tirto.id - Sampul album terbaru The Strokes, The New Abnormal (Cult/RCA, 2020) memajang lukisan neo primitif Alipjon berjudul Bird on Money.
Tentu saja itu bercanda. Saya juga tak mau menyesatkan kalian para hadirat pembaca budiman yang terlalu pintar untuk mempercayai begitu saja sajian informasi dari seorang penulis bedul ini. Bird on Money adalah kreasi maestro grafiti Jean-Michel Basquiat rilisan 1981, sebuah kanvas penghormatannya kepada sesama pengisap heroin, virtuoso bebop-saksofonis Charlie Parker, yang akrab disapa ‘Bird’.
Sementara Alipjon. . . kita mengenalnya sebagai seorang bintang seniman pemuja Basquiat asal Jakarta yang kenyang dicibir norak karena dianggap haus atensi dan banyak pamer gaya.
Lelucon ‘Jean-Michel Alipjon’ di atas bukan sekadar derogatori personal yang sengaja saya lontarkan demi olok-olok belaka, melainkan benar-benar kejadian. Setidaknya terdapat dua adegan terkait hal itu yang hinggap secara hampir bersamaan. Salah satunya ketika Strokes memainkan lagu “Bad Decisions” di panggung utama We The Fest 2023 dan saya—yang hanya khatam debut Is This It (RCA/Rough Trade, 2001)—menyenggol lengan Reno Nismara, penyanyi Crayola Eyes, untuk menanyakan dari album mana lagu itu berasal.
"Yang Alipjon," katanya sambil terkekeh.
Saya juga ikut tertawa kecil, seraya kembali menyeruput kaleng bir dan memalingkan muka ke arah panggung, sekali lagi coba mencari pandang sejelas mungkin, berjinjit, mendangak, berebut celah dengan ribuan batok kepala para perekam gawai amatir.
Seandainya saja saya membawa binokular; dari posisi menyamping di kiri sejajar FOH, kuintet Strokes itu tampak mini seperti Lego raksasa. Nikolai Fraiture. Albert Hammond Jr. Julian Casablancas. Fabrizio Moretti. Nick Valensi. Dan hal pertama yang saya perhatikan adalah rambut. Mereka menjadi ikon rock & roll di awal 2000-an karena tampil keren dengan rambut awut-awutan bertampang lusuh yang memberi sebuah kredo pembenaran bagi segenap gembel kampus untuk mampu tetap percaya diri, pergi kuliah berantakan tanpa mandi, mengenakan kaus oblong bolong, jins robek, serta tentu saja bersepatu Converse penuh tambalan.
Malam itu dilingkupi déjà vu. Menyaksikan Strokes, saya merasa sudah pernah melihat langsung mereka berlima pada masa sebelumnya. Mungkin dalam sebuah mimpi lucid atau sekadar jejak ingatan tak bertuan, yang jelas semua mengerucut seperti pameran ikonografi terkombinasi: Valensi, berantakan, versi ganteng dari Keith Richards, mengocok intro gitar Velvet Underground-esque nomor “The Modern Age” sebagai pembuka konser; duo kribo Hammond Jr. dan Moretti mengiringinya santai keriwilan bersama Nikolai si gondrong pirang ala Brian Jones; vokalis Casablancas paling mencolok, sebagaimana selayaknya seorang bintang rock flamboyan, memasang kacamata hitam di kala malam.
Itulah daya tarik Strokes. Pesona fisikal berjalan beriringan dengan pendobrakan musikal di eranya. Alasan kenapa Is This It melejit adalah, karena apa yang terciptakan di album itu dapat digolongkan gelombang baru retro.
Banyak orang beranggapan bentuk musik orisinal terakhir lahir pada dekade 90-an, yang terjadi selanjutnya hanya pengulangan. Strokes melakukan apa yang mulai ditinggalkan orang-orang memasuki gerbang milenium. Dari grunge/alternative/britpop masuk ke nu-metal, Strokes keluar dengan lagu-lagu punk rock berinsting lo-fi yang dipagari oleh referensi macam Ramones, Television, Talking Heads, Blondie atau Cars. Seragam musik yang ketinggalan zaman tapi tak pernah kadaluarsa. Strokes mengisi kekosongan yang dibutuhkan untuk mengevolusi tren musik.
Hasilnya mengembalikan enigma rock & roll, berbahaya alam bawah tanah: menunjukkan kepada kita glamoritas tak memerlukan kemewahan. Elegansi Strokes terdiri dari tata suara rombeng pimpinan Casablancas yang bernyanyi arogan dengan temperamen gelap pukul tiga pagi. Tidak ada maskulinitas, melainkan alienasi dan lagu-lagu seksi bagi pedansa klaustrofobik. Tembus secara komersial, Strokes membuka jalan bagi band-band lain sejenis untuk kemudian mengambil alih pasar mainstream.
Sejumlah nama macam Libertines, Black Rebel Motorcycle Club, Franz Ferdinand, Arctic Monkeys, Hives, Von Bondies, Mooney Suzuki, hingga Datsuns tak dimungkiri berutang kesempatan kepada Strokes. Mereka adalah para peledak tren garage rock revival di awal 2000-an. Dan bukan hanya band-band itu, tapi semua musisi yang meniti ulang disko, electro, dan synthesizer di sepanjang dekade 2000-2009 pun mengambil tongkat estafet Strokes, begitu juga setiap eksperimentasi art-pop dari akhir 70-an dan awal 80-an tiba-tiba menjadi hip dan matang untuk diperbarui.
Pilihan Lagu yang Adil dan Merata
Susunan repertoar Strokes di We The Fest terbagi cukup adil mewakili total enam album penuh yang pernah mereka rilis. Jika di dua album awal, Is This It dan Room on Fire (RCA, 2003), Strokes dianggap tak berkembang akibat menulis dengan formula yang serupa, maka album ketiga mereka, First Impressions of Earth (RCA, 2005) digubah jauh berbeda lewat pendekatan ritmis yang lebih kompleks. Sepasang lagu dari album itu yang dibawakan di Jakarta adalah “You Only Live Once” dan “Juicebox”.
Strokes punya kebiasaan baru di 2023 ini, saya menyebutnya tes mental penggemar, dengan mengundang penonton naik ke panggung untuk memainkan satu lagu mereka. Di Lytham Festival di Inggris Juli lalu, Casablancas mengajak seorang perempuan menggantikannya menyanyikan “Ode to the Mets”. Di Bangkok, seorang pria yang berada di tumpukan terdepan barikade membawa kertas bertuliskan ‘I Wanna Play drums for Last Nite Fab’, benar-benar ditarik dan dituruti permintaannya.
Di Jakarta, Adam Rinando, dramer Sajama Cut melakukan trik kertas yang sama, bedanya ia menginginkan “Juicebox”. Moretti yang menjemputnya sendiri, lalu Adam bermain di bawah tekanan Valensi yang memintanya menjaga kelancaran tempo—tampak galak mengarahkan telunjuknya ke arah Hammond Jr.
Usai konser saya bertemu Adam. Telapaknya tangannya dingin, adrenalin campuran grogi dan ekstase fanatik masih deras mengaliri saraf tubuhnya. Ia mengaku sempat dimarahi sound engineer Strokes karena menggebuk terlalu keras, juga tempo yang berlangsung lebih cepat dari biasanya, tapi Moretti menyalaminya dengan girang dan menghadiahi stik Vic Firth 5B, ukuran yang biasa dipakai olehnya.
Keberanian para fans ikut unjuk gigi memperlihatkan kesederhanaan aransemen musik Strokes mendekatkan mereka dengan kita, bahwa semua orang bisa membawakan lagu mereka saking gampangnya. Seakan sadar akan hal itu, Casablancas sebagai penulis lagu utama Strokes yang biasanya menciptakan sendiri mulai melibatkan keempat rekannya, dengan cara memboikot proses rekaman. Ia sering mendengar desas desus publik yang menuduh, ‘Strokes sebuah band demokrasi di bawah pemimpin kediktatoran.
“Selama ini kalau saya berada di studio, orang-orang hampir selalu menunggu opini saya demi memutuskan sesuatu. Saya rasa ini saatnya untuk bisu dan tidak melakukan inisiatif, sehingga masing-masing dari kami bekerja dalam porsi yang seimbang,” kata Casablancas kepada Pitchfork di 2010.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, album keempat Strokes, Angles (RCA, 2011), direkam dengan penuh gelisah dan gugup. Casablancas absen di sebagian besar sesi dan merekam bagian vokalnya sendiri. Mereka menulis lagu secara terpecah-pecah, datang ke studio dalam waktu terpisah dan menyatukan bagan per bagan lagu lewat catatan ide mentah yang dikirim via surel.
“Sangat, sangat menyebalkan. Saya bisa berhenti dari band saat itu juga,” kata Valensi kepada Pitchfork.
“Karena makan, nafas, tidur, dan berak Julian adalah musik. Biasanya kami masuk studio pada waktu zuhur, ketika kami selesai dan pulang malam harinya, dia akan tinggal di studio hingga pukul empat pagi; mixing ulang, mencoba ide-ide yang baru keluar dari kepalanya. Dia seperti robot android. Ada kalanya saya sudah lelah mendengarkan hasil rekaman dan memutuskan untuk stop, tapi tidak dengan Julian. Telinganya masih sangat tajam menangkap detail suara. Dia memaksa kami untuk bergantung pada kecakapannya itu. Seorang yang sulit diajak berkompromi, dan punya kemampuan komunikasi yang buruk, tapi sialnya dia sangat, sangat kreatif.”
Celakanya, metode bekerja macam itu memberi dampak buruk bagi kelanjutan karir mereka. Strokes mengalami hiatus untuk kedua kalinya—yang pertama di 2007—setelah perilisan Comedown Machine (RCA, 2013), album penuh kelima yang kehilangan arah, bahkan mereka tidak bersedia melakukan tur atau wawancara atau tetek bengek promosi untuknya.
Di We The Fest 2023, “Life is Simple in the Moonlight” dan “Welcome to Japan” dimainkan, dua lagu yang berasal dari dua album di masa pudar Strokes di mana tak banyak lagu-lagu yang patut diingat, dua album centil dengan pola electro pop sesat, yang kemungkinan besar merupakan basian materi album solo Casablancas, Phrazes of the Young (Cult, 2009).
“Drink up! Drink up!”
Casablancas sedang menyemangati para peminum We The Fest 2023 atau bisa jadi ia gemas, setiap kali melihat orang lain menenggak alkohol. Sebagian dari dirinya mungkin seperti kena remas mengingat kembali hari-harinya dulu sebagai seorang alkoholik. Tapi kemudian ia menyesalinya, mengatakan kepada penonton bahwa seruannya tadi adalah sebuah ‘bad advice’. Kini Casablancas sudah sober selama hampir 15 tahun dan merasa lebih bahagia.
Dalam sebuah wawancara ia mengakui, “Mungkin itu penyesalan terbesar saya—minum gila-gilaan sewaktu muda. Ingatan saya akan era dua album awal Strokes kabur, yang jelas saya terlalu sering memalukan diri sendiri. Ketika memutuskan berhenti, saya mampu menikmati banyak hal dan belajar mengenal diri sendiri.”
Ia membuktikan: di 2013, pada masa rehat Strokes, Casablancas membentuk Voidz dan merilis Tyranny, debut antagonis berisi lagu-lagu non komersial dengan aspirasi avant-garde. Jika Strokes menjadi cerminannya atas bentuk pop Velvet Underground, maka Voidz ibarat Metal Machine Music-nya Lou Reed, lumbung kekacauan dan keanehan bagi kreasinya.
Tidak hanya Casablancas yang bikin band baru periode itu, keempat anggota Strokes lainnya pun saling melanglang buana. Nikolai mendirikan Summer Moon bareng personel Jane’s Addiction, Hammond Jr. lanjut produktif merilis album-album solonya, Moretti sibuk menjadi seniman patung, dan Valensi memimpin sebuah band stoner bernama CRX.
Strokes mempengaruhi budaya pop secara positif. Musik mereka tak banyak mengandung risiko, mungkin itu yang membuatnya terdengar begitu keren dalam beberapa situasi tertentu; satu per satu manusia datang lalu pergi, mati tiga tumbuh seribu, muncul dan membuat kita tersesat, pergi ke pesta-pesta yang membosankan. Saya selalu meyakini bahwa band-band sejenis Strokes di 2001 harus terus dilahirkan hari ini dan sampai kapan pun: yang ambisius, keren, glamor, dan cerdas.
Strokes menutup We The Fest 2023 dengan encore “Hard To Explain” dan “Reptilia”, dua lagu dari dua album pertama yang menyelamatkan sebuah dekade dari kemungkinan masa depan yang buruk sebagaimana kita mengultusnya.
Ada banyak band bagus bertebaran di antara band bagus lainnya, tapi mereka hanya keluar di tengah dua era: era sebelum The Strokes dan setelah The Strokes.
Penulis: Rio Tantomo
Editor: Nuran Wibisono