Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Watak Buruk & Kekejaman Raja yang Berkuasa Singkat, Amangkurat III

Raja Kasunanan Kartasura, Amangkurat III, tidak disukai karena bertabiat kurang baik. Ia bengis dan sering menyiksa siapapun yang menghalangi kekuasaannya.

Watak Buruk & Kekejaman Raja yang Berkuasa Singkat, Amangkurat III
Ilustrasi Amangkurat III. tirto.id/Fiz

tirto.id - Wafatnya Amangkurat II pada 1703 menimbulkan polemik dalam proses suksesi kepemimpinan di Keraton Kartasura, kerajaan turunan Mataram yang berpusat di Jawa bagian tengah, dekat Surakarta. Raden Mas Sutikna, satu-satunya putra mendiang raja, segera mengklaim diri sebagai penerus takhta dengan gelar Amangkurat III. Namun, timbul penolakan dari berbagai kalangan.

Sebagian pejabat istana dan rakyat kebanyakan meyakini bahwa sejatinya yang lebih layak menjadi raja baru adalah Pangeran Puger, paman Raden Mas Sutikna atau adik kandung Amangkurat II.

Tetapi, sebagai satu-satunya anak lelaki Amangkurat II, Raden Mas Sutikna tetap naik takhta dan dinobatkan sebagai penguasa baru Kartasura. Ia menyandang gelar Amangkurat Mas atau Amangkurat III, sering pula disebut dengan nama Sunan Mas.

Sejak Amangkurat III berkuasa inilah mulai timbul berbagai intrik dan sejumlah peristiwa yang semakin memperuncing konflik dengan kubu Pangeran Puger. Amangkurat III, dengan segenap kontroversi dan dikenal sebagai sosok yang bertabiat amat buruk, akhirnya terguling juga dan menjadi raja selama tiga tahun saja.

Pusaran Dendam Trah Mataram

Dulu, sebelum Raden Mas Sutikna lahir, hubungan kakak-beradik antara Amangkurat II dan Pangeran Puger sempat renggang. Kedua putra Amangkurat I ini sama-sama pernah ditetapkan sebagai putra mahkota. Amangkurat I adalah anak lelaki Sultan Agung yang menjadi Raja Mataram Islam terakhir sebelum munculnya Kasunanan Kartasura.

Semula, yang ditetapkan sebagai pewaris takhta adalah Amangkurat II atau yang ketika itu masih memakai nama Raden Mas Rahmat. Namun, lantaran pernah membelot dengan bantuan Trunojoyo, status putra mahkota itu dicabut dan diberikan kepada adiknya, yakni Raden Mas Darajat alias Pangeran Puger.

Pada perkembangannya kemudian, karena Trunojoyo justru tidak bisa dikendalikan, Raden Mas Rahmat kembali ke kubu ayahnya. Setelah Amangkurat I wafat dalam pelarian pada 1677, Raden Mas Rahmat naik takhta dengan gelar Amangkurat II. Ia mengakhiri riwayat Kesultanan Mataram Islam dan mendirikan pemerintahan baru bernama Kasunanan Surakarta.

Hubungan Amangkurat II dengan Pangeran Puger selanjutnya tidak pernah bisa benar-benar akur. Amangkurat II sebenarnya sudah berusaha merangkul adiknya itu, salah satunya adalah dengan menikahkan putranya, Raden Mas Sutikna, dengan putri Pangeran Puger yang bernama Raden Ayu Lembah, pada 1698.

Seperti ditulis Purwadi dalam Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik (2007), Raden Ayu Lembah kemudian menjadi permaisuri setelah Raden Mas Sutikna ditabalkan sebagai raja baru Kasunanan Kartasura dengan gelar Amangkurat III (hlm. 398).

Namun, pernikahan yang bertujuan untuk memperbaiki hubungan antara trah Amangkurat II dengan Pangeran Puger itu justru menjadi pemicu semakin runcingnya polemik keluarga tersebut.

Paman vs Keponakan

Amangkurat III sebenarnya dianggap tidak layak menjadi raja karena terlahir dengan kondisi fisik kurang sempurna, ada cacat di bagian tumitnya. Selain itu, dikutip dari buku Ngono ya Ngono ning Aja Ngono: Tafsir Deskriptif Filsafat & Kearifan Jawa (2012) karya M. Hariwijaya, orang-orang meyakini bahwa wahyu keprabon (tanda-tanda gaib untuk seorang calon raja) jatuh kepada Pangeran Puger (hlm. 36).

Tak hanya itu, Amangkurat III juga punya tabiat buruk. Ia mudah marah, kerap bertindak sewenang-wenang, dan terkenal sebagai seorang hidung belang. Kelakuan tidak patut seperti ini juga masih dilakukan Amangkurat III setelah memperistri Raden Ayu Lembah.

Hingga suatu hari, Amangkurat III mendapat informasi bahwa istrinya terlibat hubungan asmara dengan seorang putra pejabat bernama Raden Sukra. Seperti diungkap Daradjadi dalam Perang Sepanjang 1740-1743 Tionghoa-Jawa Lawan VOC (2008), sang raja sebenarnya tidak langsung percaya, dan justru beranggapan bahwa desas-desus itu sengaja diembuskan kubu Pangeran Puger untuk menurunkan reputasinya di mata rakyat (hlm. 2).

Amangkurat III tentu saja tidak akan membiarkan rumor miring terkait istrinya itu terus berkembang. Maka, ia memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi nyawa Raden Sukra.

Setelah Raden Sukra dibinasakan, Amangkurat III menemui Pangeran Puger dengan membawa istrinya. Sang raja lantas memaksa paman sekaligus mertuanya itu untuk mengeksekusi mati Raden Ayu Lembah.

Belum diketahui apakah Pangeran Puger mematuhi perintah itu dan membunuh putrinya sendiri. Namun, menurut penelitian Sarsono & Suyatno bertajuk “Suatu Pengamatan Tradisi Lisan dalam Kebudayaan Jawa: Studi Kasus Masyarakat Laweyan di Surakarta” (1985), Raden Ayu Lembah kemudian dihukum lawe atau hukuman gantung dan dimakamkan di daerah yang kini dikenal dengan nama Laweyan (hlm. 47).

Eksekusi mati terhadap Raden Ayu Lembah memantik kemarahan putra Pangeran Puger yang bernama Raden Suryokusumo. Untuk membalaskan dendam kakaknya, Raden Suryokusumo kemudian menghimpun pasukan dan bersiap memberontak terhadap Amangkurat III.

Situasi ini membuat Amangkurat III panik lalu mengurung Pangeran Puger dan keluarganya. Dikisahkan oleh Inajati Adrisijanti dalam Arkeologi Perkotaan Mataram Islam (2000), Pangeran Puger dan keluarganya dapat meloloskan diri berkat bantuan orang-orang kerajaan yang tidak suka terhadap Amangkurat III (hlm. 85).

Amangkurat III yang murka karena kejadian ini lantas memerintahkan orang-orangnya untuk memburu dan menghabisi Pangeran Puger beserta keluarganya. Namun, upaya ini gagal karena Pangeran Puger sudah melarikan diri ke Semarang untuk meminta bantuan VOC.

infografik amangkurat III

Berakhir di Sri Lanka

Dukungan kepada Pangeran Puger agar mengambil alih takhta semakin menguat. VOC turut memperkeruh suasana dan memanfaatkan situasi ini untuk memecah-belah sesama anggota trah Mataram. Dengan persyaratan tertentu, VOC bersedia membantu Pangeran Puger menghadapi Amangkurat III.

VOC tentunya diuntungkan dengan kondisi ini dan segera menetapkan Pangeran Puger sebagai calon raja Jawa yang baru. Disebutkan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012), Belanda menilai bahwa Pangeran Puger lebih cocok menduduki singgasana Mataram daripada keponakannya yang keras kepala (hlm. 227).

Dengan dukungan VOC, Pangeran Puger mengangkat dirinya sebagai raja baru dengan gelar Pakubuwana I. VOC lantas menggabungkan pasukannya dan bergerak menuju Kartasura pada 1705. Belanda menyebut perang ini dengan nama “De Eerste Javaansche Succesie-oorlog” atau “Perang Suksesi Jawa Pertama”.

Amangkurat III yang ketakutan berusaha memperkuat pertahanan di Ungaran untuk menghadang pasukan gabungan Pangeran Puger dan VOC. Benteng pertahanan ini dipimpin Pangeran Arya Mataram. Namun, Pangeran Arya Mataram ternyata diam-diam mendukung Pangeran Puger dan membujuk Amangkurat III untuk segera meninggalkan Kartasura demi keselamatannya.

Menurut M. Hariwijaya, bujukan Pangeran Arya Mataram ternyata ampuh. Amangkurat III beserta keluarga dan pengikutnya lantas melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur, dengan membawa seluruh pusaka kerajaan. Namun, sifat buruk Amangkurat III kambuh. Ia menyiksa Adipati Martowongso, Bupati Ponorogo, hanya karena salah paham (hlm. 37).

Rakyat Ponorogo pun marah karena bupatinya diperlakukan dengan kejam. Untuk menghindari amuk massa, rombongan Amangkurat III bergegas pergi menuju Madiun, kemudian ke Kediri. Sementara itu, pasukan gabungan VOC dan Pangeran Puger semakin mendesak.

Amangkurat III meminta bantuan dari Untung Surapati, seorang jawara sekaligus Bupati Pasuruan yang antipati terhadap Belanda, yang kebetulan juga sedang diburu VOC. Pecahlah perang di Pasuruan pada 1706, Untung Surapati tewas.

Matinya Untung Surapati membuat Amangkurat III semakin panik. Ia sempat beberapa kali berpindah tempat di sejumlah daerah di Jawa Timur sebelum akhirnya menyerahkan diri kepada VOC pada 1708. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005) menyebutkan, Amangkurat III bersedia menyerah karena janji-janji palsu VOC (hlm. 196).

VOC, tulis Ricklefs, menjanjikan bahwa Amangkurat III boleh memerintah sebagian wilayah Jawa dan tidak harus tunduk kepada Pangeran Puger atau Pakubuwana I. Namun, janji itu hanya taktik licik untuk menangkap Amangkurat III. Setelah menyerah, VOC kemudian mengasingkan Amangkurat III ke Sailan (Sri Lanka).

Amangkurat III, raja Jawa yang terkenal dengan tabiat buruknya itu, hanya sempat berkuasa tiga tahun lamanya, dari 1702 hingga 1705. Ia memang berumur cukup panjang meskipun harus menghabiskan sisa hidupnya di pengasingan. Amangkurat III meninggal dunia di Sri Lanka pada 1734.

Takhta kekuasaan Jawa selanjutnya dipegang Pangeran Puger dengan gelar Pakubuwana I, tetapi dengan imbalan besar yang harus diserahkan kepada VOC sebagai kompensasi atas bantuan untuk menghadapi Amangkurat III. Pakubuwana I memang duduk di singgasana, tetapi kuasa atas Jawa sebenarnya dikendalikan Belanda.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan