tirto.id - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tetap bersikukuh pada sikapnya untuk menolak dikenakannya biaya isi ulang uang elektronik (e-Money). Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi mengatakan Bank Indonesia (BI) seharusnya bisa lebih fokus dulu terhadap perpindahan transaksi masyarakat dari yang tadinya tunai menjadi nontunai.
“Ketika sedang menggalakkan GNNT (gerakan nasional non-tunai), seharusnya jangan dinodai dengan polemik seperti ini,” kata Sularsi saat dihubungi Tirto via telepon, pada Kamis (21/9/2017).
Sularsi menilai, BI dan industri perbankan harusnya bisa fokus pada upaya meningkatkan literasi keuangan yang diklaimnya baru mencapai 60 persen. Selain itu, strategi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat di luar Jakarta terhadap uang elektronik juga dinilai Sularsi tak kalah penting.
“Jadi yang sebetulnya harus dilakukan lebih kepada menumbuhkan kesadaran untuk bertransaksi nontunai, itu lebih penting. Bukannya langsung dikenakan biaya semacam ini,” ucap Sularsi.
Lebih lanjut, Sularsi mengimbau agar BI mampu menjelaskan pengenaan biaya sebesar Rp750,00 bagi yang mengisi ulang lewat kanal pembayaran milik penerbit kartu (top up on us) dan Rp1.500,00 bagi yang mengisi ulang lewat kanal pembayaran penerbit kartu yang berbeda atau mitra (top up off us).
“Sehingga pengenaan biaya itu bisa dipertanggungjawabkan. Seperti pada angka Rp1.500,00 itu, harus jelas nilainya dari mana. Untuk ketentuan business-to-business (B2B) harus jelas,” kata Sularsi.
Baca juga:BI Tetapkan Biaya Isi Ulang e-Money Maksimal Rp1.500
Kendati mengkritisi besaran angkanya, namun Sularsi mengaku setuju dengan pengenaan biaya yang ditentukan agar adanya keselarasan dan masing-masing bank tidak adanya main aturan sendiri.
Oleh karena itu, Sularsi meminta agar BI menjelaskan lebih lanjut terkait Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional. “Agar tidak berat sebelah. Karena meskipun ini bisnis, tapi tetap intinya pada pelayanan,” ujar Sularsi.
Sularsi pun sempat menyinggung tentang kewajiban bank untuk menyediakan alat pembaca kartu (card reader) sendiri, mengingat adanya biaya isi ulang yang dialokasikan untuk infrastruktur dan pemeliharaan.
“Selain itu, harus adanya insentif seperti saat kartu elektronik hilang. Perlu adanya jaminan kartu bisa diblokir dan masyarakat mendapat kartu baru dengan berisi saldo sesuai dengan yang terdapat pada kartu sebelumnya,” jelas Sularsi.
Sementara itu, pengacara David Tobing yang pada Senin (18/9/2017) telah mengadukan BI ke Ombudsman RI terkait rencana pengenaan biaya isi ulang ini mengaku menyesalkan tindakan BI. Menurut David, BI tidak mendengarkan keberatan dari masyarakat.
“Seakan ada target yang harus dikejar. Masalah ini sedang diselidiki Ombudsman terkait dugaan maladministrasinya,” ucap David kepada Tirto melalui pesan singkat, pada Kamis siang.
David mengaku bakal tetap menggugat selama aturan tersebut dinilai merugikan konsumen. “Saya harus lihat aturannya dulu. Karena untuk menggugat harus jelas objek gugatannya,” kata David lagi.
Saat disinggung mengenai biaya isi ulang uang elektronik yang dipatok di kisaran Rp750,00 hingga Rp1.500,00, David memberikan pandangannya “intinya nilai uang tunai yang dipegang masyarakat tidak boleh berkurang ketika diarahkan ke uang elektronik.”
Baca juga:INDEF Sayangkan Kebijakan BI Soal Biaya Saldo e-Money
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz