tirto.id - Pada November 2021 lalu, pemerintah menyetujui penggunaan vaksin COVID-19 buatan Sinovac untuk diberikan pada anak usia 6-11 tahun. Sebelumnya, vaksin buatan Sinovac dan PT Bio Farma juga telah disetujui untuk diberikan pada anak berusia 12 tahun ke atas. Persetujuan ini diperoleh setelah dilakukannya pembahasan dan pengkajian bersama Tim Komite Nasional Penilai Khusus Vaksin Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) terkait aspek khasiat dan keamanannya.
Dengan disetujuinya penggunaan vaksin pada anak-anak, informasi berpotensi misinformasi juga kerap menyertai penggunaan vaksin bagi anak-anak. Salah satunya dibagikan oleh akun Facebook bernama Julie Harris Greenzweig pada 10 Januari 2022 lalu, meski saat ini unggahan tersebut telah dihapus. Akun Julie mengklaim informasi berbahasa Inggris itu diperoleh dari Dr. Robert Malone.
Dr. Robert Malone sendiri adalah salah satu peneliti yang berkontribusi terhadap riset awal terkait teknologi vaksin mRNA, menukil dari PolitiFact. Sebagai informasi, contoh dari vaksin COVID-19 berbasis mRNA yang diproduksi kini di antaranya adalah buatan Pfizer-BioNTech dan Moderna.
Menurut unggahan tersebut, mengutip Dr. Malone, ada tiga hal yang mesti diperhatikan mengenai teknologi vaksin mRNA yang diciptakannya. Pertama, gen virus akan disuntikkan ke dalam sel tubuh anak. Gen virus ini memaksa tubuh anak untuk membuat spike protein beracun. Protein ini sering menyebabkan kerusakan pada organ hingga pembekuan darah. Kedua, vaksin ini dapat memicu kerusakan pada sistem kekebalan tubuh.
Ketiga, informasi yang sama juga mengklaim bahwa setidaknya diperlukan pengujian hingga 5 tahun untuk memastikan suatu obat benar-benar aman. Sementara bahaya dari obat-obatan baru diketahui bertahun-tahun kemudian.
Lantas, benarkah pernyataan demi pernyataan dari unggahan ini?
Penelusuran Fakta
Pertama-tama, Tirto berusaha menelusuri sumber dari informasi yang dikutip di unggahan ini. Tirto menemukan laman bernama Global Covid Summit, yang disebut merupakan produk dari aliansi dokter dan peneliti medis yang "berkomitmen untuk mengatakan kebenaran terhadap kekuasaan terkait riset dan perawatan selama pandemi COVID." Laman ini memuat video dan teks pernyataan Dr. Robert Malone yang isinya persis dengan yang dikutip di unggahan Facebook tersebut.
Kemudian, Tirto juga mencari tahu siapa Dr. Robert Malone yang dimaksud. Tidak hanya mencari informasi tentang bagaimana ia mengklaim dirinya sebagai penemu teknologi vaksin mRNA, yang penting dilakukan adalah bagaimana keterlibatannya dalam penemuan ini.
Malone mengklaim dirinya sebagai penemu vaksin mRNA di akun Twitter pribadinya, yang saat ini, dan juga beberapa kali sebelumnya, telah dihapus oleh Twitter.
Peneliti bernama Dr. Katalin Karikó dan kolaboratornya, Dr. Drew Weissman, sebetulnya lebih sering diberi kredit atas dasar penemuan vaksin mRNA, seperti yang disebut di perusahaan teknologi pemeriksa fakta Logically.
Menurut artikel di situs alumni Boston University, dimana Weissman merupakan almamaternya, peneliti tersebut tertarik dengan mRNA, yang membawa cetak biru DNA pada sel-sel untuk membuat protein, sehingga tubuh dapat berfungsi. Jika kita bisa memanipulasi instruksi cetak biru tersebut, mRNA dapat digunakan sebagai vaksin jenis baru, yang bisa menghasilkan imunitas tanpa memerlukan memasukkan zat patogen ke dalam tubuh.
Weissman kemudian disebut bekerja sama dengan Karikó untuk mengembangkan teknologi mRNA tersebut. Mereka berdua mendapatkan banyak penghargaan, termasuk dari Columbia University, Louisa Gross Horwitz Prize, untuk penemuan yang dianggap sebagai terobosan baru di bidang sains kedokteran.
Sementara itu, terkait Malone, The Atlantic dalam sebuah artikel pada Agustus 2021 berusaha mencari tahu siapa Malone sebenarnya. Malone memang beberapa kali menyampaikan bahaya vaksinasi Pfizer dan Moderna. Ia menyampaikannya dalam wawancara dengan Steve Bannon, mantan Kepala Strategis Gedung Putih dan Penasihat Senior Presiden Donald Trump.
Namun, tentu saja informasi yang disampaikan tersebut salah. Vaksin telah berulang kali terbukti membantu mencegah keparahan infeksi virus Corona. Informasi yang biasa diulang-ulang Malone adalah vaksin yang ada dibuat secara terburu-buru, atau bahwa masyarakat tidak memiliki cukup informasi terkait vaksinasi, dan bahwa ia menentang vaksinasi untuk anak-anak. Ia menyampaikan hal-hal tersebut pada tokoh teori konspirasi dan antivaksin seperti Tucker Carlson dan Glenn Beck.
Namun, artikel The Atlantic juga menunjukkan bahwa Malone bukanlah satu-satunya inventor vaksin mRNA. Secara singkat, ketika Malone menjadi mahasiswa pascasarjana biologi pada akhir 1980-an di Salk Institute for Biological Studies, dia menyuntikkan materi genetik—DNA dan RNA—ke dalam sel tikus dengan harapan dapat menciptakan jenis vaksin baru. Dia adalah penulis pertama sebuah studi pada 1989 yang menunjukkan bagaimana RNA dapat dikirim ke dalam sel menggunakan lipid, yang pada dasarnya adalah gumpalan kecil lemak.
Ia juga menjadi co-author pada sebuah studi tahun 1990 yang dimuat di jurnal Science, yang menunjukkan bahwa jika Anda menyuntikkan RNA atau DNA murni ke dalam otot sel tikus, hal tersebut dapat mendorong terbentuknya transkripsi protein baru. Jika pendekatan ini bisa diterapkan pada manusia, laporan studi tersebut menyebut bahwa teknologi itu bisa menjadi pendekatan alternatif dalam pengembangan vaksin.
Kedua penelitian ini memang mewakili penemuan di bidang transfer gen, menurut Rein Verbeke, peneliti postdoctoral di Universitas Ghent, di Belgia, dan penulis utama sejarah pengembangan vaksin mRNA tahun 2019. Verbeke mengatakan bahwa Malone dan rekan penulisnya “sebagai pemicu penemuan mRNA berpotensi sebagai obat baru,” meskipun ia juga mencatat bahwa “pencapaian vaksin mRNA hari ini adalah pencapaian dari banyak upaya kolaboratif.”
Sementara itu, terkait klaim Malone bahwa vaksin mRNA berbahaya bagi anak, vaksin Pfizer-BioNTech sendiri telah mendapatkan izin penggunaan darurat di Amerika Serikat oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA) untuk anak-anak berusia 5 hingga 11 tahun pada 29 Oktober 2021. FDA juga sebelumnya telah mengizinkan penggunaan darurat vaksin tersebut untuk remaja berusia 12 hingga 15 tahun pada Mei 2021.
Pada laman pengumuman penggunaan darurat itu, FDA menyebut bahwa respon imun anak usia 5-11 tahun setara dengan orang berusia 16-25 tahun. Selain itu, vaksin tersebut terbukti efektif 90,7 persen dalam mencegah COVID-19 pada anak usia 5 hingga 11 tahun. Untuk memastikan keamanan vaksin ini, FDA menyebut bahwa studi telah dilakukan pada 3.100 sampel anak usia 5-11 tahun, dan tidak dtemukan efek samping serius pada studi tersebut.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan agar setiap orang di atas usia lima tahun menerima vaksin COVID-19. Mereka juga menekankan bahwa imunisasi bersifat aman dan efektif, termasuk untuk anak-anak dan remaja.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut bahwa teknologi vaksin mRNA telah dinilai secara ketat terkait keamanannya. Selain itu, uji klinis telah menunjukkan bahwa vaksin mRNA menghasilkan respon imun yang memiliki kemanjuran tinggi terhadap penyakit-penyakit. Teknologi vaksin mRNA telah dipelajari selama beberapa dekade, termasuk dalam vaksin Zika, rabies, dan influenza.
Kemudian, terkait klaim bahwa spike protein berbahaya, hal ini dibantah oleh CDC, seperti juga ditulis oleh PolitiFact. Vaksin mRNA berfungsi sama pada anak-anak seperti halnya pada orang dewasa. Vaksin memberikan instruksi, atau mRNA, kepada tubuh untuk membuat spike protein, yang seharusnya digunakan oleh virus penyebab COVID-19 untuk mengikat sel. Lalu, ketika sebuah sel menerima instruksi ini, ia membuat dan menampilkan spike protein di permukaannya seperti sebuah bendera. Sistem imun akan mengenali bendera-bendera ini dan mengenali spike protein pada virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dan menyerangnya. Sementara itu, spike protein yang diproduksi oleh sel-sel tubuh tidak berbahaya dan tidak menyebabkan penyakit atau infeksi.
Spike protein juga tidak bertahan lama dalam tubuh. Instruksi yang mengajari tubuh cara membuat spike protein, mRNA, cukup rapuh dan akan terdegradasi dalam beberapa hari.
“Karena sel-sel kita terus menerus memproduksi protein, mRNA dipecah cukup cepat dalam proses tubuh secara normal,” kata Dr. Hank Bernstein, dokter anak dan anggota Komite Penasihat CDC untuk Praktik Imunisasi, dalam sebuah video untuk Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadephia.
Klaim lainnya dari Malone yang mengatakan bahwa spike protein beracun dan menyebabkan kerusakan organ juga dibantah oleh Paul Offit, Dokter spesialis penyakit menular dan direktur Pusat Pendidikan Vaksin di Rumah Sakit Anak Philadelphia. “Itu salah,” kata Offit, seperti dikutip AFP.
"Tidak ada bukti, baik pada hewan percobaan atau manusia," lanjut Offit.
Terakhir, mengenai klaim Malone bahwa vaksin mRNA diproduksi dengan cepat, padahal butuh lima tahun untuk memastikan keamanan suatu obat. Mengutip dari laman Komisi Eropa, teknologi vaksin mRNA bukanlah teknologi baru. Uji coba vaksin kanker pada manusia menggunakan teknologi mRNA telah berlangsung setidaknya sejak 2011.
"Jika ada masalah nyata dengan teknologi ini, kami pasti sudah melihatnya sebelumnya," ujar Profesor Michel Goldman, seorang profesor bidang Imunologi dan pendiri Institut untuk Inovasi Interdisipliner dalam perawatan kesehatan dari Université Libre de Bruxelles, Belgium.
Uji coba vaksin juga dilakukan secara bertahap, mulai dari Fase 1, Fase 2, dan akhirnya Fase 3 pada manusia. Uji coba vaksin Pfizer/BioNTech Fase 3 misalnya melibatkan lebih dari 40.000 orang yang dimulai pada bulan Juli 2020 dan data terkait kemanjuran dan keamanan akan terus dikumpulkan selama 2 tahun ke depan.
Regulator meninjau data uji coba vaksin COVID-19 dengan lebih cepat dari biasanya dengan cara memantau secara bergilir ketimbang menunggu sampai uji coba selesai. Tapi, tak ada aturan mendasar yang diubah.
"Saya benar-benar tidak berpikir bahwa ada bagian yang dilewatkan terkait keamanan," kata Profesor Goldman pula.
Prosesnya juga sekali lagi bisa cepat karena para peneliti telah membangun platform mRNA untuk memasukkan mRNA viral ke dalam tubuh untuk kanker dan vaksin lain. Artinya, vaksin mRNA ini dapat segera diterapkan segera setelah sekuens genom virus telah dibagikan.
Selain itu, penting pula bagi anak-anak untuk mendapat vaksin COVID-19.
Menurut John Hopkins Medicine, vaksin membantu mencegah anak-anak terkena COVID-19. Meski COVID-19 pada anak-anak terkadang lebih ringan daripada orang dewasa, beberapa anak yang terinfeksi virus Corona dapat mengalami infeksi paru-paru yang parah, menjadi sangat sakit, dan memerlukan rawat inap.
Anak-anak juga dapat mengalami komplikasi seperti sindrom inflamasi multisistem yang mungkin memerlukan perawatan intensif atau gejala jangka panjang yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Virus ini dapat menyebabkan kematian pada anak-anak, meskipun ini lebih jarang daripada orang dewasa.
Terakhir, mengapa melakukan vaksinasi terhadap anak penting? United Nations Children’s Fund (UNICEF), salah satu agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani isu anak, mencatat per Januari 2022 bahwa dari 3,5 juta kematian akibat COVID-19, sebesar 0,4 persen (atau sekitar 12.300 kasus kematian) terjadi pada anak dan remaja di bawah 20 tahun. Dari 12.300 kematian tersebut, 58 persen kematian terjadi pada usia 10-19 tahun dan 42 persen pada anak usia 0-9 tahun.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, klaim-klaim yang disampaikan Dr. Robert Malone bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Teknologi vaksin mRNA telah dinilai secara ketat terkait keamanannya dan telah diteliti selama berdekade-dekade untuk penyakit lain. Selain itu, vaksinasi terhadap anak penting untuk mencegah penularan terhadap COVID-19 dan mengingat risiko kesehatan terhadap anak, seperti infeksi paru-paru parah.
Dr. Robert Malone pun bukan satu-satunya orang yang berperan dibalik penemuan vaksin mRNA.
==============
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id atau nomor aduan WhatsApp +6287777979487 (tautan). Apabila terdapat sanggahan atau pun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty