berperan penting dalam penerjemahan buku-buku diktat untuk sekolah-sekolah misionaris. Sepanjang itu pula, dia menjadi sangat dekat dengan para misionaris Kristen dan bahkan turut mengajarkan bahasa Melayu untuk beberapa misionaris.
Menurut Siti Hawa Haji Salleh dalam Malay Literature of the 19th Century (2010), Abdullah juga semakin kaya wawasan berkat kedekatannya dengan lingkungan orang-orang Barat. Karya-karya orisinal Abdullah di antaranya bertema heroisme, fantasi, hingga ada pula yang bersifat faktual tentang eksploitasi dan feodalisme yang dialami orang-orang Melayu di Semenanjung. Karya-karya Abdullah itu kemudian diterbitkan dan didistribusikan sebagai buku babon literatur dunia Melayu.
Sumbangan Abdullah Munsyi
Amin Sweeney dalam bukunya Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (2005) menyebut ide-ide Abdullah yang tersirat dalam karya-karya sastranya telah membawa dampak besar bagi historiografi Melayu di masa kolonial abad ke-19.
Hikayat Abdullah, misalnya, menyimpan informasi penting terkait sejarah pendidikan masyarakat Melayu sebelum kedatangan kolonialis Inggris.
Dalam karyanya, Abdullah Munsyi mencatat bahwa orang-orang Melayu telah mengenyam pendidikan awal melalui kehadiran sekolah Al-Qur’an sejak abad ke-14. Tak hanya Al-Qur’an, sekolah ini juga mengajarkan ilmu hadis, tauhid, sejarah Islam, dan fikih dengan metode tradisional. Sekolah Al-Qur’an eksis di Malaka, Singapura, dan Penang.
Menurut Rosnani Binti Hashim dalam Education Dualism in Malaysia: Implications For Theory And Practice(1994), sekolah Al-Qur’an mulai berevolusi sejak sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sistem persekolahannya perlahan berkembang dari institusi tipe pesantren yang longgar menuju sistem madrasah yang lebih terstruktur dan formal. Sebagian besar pesantren dan madrasah itu didirikan oleh ulama, tokoh masyarakat, serta komunitas lokal.
Sumbangan intelektual Abdullah Munsyi lainnya juga dijabarkan oleh Syed Farid Alatas dalam Alternative discourses in Asian social science: Responses to Eurocentrism (2006). Menurut Alatas, Abdullah Munsyi adalah orang pertama yang berdiri teguh mengkritik feodalisme dan inferioritas dalam kehidupan orang Melayu. Kritik itu dapat kita simak misalnya dalam naskah Kisah Pelayaran Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi dari Singapura ke Kelantan (1838).
Dalam naskah itu, Abdullah Munsyi menulis, “Apabila seorang dagang atau orang putih (Eropa) yang datang ke negeri itu, maka beratus-ratus orang dan kanak-kanak Melayu berlari-lari pergi mendapatkan berkerumun kepadanya tindih-menindih. maka masing-masing meninggalkan pekerjaannya yang patut ia mencari kehidupannya, bukankah itu kelakuan yang tiada hormat dan kasar?”
Selain itu, karya Abdullah Munsyi juga menjadi diskursus alternatif tentang historiografi Asia Tenggara—khususnya sejarah Malaka—yang selama ini ditulis oleh sejarawan Barat dan Cina.
Jan van der Putten dalam artikel “Abdullah Munsyi and the Missionaries” yang dimuat jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (2006) menyebut Abdullah Munsyi kerap mengkritisi penguasa Melayu yang mengisap rakyat miskin. Dia juga menyebut tabiat itu sebagai perintang masyarakat Melayu menuju kesejahteraan sosial.
Meski tak menyembunyikan sikap kritisnya terhadap kolonialisme Inggris, Abdullah Munsyi jugalah yang memperkenalkan pendidikan Barat melalui tulisan-tulisannya. Dengan begitu, dia mencoba menginspirasi pembacanya untuk berkembang. Di sisi lain, dia juga mengkritik sekalangan orang Melayu yang memandang kemajuan sebagai sesuatu yang negatif.
Abdullah pun menekankan agar orang-orang Melayu berani melakukan perubahan dan meninggalkan gaya hidup lama demi kemajuan bangsanya.
Selain itu, Abdullah Munsyi dikenal sebagai pembaru sastra Melayu. Salah satu contoh kebaruan yang dia bawa adalah kreatifitasnya menyelipkan kata-kata bahasa Inggris dalam karya sastranya. Misalnya, dalam beberapa bagian Hikayat Abdullah, dia menyisipkan kosa kata bahasa Inggris, seperti character, engineer, secretaries government, electricity, arithmetic, dan commission.
Hal itu dinilai sebagai caranya merangkul standar Barat sekaligus menunjukkan orang Melayu pun bisa mencapai standar itu.
Dituduh Antek Barat
Meski namanya masyhur sebagai sastrawan dan intelektual, generasi nasionalis Melayu yang lahir sesudahnya amat skeptis terhadap Abdullah Munsyi. Mereka menilai Abdullah Munsyi terlalu dekat dengan kaum penjajah. Dia bahkan dituduh sebagai antek Barat.
Padahal, menurut Sweeney, Abdullah Munsyi sebenarnya menganggap karya-karyanya sebagai produk pribumi.
Lain itu, sekalangan kritikus juga mempertanyakan pada kategori apa karya-karya Abdullah Munsyi berdiri, fiksi atau nonfiksi. Beberapa karya Abdullah memang punya kecenderungan laiknya babad di Jawa. Ia menyimpan informasi faktual, sementara ditulis dalam langgam sastrawi.
Bagi kritikus sastra Melayu era 1960-an, kaburnya batas antara fiksi dan nonfiksi dalam karya Abdullah adalah kelemahan. Di dunia Melayu, dikotomi fiksi dan nonfiksi adalah krusial karena ia adalah kontinum dari pandangan atas apa yang "benar" dan "tidak benar". Karena itulah, para kritikus itu mengutuk karya Abdullah sebagai fabrikasi dan kebohongan.
Terlepas dari segala kritik itu, Abdullah tetap diakui sebagai Bapak Sastra Melayu Modern. Jauh sebelum kritik-kritik itu dialamatkan padanya, Abdullah percaya bahasa Melayu yang digunakannya mampu mentransfer pesan budaya dan membentuk kesadaran berbangsa orang-orang Melayu.
Sutan Takdir Alisyahbana dalam Tata Bahasa Baru Bahasa Melayu/Indonesia (1963, hlm. 11) mengemukakan kedudukan bahasa Melayu sebagai lingua franca dianggap yang paling bergengsi dari bahasa-bahasa lain yang berkembang di Asia Tenggara. Mereka yang tidak memahaminya dianggap seposisi dengan orang Belanda atau orang Barat lainnya dan ditolak identitasnya sebagai bagian dari orang Timur.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi