Menuju konten utama

A Moon Shaped Pool & Radiohead yang Jago Bikin Gimik

Radiohead selalu mampu membuat karyanya dibicarakan (dan dibeli). Termasuk saat mereka merilis album A Moon Shaped Pool.

A Moon Shaped Pool & Radiohead yang Jago Bikin Gimik
Vokalis band rock Radiohead, Thom Yorke, tampil di festival musik Sziget di Budapest, Hongaria. FOTO/SHUTTERSTOCK

tirto.id - Setelah dua hari membunuh situsweb dan semua akun media sosialnya sendiri, Radiohead bangkit dan mengirimkan single terbarunya kepada jagat internet: “Burn The Witch”.

Sulit untuk melihat Radiohead tak sedang caper. Sejak penghujung April, band beranggotakan Thom Yorke, Jonny Greenwood, Colin Greenwood, Ed O’Brien, dan Phil Selway ini sudah mulai menggoda beberapa penggemar. Mereka mengirim selebaran berlogo Radiohead kepada beberapa penggemar fanatiknya di Inggris secara misterius, dengan tulisan: “Sing a song of sixpence that goes/Burn the Witch/We know where you live.”

Selang sehari, mereka diberitakan menghapus semua kanal online-nya. Semua twit dihapus, juga konten di laman Facebook-nya. Situsweb Radiohead.com pun dibikin melompong sampai kemudian diisi lagu “Burn The Witch” pada 3 April kemarin.

Kecaperan itu terbukti sukses. Tak ada media musik yang tak membahasnya. Pitchfork, Rolling Stone, Mojo, NME, Consequence of Sound… sebutlah yang lainnya. Media-media itu selama lebih dari sepekan terus-menerus menyiarkan gimik Radiohead. Termasuk saat akun Facebook dan Twitter mereka pada 6 Mei mengirimkan single kedua, “Daydreaming,” serta mengumumkan jadwal peluncuran album baru.

Ujungnya adalah dini hari tadi pada pukul 1.00 WIB (8 Mei, 7 PM GST): album A Moon Shaped Pool yang berisikan 11 lagu, dirilis pada situsweb amoonshapedpool.com. Seperti sebelumnya, mereka menjual format digital seharga $13 dan rupa-rupa bentuk rilisan fisik, termasuk paket vinil spesial yang menyertakan tape rekaman berbanderol $86,5.

Belum sampai 10 jam, hasil pencarian untuk lema Radiohead digabung dengan frasa “a moon shaped pool” sudah menghasilkan 140 ribu hasil di kolom berita Google. Untuk pembanding, lihatlah Weezer, band Amerika yang juga besar pada dekade 90an. Liputan media terhadap The White Album yang meluncur bulan lalu tak semassif liputan atas (rencana) rilis album Radiohead. Sudah lebih dari sebulan, pencariannya di kolom berita dengan kata "Weezer" ditambah frasa “the white album” hanya beroleh 3.150 hasil.

Piawai Memasarkan

“Musik bagus saja enggak cukup,” Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca, mengomentari tingkah polah Radiohead.

Pendapat Cholil ada benarnya. Soal kualitas, karya-karya Radiohead secara umum ditanggapi positif. Album OK Computer dan Kid A adalah dua dari sederet album mereka yang dianggap terbaik sepanjang masa di mata kritikus. Namun, Radiohead tak cuma pandai berkarya. Band dari Inggris ini juga piawai memasarkannya.

International Bussiness Times bahkan mencatat band ini sebagai pelopor pemasaran digital sejak 2000, saat mereka hendak meluncurkan album keempatnya: Kid A. Waktu itu, Yorke dkk menolak mempromosikan albumnya dengan mengeluarkan single dan video klip. Hal itu tentu membuat perusahaan rekaman Capitol waswas. Bagaimanapun, di masa itu radio dan MTV memegang kunci pemasaran musik.

Namun, Radiohead bergeming. Untunglah Robin Sloan Bechtel, salah satu bos Capitol, tak kehilangan akal. Singkat cerita, Bechtel bisa mendorong Capitol membuat pemutar musik bernama iBlip—tentu saja di dalamnya ada seluruh isi album Kid A—yang bisa dicantolkan pada situs-situs.

Menurut laporan Grantland, setidaknya ada seribu situsweb yang mencantolkan iBlip pada lamannya. Album Kid A pun diputar sebanyak 400 ribu kali lewat iBlip. Dengan inovasi itu, tak heran jika Radiohead disebut pelopor pemasaran digital. Capaiannya pun secara simbolik bisa dimaknai sebagai cara membuat MTV tak relevan.

Pada 2007, Radiohead membuat revolusi lain lagi. Saat itu mereka baru saja habis kontrak dengan perusahaan rekaman dan tidak memperpanjangnya. Lantas album ketujuh, In Rainbows, mereka pasarkan sendiri lewat inrainbows.com. Orang-orang yang ingin mengunduh dipersilakan membayar “seikhlasnya".

Tentu, mereka juga membuat semacam mekanisme subsidi silang dengan merilis album yang dikemas mewah, serta vinil, yang dipacak dengan harga premium. Hasilnya cukup fantastis. Di luar rilisan format digital yang sebenarnya bisa didapat cuma-cuma, CD album ini terjual sebanyak 1,3 juta kopi pada tahun itu juga. Selang setahun sejak rilis, Pitchfork mencatat angkanya menjadi 1,75 juta.

Cara pemasaran itu diulang pada album selanjutnya, King of Limbs pada 2011, meski harga rilisan digitalnya tak lagi “seikhlasnya”. Kali ini, penjualannya tak mencetak keberhasilan seperti In Rainbows. Album ini hanya laku sebanyak 400 ribu keping saja. Tapi, bisa dibilang kejeblokan ini lebih pada soal kualitas album, bukan soal cara berjualan.

Stereogum misalnya, menganggap King of Limbs sebagai album terburuk Radiohead. Tak sedikit komentator yang menyebutnya sebagai album “enggak jelas.” Namun, ternyata, dianggap jelek pun penerimaan King of Limbs secara keseluruhan tak buruk-buruk amat. Ia mendapat skor agregat sebesar 80 pada situs Metacritic.

A Moon Shaped Pool

Lalu, jika album yang dirilis lima tahun lalu mendapat ulasan yang menyenangkan, bagaimana kans album termutakhir ini? Dihubungi sebelum seluruh album diluncurkan, beberapa penggemar Radiohead mengatakan mereka menyukai lagu “Burn The Witch.”

Raka Ibrahim, misalnya. Pengelola zine Disorder ini menyukai "Burn the Witch” yang disebutnya menggabungkan instrumen elektronik dengan orkestra. Raka melihat album In Rainbows sebagai patokan. “Mereka paling sempurna di album In Rainbows-lah. Itu perpaduan sempurna dari gegitaran era awal dengan elektronika era sekarang,” terang Raka.

Penggemar lain, Ardyan Erlangga, juga berpendapat “Burn The Witch” ini sebagai lagu yang segar. Wartawan yang sedang termangu-mangu setelah membaca jadwal konser Radiohead di Jepang ini berpendapat single tersebut lain dengan lagu-lagu di album sebelumnya, King of Limbs, yang dianggapnya sebagai ekspansi proyek solo Thom Yorke.

Setelah mendengar lagu “Spectre”—sedianya menjadi soundtrack film James Bond Spectre pada 2015—dan “Burn The Witch”, Ardyan memperkirakan album ini banyak dipengaruhi keterlibatan Jonny Greenwood, yang belakangan kerap menggarap scoring film dan melibatkan orkestra.

Untuk album favorit, selain Kid A, Ardyan menunjuk album Hail to The Thief. “Enggak banyak dilirik, tapi semua jenis lagu Radiohead ada di sana. Kayak album perpisahan gitu,” terangnya.

Jika Ardyan dan Raka yang lebih apresiatif terhadap album-album Radiohead pasca-OK Computer bisa menerima “Burn The Witch” dengan positif, bagaimana dengan Cholil Mahmud, yang menilai OK Computer sebagai album terbaik?

“Lagunya ["Burn The Witch"] suka, walau belakangan ini, 2-3 album terakhir, enggak terlalu nyimak. Tahu lagu-lagunya tapi enggak sampai hafal,” papar vokalis yang suara dan teknik menyanyinya sering disebut mirip Thom Yorke ini.

Cholil kagum karena band ini selalu berusaha mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan. “Menjelajah wilayah artistik yang mereka belum pernah buat. Bisa jadi enggak baru, sudah pernah dilakukan oleh orang lain, tapi paling tidak itu belum pernah dilakukan mereka.”

Ia mencontohkan “Burn The Witch” yang menurutnya merupakan perpaduan antara elektronik dengan string section yang dominan, plus ambient dan noise. “Kalau saya jadi inget [lagu] ‘I’ve Seen It All’ dari Bjork feat. Thom Yorke. Instrumennya mirip,” kata Cholil.

Bagaimana dengan penerimaan di media? Sementara ini, The Telegraph dan The Guardian sama-sama memberi skor 4 dari 5. Angka yang lumayan, lagi-lagi bila dibanding The White Album-nya Weezer yang mendapat skor agregat 71 (dari 100) dari agregator Metacritic.

Sama-sama besar pada dekade 1990-an, Weezer sendiri pernah menyamak lagu Radiohead yang dianggap akbar: “Paranoid Android.” Tentu dengan gaya mereka sendiri. Selain Weezer, ada beberapa musikus lain membawakan lagu Radiohead. Jammie Cullum, misalnya, yang pernah membawakan “High and Dry” dengan aransemen jazzy. John Mayer pun pernah menyamak lagu “Kid A”, meski dianggap tak terlalu berhasil.

Namun, samak-menyamak bukanlah satu-satunya indikator kebesaran satu band. Mesti ada pihak yang sebal. Untuk perkara ini, simaklah komentar frontman Oasis, Noel Gallagher, yang pernah merepet menumpahkan kecemburuannya kepada Radiohead dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Esquire tahun lalu.

“Aku tahu Radiohead tak pernah mendapat ulasan jelek. Aku juga tahu, kalau saja si Thom Yorke berak di bohlam kemudian menghantamkan bohlam itu seperti [menghantamkan] botol bir kosong, ia mungkin tetap dapat nilai 9 dalam (majalah musik) Mojo. Aku sadar itu.”

Baca juga artikel terkait RADIOHEAD atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

tirto.id - Teknologi
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti