tirto.id - Baru-baru ini, media sosial terbesar di dunia, Facebook, mengumumkan bahwa mereka memiliki alat baru yang bisa digunakan oleh pengguna Facebook, Messenger, dan Instagram untuk mencegah foto-foto intim tersebar di platform tersebut tanpa izin dari orang yang bersangkutan atau non-censensual intimate images (NCII) atau lebih populer dibuat revenge porn untuk tersebar di platform sosial media tersebut.
Sebagaimana diwartakan Mashable, alat baru tersebut dibuat atas kerjasama Facebook dengan beberapa lembaga. Lembaga-lembaga yang berkerja sama dengan Facebook tersebut antara lain National Network to End Domestic Violence, Center for Social Research, The Revenge Porn Helpline, dan Cyber Civil Rights Initiative.
Pengguna Facebook bisa melaporkan foto vulgar dan bahkan video atau pun foto-foto lainnya yang diunggah tanpa izin dalam platform tersebut. Saat sebuah foto dilaporkan, tim operasional komunitas Facebook akan menilai laporan tersebut dan kemudian menghapus foto yang diklaim terjadi pelanggaran privasi. Setelah itu, foto yang dilaporkan akan ditandai oleh Facebook.
Saat foto tersebut dicoba diunggah-ulang oleh siapa pun melalui platform Facebook, teknologi photo-matching akan mencegah hal demikian terjadi. Ini artinya, foto tersebut akan benar-benar “hilang” dalam platform milik Mark Zuckerberg.
Alat baru yang dihadirkan di Facebook, Messenger, dan Instagram tersebut diduga merupakan respons tersebarnya foto-foto vulgar anggota perempuan marinir Amerika Serikat dalam sebuah grup di Facebook yang beranggotakan anggota dan mantan anggota marinir Amerika Serikat yang baru-baru ini terjadi. Dan juga tentu saja, respons atas permasalahan revenge porn yang telah menjadi duri di dunia internet.
Dan untuk memudahkan bagaimana pengguna bisa memanfaatkan alat baru tersebut, Facebook menerbitkan panduan dalam bentuk buku digital.
Dalam panduan tersebut, Facebook menyarankan bagi pengguna platformnya yang menjadi korban revenge porn untuk berkonsultasi sesegera mungkin dengan lembaga terkait, sahabat, pengacara, atau pekerja sosial yang khusus menangani masalah revenge porn, di antara banyak hal lainnya.
Selain itu, Facebook pun menyarankan bagi korban untuk membuat screenshot dari unggahan tanpa izin tersebut guna kepentingan pengumpulan bukti-bukti. Dan jika dibutuhkan, pengguna Facebook disarankan untuk “unfollow”, “unfriend”, atau, “block” pada orang-orang yang terkait dengan aksi pengunggahan ilegal konten foto atau video.
Revenge porn merupakan masalah besar dalam dunia berbagi di internet. Ia merupakan salah satu bentuk dari cyberbullying. Dan akibat dari penyebarluasannya di internet, korban mengalami trauma yang sangat dalam. Bahkan, korban akan mengalami isolasi sosial pada dirinya sendiri dan bahkan memicu bunuh diri.
Selain Facebook, perusahaan teknologi dunia lainnya juga ikut terlibat dalam mencoba menjauhkan revenge porn dari platform milik mereka masing-masing. Google, sebagaimana diwartakan The Telegraphpada Juni 2015 mengungkapkan bahwa mereka akan menyensor konten telanjang dan eksplisit tanpa persetujuan subyek, tampil di hasil pencarian Google. Namun, Google akan melakukan sensor, setelah mereka menerima keluhan dari pihak yang merasa menjadi subjek konten revenge porn tersebut.
Google mengungkapkan bahwa mereka telah banyak menerima cerita menganggu perihal revenge porn yang tersebar di internet dan mengetahui bahwa terkadang korban diperas untuk menyerahkan uangnya agar foto atau video revenge porn bisa terhapus. Dan untuk menghindarkan korban dari peristiwa demikian, Google menyiapkan sebuah formulir online yang bisa digunakan orang-orang untuk meminta Google menghapus hasil pencarian tentang revenge porn dirinya atau kerabat/temannya.
Amit Singhal, salah satu petinggi Google menyatakan kepeduliannya. "Filosofi kami selalu [berupaya untuk menyajikan] Search yang harus mencerminkan seluruh [dunia] web. Tapi, gambar-gambar revenge porn adalah hal yang sangat pribadi dan merusak emosional, dan hanya [berfungsi] untuk merendahkan korban, terutama perempuan,” katanya.
"Kami tahu ini tidak akan mengakhiri masalah revenge porn, kami tidak dapat [melakukan itu], tentu saja, untuk menghilangkan gambar tersebut dari [dunia] situsweb sendiri, tapi kami berharap bahwa menghormati permintaan orang-orang untuk menghapus gambar yang demikian dari hasil pencarian dapat membantu [korban],” lanjutnya.
Dengan dukungan Google untuk mencegah revenge porn tersebar lebih jauh melalui hasil pencarian milik mereka, tentu dampak yang besar bisa diharapkan. Mengingat, Google diketahui mengontrol lebih dari 70 persen lalu-lintas pencarian internet. Selain Facebook dan Google, raksasa internet lainnya, Pornhub juga ikut-ikutan mendukung revenge porn menjauh dari platform mereka.
Meskipun Pornhub merupakan situsweb yang menyajikan konten-konten pornografi untuk dinikmati warga internet, Pornhub menolak revenge porn. CEO Pornhub Corey Price sebagaimana dikutip Time mengungkapkan, “menjadi korban revenge porn cukup memalukan, kami tidak ingin membuat proses pelaporan [revenge porn di Pornhub] sama canggungnya, atau membuat orang-orang khawatir berhubungan dengan kami [perihal menghapus revenge porn].”
Untuk membasmi revenge porn di Pornhub, mereka menyiapkan formulir online baru yang memungkinkan orang untuk melapor dengan mudah. Cara ini menggantikan cara lama mereka yang memanfaatkan email untuk melaporkan konten revenge porn tersebut.
Dengan lebih dari 60 juta pengunjung per hari di situs pornografi tersebut, revenge porn sangat mungkin hadir di situsweb mereka dan dikonsumsi oleh para pengunjung Pornhub.
Lalu, kendala apa sebenarnya yang membuat perusahaan teknologi di internet kesulitan menghapus revenge porn dari platform milik mereka masing-masing?
Permasalahan yang paling utama adalah menyangkut privacy policy dan kebebasan berekspresi di platform-platform dari para perusahaan teknologi. Facebook misalnya, konten-konten yang diunggah di layanan mereka, tentu saja bukan milik mereka. Saat pengguna mengunggah foto atau video, foto dan video tersebut merupakan konten milik pribadi mereka.
Dengan menggaung-gaungkan kebebasan berekpresi, pengguna Facebook tentu saja tidak bisa dibatasi apa yang hendak mereka unggah. Dan yang memiliki permasalahan cukup kompleks adalah Google. Pencarian Google hanya mengindeks situsweb-situsweb di seluruh dunia. Mereka jelas tidak memiliki kuasa tentang konten yang ada di situsweb-situsweb yang mereka index.
Dr Ann Olivarius dari firma hukum McAllister Olivarus mengungkapkan pada The Telegraph, “para perempuan secara umum tidak dapat menghapus gambar revenge porn diri mereka sendiri karena mereka jarang sekali memiliki hak cipta [gambar tersebut].”
Selama hak cipta ada di tangan si pengunggah, sulit bagi perusahaan teknologi tersebut untuk menghapus konten revenge porn. Kecuali, mereka mau mengubah privacy policy terlebih dahulu dan perubahan yang dilakukan berada di pihak korban.
Revenge porn adalah sisi hitam dunia internet. Menyebarkan gambar intim dengan menunggangi berbagai layanan dari perusahaan teknologi dunia adalah cara picik untuk menghancurkan hidup seseorang. Penyedia ruang konten semacam Facebook memang harus turut bertanggung jawab untuk mengatasinya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani