Menuju konten utama
5 Februari 1855

165 tahun Injil di Papua: Masih Adakah Kabar Baik?

Setelah 165 tahun Injil masuk tanah Papua, kabar baik apa yang masih bisa ditawarkan Gereja bagi orang-orang yang keluarganya dibunuh dalam operasi militer di Papua?

165 tahun Injil di Papua: Masih Adakah Kabar Baik?
Ilustrasi Mozaik Masuknya Kristen di Papua. tirto.id/Nauval

tirto.id - Lima Februari senantiasa menjadi hari istimewa bagi orang Papua. Sejarah mencatat tanggal 5 Februari 1855 sebagai hari pertama dua orang misionaris Jerman Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler menginjakkan kaki di pulau Mansinam setelah melakukan ekspedisi pelayaran dan singgah di Batavia, Makasar, dan Ternate.

Mansinam adalah pulau kecil di Teluk Doreh di wilayah ibukota Papua Barat. Tempat itu bisa ditempuh sekitar 20 menit dengan kapal nelayan dari Pantai Kwawi, Manokwari.

Melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi Papua Nomor 140 Tahun 2008 tanggal 5 Februari bahkan dijadikan hari libur resmi sejak 2008. Sejak itu, narasi soal injil masuk tanah Papua senantiasa digadang-gadang sebagai hari masuknya “terang”, "kemajuan", "peradaban" dan berbagai produk modernitas ke tanah Papua.

Namun berita injil (yang arti harfiahnya adalah kabar baik) seperti apa yang ada dibenak Carl Wilhem Ottouw dan Johann Geissler saat datang ke Papua 165 tahun silam? Sebesar apa pengaruh mereka sampai hari ini dalam pembentukan konstruksi gagasan Injil di Papua?

Kebangkitan Pietisme, Cikal Bakal Gerakan Misi Modern

Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa orang Jerman seperti seperti Ottouw dan Geissler mau-maunya menempuh jarak lima belas ribu kilometer untuk menyebarkan agama Kristen Protestan ke Papua?

Untuk menjawab itu kita perlu mengetahui kebangkitan kaum religius konservatif Eropa pada abad ke-19.

Masyarakat Kristen Eropa pada abad ke-19 umumnya menghayati kekristenan dalam terang pencerahan. Kekristenan yang selama berabad-abad sebelum reformasi Protestan melulu dipahami dalam kacamata tradisi kanon gereja, dihayati ulang dari lensa humaniora mutakhir pada abad ke-19. Kajian Alkitab didekati dengan pendekatan historis kritis. Semua kisah-kisah Alkitab didedah dengan berbagai kajian hermeneutika modern. Etika kristen dikaji dengan kacamata khas individualisme otonom ala manusia modern. Singkatnya kekristenan menjadi sangat kompatibel dengan semangat pencerahan (Aufklarung).

Tapi tak semua kelompok puas dengan apa yang disebut pencerahan dalam penghayatan agama kristen ini. Sebagai reaksi kepada pencerahan, berbagai kelompok-kelompok tradisionalis konservatif di berbagai denominasi protestan di Eropa yang sering disebut kaum Pietis (dari bahasa Latin pieta yang artinya saleh) bangkit pada abad ke-18 dan ke-19.

Kelompok Pietis ini mengungkapkan kekecewaannya kepada kekristenan modern. Pencerahan yang memberi tempat luas bagi rasio dirasa tidak memberi ruang yang cukup bagi perasaan keagamaan dan pembentukan akhlak kristiani.

Maka gerakan pietis ini membentuk kelompok-kelompok doa dan kelompok pembaca Alkitab. Kelompok ini umumnya dipimpin oleh orang Kristen awam yang tidak berpendidikan teologi secara formal. Alih-alih membahas relasi pemikiran trinitas Hegel dengan iman Kristen seperti yang dilakukan para teolog dari universitas ternama, kelompok pengajian Alkitab ini membaca Alkitab secara harafiah dan mencari penerapan praktisnya dalam hidup sehari-hari.

Kelompok-kelompok Pietis juga serius memikirkan cara mewujudkan amanat agung Yesus Kristus untuk menjadikan segala bangsa, kaum, dan penutur bahasa yang berbeda-beda sebagai murid Yesus (bandingkan dengan Matius 28:18-19). Dalam pemikiran mereka, yang dimaksudkan “menjadikan murid Yesus” dapat dicapai melalui proselitisasi atau upaya mengkristenkan bangsa-bangsa non-kristen di belahan dunia lain.

Proselitisasi atau upaya mengkonversi orang menjadi penganut agama kristen menjadi ciri penting gerakan Pietis karena logika sederhana yang melandasinya: tanpa menjadi Kristen, semua orang akan binasa di akhirat karena harus menanggung dosa tanpa penebusan. Mereka juga akan sengsara di dunia ini karena hidup dalam cara yang berdosa.

Gossner dan Heldring sebagai Pengutus Misi ke Papua

Di Belanda seorang pendeta Protestan (yang pernah menjadi imam Katolik) berdarah Jerman, bernama Johannes Evangelist Gossner termasuk salah seorang yang memikirkan secara serius upaya proselitisasi itu. Gossner yang dalam buku hariannya mendaku telah bertobat dari Kristen pencerahan kepada Kristen Pietis, bersama rekannya Otto G. Heldring, membuat berbagai kebaktian kebangunan rohani bertajuk The Reveil (Kebangkitan) di berbagai gereja-gereja liberal di Belanda pada Juli 1837.

Gossner dan Heldring mengatakan akhir zaman dan masa kerajaan surga akan datang jika semua tempat di muka bumi sudah diinjilkan, merujuk secara harfiah Injil Matius 24:14 yang mengatakan bahwa “...Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya”,

Propaganda ini berjalan dengan sukses. Ada banyak anak-anak muda yang diyakinkan untuk menjalani kehidupan saleh dan bersedia dijadikan misionaris ke berbagai belahan bumi. Di antara sekian banyak pemuda yang diyakinkan untuk menjadi misionaris kristen, Carl Wilhem Ottouw dan Johann Geissler adalah dua orang di antaranya.

Beralih ke Misi Dagang

Sejarah mencatat, seperti halnya berbagai misi proselitisme lainnya, misi Ottouw dan Geissler ke Papua juga disertai ide-ide sekitar pemberadaban dan penaklukan.

Catatan harian Ottouw menyebutkan pekerjaan misi yang dimulai dengan studi budaya dan bahasa orang-orang pulau Numfor segera berlanjut menjadi misi “perdagangan”. Pada tahun-tahun kedua dan ketiga, setelah pemerintah Hindia Belanda memberikan dukungan dana misi sebesar 50 gulden per bulan, Ottouw dan Geissler kemudian mengajukan proposal kerja sama bisnis dengan Hindia Belanda. (Sebagai perbandingan, satu keping gulden pada masa itu mengandung kurang lebih 9,45 gram perak, sehingga dalam kurs hari ini kurang lebih 50 gulden setara dengan 2.500 USD).

Gagasannya sederhana, mereka meminta pada pemerintah agar di daerah Kebar, Tambrau dibuka perkebunan tembakau dengan mempekerjakan "jiwa-jiwa yang hilang". Melalui kerja-kerja itu menurut Ottouw, orang-orang ini dapat mengenal Injil. Ottouw dan Geissler juga meminta agar para serdadu Hindia Belanda dan eks-serdadu pemerintahan dari Ambon dapat dikirmkan ke Tambrau untuk menjadi mandor bagi orang Papua. Ide itu ternyata tidak disambut oleh Batavia.

Alih-alih, pemerintahan Hindia Belanda menawarkan skema lain.

Mereka menawarkan dana hibah sebesar 10.000 gulden asalkan duo misionaris ini mau masuk ke wilayah-wilayah pedalaman Papua barat. Rupanya Batavia juga menyertakan dua orang petani dari Jawa yang menguasai teknik budidaya varietas tembakau untuk menyertai ekspedisi misi Ottouw dan Geisler. Salah satu penduduk Tidore mengomentari perjalanan misi injil dan dagang ini sebagai “perjalanan penginjilan yang dingin karena dibayangi oleh menjadi ekspedisi bisnis yang prospektif”.

Seorang Naturalis dari Britania raya yang tersohor, Alfred Russel Wallace mengunjungi Ottouw pada 1858. Wallace terkejut karena Ottouw dan Geisler terlihat kaya raya dan hidup bak saudagar. Rupanya, selain upaya merintis perkebunan tembakau, mereka memperluas bisnisnya menjadi pengepul hewan-hewan eksotis seperti teripang, burung cenderawasih, cangkang kura-kura, bahkan mutiara. “Tampaknya ada benturan kepentingan dalam misi Ottouw dan Geisler, hasrat menumpuk profit harus berhadapan dengan misi pekabaran injil, dan tampaknya hasrat yang pertama itu yang menang.”

Injil yang Reduktif

Sebagaimana diungkapkan oleh Jan Aritonang dalam History of Christianity in Indonesia (2008, hlm. 352) Ottouw dan Geisler membuka pintu bagi kedatangan berbagai badan misi lain ke tanah Papua. Secara masif dan programatik berturut-turut Utrech Society of Mission (Utrechtse Zendings Vereniging) dari negeri Belanda, misalnya, mengirimkan tenaga misionaris profesional ke Papua pada 1863.

Tak bisa ditampik, perjalanan misi Injil dan dagang Ottow dan Geissler membuka jalan bagi dibangunnya pos pemerintahan Hindia Belanda pada 1898 di Manokwari dan Fakfak. Dengan berdirinya pemerintahan sipil Hindia Belanda kehidupan beragama Kristen menjadi teregulasi di bawah aturan negara. Segala bentuk kebudayaan Papua yang dianggap tidak bersesuaian dengan kultur Kristen barat sejak itu dilarang dipraktikkan.

Berturut-turut sejak berdirinya pemerintahan kolonial Belanda masuk beraneka ragam langgam kekristenan ke Papua. Mulai dari misi Missionaries of Sacred Heart Jesus (MSC) Katolik Roma pada 1902, sampai misi kaum evangelikal Amerika Serikat, Christian and Missionary Alliance of America (CAMA)pada 1939.

Infografik Mozaik Masuknya Kristen di Papua

Infografik Mozaik Masuknya Kristen di Papua. tirto.id/Nauval

Terlepas dari pusparagam denominasi kristen yang hadir dan memberitakan Injil di tanah Papua, tampaknya bayang-bayang Injil Pietis versi Otouw dan Geisler yang selalu hadir di latar teologis:

Injil yang menjanjikan kavling di surga dengan harga kehilangan tanah di bumi, Injil yang menekankan keselamatan jiwa di akhirat tapi mengabaikan kesejahteraan hidup hari ini di bumi.

Gereja-gereja di tanah Papua adalah Gereja yang paling berat menghadapi gejolak politik di Indonesia. Gereja di Papua menjadi saksi sejarah melewati perang tahun 1946-1962, masa-masa krisis politik saat Pepera pada 1969, eksploitasi sumber daya alam dalam tahap yang destruktif, sampai kekerasan dan konflik agraria dan politik di era Orde Baru hingga Reformasi.

Sependek pembacaan saya, sangat jarang berita Injil Yesus Kristus yang mengabarkan pembebasan manusia dari dosa struktural dikumandangkan. Sampai hari ini, misalnya, aras gereja nasional seperti PGI, PGPI,PGLII, dan KWI tidak bersuara apa-apa terhadap kriminalisasi aktivis HAM Papua.

Berita Baik Apa yang Disampaikan oleh Injil?

Injil berasal dari kata Yunani euangelion yang artinya kabar baik. Kabar baik ini utamanya bukan kabar baik tentang masa depan manusia di akhirat. Kabar baik ini ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang spesifik. Kabar baik, menurut perkataan Yesus Kristus sendiri, dipersembahkan untuk mereka yang miskin, dipenjara, dan tertindas di tiap zaman dan tempat di mana Injil diberitakan (Lukas 4:18).

Setelah 165 tahun Injil masuk tanah Papua, kabar baik apa yang masih bisa ditawarkan Gereja bagi orang-orang yang keluarganya dibunuh dalam operasi militer di Papua? Kabar baik apa yang bisa disampaikan kepada Dano Annes Tabuni, Ambrosius Mulait, Arina Elopere, Charles Kossay, dan Surya Anta yang menjadi tawanan karena sikap politiknya? Kabar baik apa yang bisa dinantikan oleh Mispo Gwijangge yang dikriminalisasi dan harus menghadapi ancaman hukuman mati?

Peringatan masuknya Injil ke tanah Papua menurut hemat saya adalah kesempatan untuk memikirkan ulangrelevansi Injil bagi orang Papua hari ini.

Ada risiko dalam memercayai Injil. Percaya kepada Injil bagi Yesus Kristus artinya memilih berpihak. Berpihak pada yang lemah, tertindas, dan dibungkam. Percaya pada Injil juga dianggap sebagai sebuah tindakan bodoh, kata Rasul Paulus, karena mengharuskan kita berseberangan dengan episentrum kekuasaaan, karena membela yang lemah (1 korintus 1:18). Jalan itulah bagi umat Kristiani yang diyakini kekuatan yang menyelamatkan dunia (Roma 1:16-17).

Hanya dengan kembali ke semangat pembebasan, Injil dapat menyelamatkan Papua. Jika kita kembali kepada wawasan Injil ala Ottouw dan Geisler, sejarah telah menunjukkan akibatnya: Gereja turut ambil bagian dalam melanggengkan impunitas dan kekerasan di Papua.

==========

Suarbudaya Rahadian adalah Pendeta Gereja Komunitas Anugerah Salemba dan pengasuh rubrik Kristen Progresif Indoprogress.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Suarbudaya Rahadian

tirto.id - Mozaik
Penulis: Suarbudaya Rahadian
Editor: Windu Jusuf