Menuju konten utama

INDEF Sayangkan Kebijakan BI Soal Biaya Saldo e-Money

Ekonom INDEF menuturkan, pengenaan biaya saldo e-money bisa menjadi disinsentif, terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017.

INDEF Sayangkan Kebijakan BI Soal Biaya Saldo e-Money
Antrian kendaraan saat transaksi di Gerbang Tol Cibubur, Jakarta TImur, Kamis (31/8/2017). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - Ekonom dari Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, keputusan Bank Indonesia (BI) yang membolehkan bank memungut biaya isi saldo uang elektronik (e-money) kontradiktif dengan upaya mendorong masyarakat aktif dalam transaksi non-tunai.

Pernyataan Bhima tersebut sebagai respons dari langkah BI yang secara resmi menetapkan biaya pengisian saldo uang elektronik dengan cara lintas kanal (Top Up Off Us) dengan tarif maksimal sebesar Rp1.500. Sementara untuk pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu (Top Up On Us) diatur dengan dua ketentuan, yaitu: gratis dan bisa dikenakan biaya maksimal Rp750.

Sebagai informasi, cara "off us" adalah pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda, atau melalui mitra seperti melalui pasar swalayan dan pedagang ritel lainnya. Sedangkan cara "on us" adalah pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu.

“Awalnya sudah meminta masyarakat lebih aktif menggunakan uang elektronik dan mendorong gerakan non-tunai, tapi sekarang justru dikenakan biaya,” kata Bhima, di Jakarta, Kamis (21/9/2017) seperti dikutip Antara.

Bhima menuturkan, pengenaan biaya tersebut bisa menjadi disinsentif [bersifat tidak merangsang], terlebih menjelang penerapan elektronifikasi 100 persen pembayaran jasa tol pada 31 Oktober 2017. Pengenaan biaya isi saldo justru membuat masyarakat enggan menggunakan uang elektronik dan kembali ke transaksi tunai.

Semestinya, kata Bhima, BI dan industri perbankan memberikan insentif kepada masyarakat karena selama ini bank sudah mendapat keuntungan dari marjin penjualan kartu perdana uang elektronik.

“Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut biaya isi saldo meskipun hanya Rp1.000 sekali transaksi,” kata Bhima.

Lebih baik, Bhima menyarankan, BI dan perbankan penerbit uang elektronik serta operator jasa transportasi atau operator sektor riil lainnya mengedepankan skema pembagian beban biaya investasi infrastruktur uang elektronik seperti terjadi di Hongkong. Dengan begitu, beban biaya yang ditanggung bank dapat berkurang sehingga justru memberikan diskon kepada masyarakat.

“Skema sharing cost dengan operator transportasi itu justru mengurangi beban biaya bank penerbit kartu, sehingga bank dapat memberikan diskon harga ke konsumen,” kata Bhima.

Baca juga artikel terkait E-MONEY atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Bisnis
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz