tirto.id - Tak lama setelah lepas landas dari pangkalan militer, pesawat Royal Air Force melepaskan bom hidrogen di langit Pulau Kiritimati, Samudra Pasifik. Beberapa saat kemudian, ledakan besar diikuti cahaya terang. Awan cendawan terbentuk dan membubung tinggi di atas pulau tak berpenghuni sebagai reaksi atas tekanan panas dari ledakan terhadap udara.
Bunyi ledakan terdengar hingga radius 16 kilometer. Seorang pelaut bernama Viliame Cagibala merasakan panas yang luar biasa di punggungnya. Kacamata anti radiasi dan cahaya yang dipakainya tak mampu menahan silau meski ia berada jauh dari pusat ledakan. Peristiwa uji coba bom hidrogen pertama buatan Inggris itu terjadi pada 15 Mei 1957, tepat hari ini 64 tahun lalu.
Inggris sejatinya bukan pemain baru dalam kontestasi pengembangan senjata nuklir global. Menurut C.N Hill dalam An Atomic Empire: A Technical History of The Rise and Fall of the British Atomic Energy Programme (2013), Inggris sudah melakukan riset pengembangan nuklir untuk kebutuhan militer sejak tahun 1941 dalam program bersandi "Tube Alloys". Program ini dijalankan bersama Kanada di masa Perang Dunia II dan berhasil mengembangkan uranium sebagai bahan baku nuklir.
Namun setahun berselang, program ini mandek karena kekurangan dana dan keterbatasan sumber daya manusia. Inggris terpaksa meleburkan program ini ke dalam program pengembangan nuklir AS bernama Proyek Manhattan. AS menyetujuinya dengan syarat utama yakni tidak ada kebocoran informasi yang dilakukan Inggris terkait program rahasia ini.
Ketiga negara ini sukses mengembangkan senjata nuklir berupa bom atom yang kelak membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945, yang mengakhiri Perang Dunia II. Berawal dari sini, Inggris ingin melakukan riset dan pengembangan senjata nuklir secara mandiri tanpa bantuan negara lain.
Keinginan itu semakin kuat ketika Inggris secara resmi didepak oleh AS dalam keikutsertaannya di Proyek Manhantan pada tahun 1946. Penyebabnya bermula ketika AS mengendus aksi spionase ilmuwan Inggris--Allan Nunn May, Klaus Fuchs, dan Donald Maclean--yang membocorkan informasi kepada Uni Soviet. Tindakan ini membuat AS meradang karena Inggris telah melanggar kesepakatan utama. Kepercayaan AS kepada Inggris pun runtuh dan terpaksa mengeluarkannya dari megaproyek tersebut.
Para ilmuwan dan politikus Inggris kemudian saling bantu agar negara mereka dapat mengembangkan senjata nuklir secara mandiri. Para politikus menggelontorkan dana, meski tindakan ini tak luput dari kritikan sebab Inggris saat itu sedang berupaya membangun kembali ekonominya pascaperang.
Sedangkan para ilmuwan berupaya keras memahami pelbagai teori agar dapat mewujudkan senjata nuklir. Proses ini, seperti ditulis James E. McClellan dan Harold Dorn dalam Science and Technology in World History (2013), melahirkan paradigma baru tentang relasi pengetahuan dan kekuasaan untuk tujuan praktis: politik suatu negara.
Meski demikian, pemaparan Lorna Arnold dan Mark Smith dalam Britain, Australia and the Bomb: The Nuclear Test and Their Aftermath (2006), menunjukkan pendapat yang terbelah di kalangan politikus dan ilmuwan terkait keinginan Inggris untuk mengembangkan nuklir sejak selesainya Perang Dunia II.
Mereka yang mendukung berargumentasi dengan status dan hegemoni Inggris pascaperang. Juga percaya bahwa jika Inggris tidak mempunyai senjata nuklir, maka posisi Inggris yang berada di atas angin usai memenangi perang niscaya akan jatuh.
Lord Chewell--penasihat militer Perdana Menteri Winston Churchill--turut mengatakan bahwa, "Inggris hanya akan menjadi negara pasif yang hanya mengirimkan pasokan bantuan militer tanpa menunjukkan kehebatan yang sesungguhnya, jika tidak dapat membuat bom sendiri.”
Sedangkan mereka yang menolak, berpendapat bahwa meskipun Inggris tidak mengembangkan senjata nuklir, tetapi tetap menjadi kekuatan besar dunia karena telah memenangkan Perang Dunia II. Kelompok yang menolak ini cenderung membayangkan kondisi Inggris yang akan larut dalam ultranasionalisme jika kelak akan mempunyai senjata nuklir.
Posisi dan Status
Perdebatan tentang urgensi senjata nuklir Inggris terus berlanjut hingga Winston Churchill tidak lagi menjabat perdana menteri dan digantikan Clement Attlee pada Juli 1945. Agar tidak terus larut dalam perdebatan tak berujung, Attlee akhirnya meluncurkan program pengembangan senjata nuklir mandiri dalam program High Explosive Research (HER) pada tahun 1947.
Menurut klaim pemerintah, program HER lahir sebagai konsekuensi atas berkembangnya dinamika global dan kawasan usai Perang Dunia II, yang kelak akan kembali memanas akibat perseteruan AS dan Uni Soviet, khususnya ancaman Soviet di Eropa. Maka itu, Inggris berupaya mempertahankan wilayahnya dengan mengembangkan senjata mematikan. Juga untuk mempersiapkan diri sebagai ajang pembalasan atau pencegahan jika situasi kian memburuk.
Namun, alasan yang diutarakan pemerintah Inggris patut dicurigai. Pasalnya, jika mengacu pada kondisi zaman ketika program HER lahir, situasinya masih cenderung damai. Baru pada tahun 1948, situasi mulai memanas karena mulai muncul perseteruan AS-Soviet di Eropa dan Asia. Alasan inilah yang menurut Lorna Arnold dan Mark Smith disebut sebagai tindakan yang lebih didasarkan atas perasaan ambisius dibanding pertimbangan ancaman militer.
Ketika program HER dicanangkan, di saat bersamaan Soviet melakukan uji coba nuklir pada 1949. Fakta ini membuat Inggris semakin semangat untuk memiliki senjata sendiri. Akhirnya, lima tahun sejak program HER berjalan, cita-cita mempunyai senjata nuklir mandiri tercapai.
Pada 3 Oktober 1952, Inggris melakukan uji coba nuklir yang telah dikembangkannya di lautan pasifik. Hal ini menjadikan Inggris sebagai negara ketiga yang memiliki senjata nuklir, selain AS dan Soviet.
Akan tetapi, sebulan kemudian, AS menguji coba bom hidrogen pertama yang dikembangkannya sekaligus menjadi yang pertama di dunia. Situasi ini membuat Inggris kembali mengalami ketertinggalan dari AS. Churchill—yang menjabat lagi sebagai Perdana Menteri—kembali iri.
Pada 1 Juni 1954, ia mengintruksikan agar Inggris memiliki senjata bom hidrogen. Dalihnya sebagai penjaga utama keamanan nasional Inggris. Ia juga memercayai, dengan hadirnya bom hidrogen buatan negaranya maka akan membawa dunia ke arah yang lebih stabil karena muncul kekuatan nuklir baru di dunia. Dan yang terpenting, imbuh Churcill, agar Inggris tidak kehilangan posisi dalam peta politik dunia.
Sikap ambisius ini dipandang oleh sebagian besar sejarawan, termasuk Kevin Ruane, Profesor sejarah modern di Canterbury Christ Church University, sebagai tindakan yang lebih mementingkan harga diri dan menjadikan bom sebagai status untuk mencapai kehormatan Inggris. Padahal, urgensi Inggris untuk mengembangkan senjata nuklir tidak begitu besar. Kedudukan Inggris di kancah politik internasional berbeda dengan AS dan Soviet yang saat itu sedang berseteru.
Gagasan Churchill tentang pengembangan bom hidrogen diteruskan kepada parlemen untuk disetujui. Sebulan berselang dan setelah perdebatan panjang, pada Juli 1954, parlemen mengizinkan pemerintahan Churchill melakukan riset bom hidrogen. Pengembangan yang dinamai sebagai Operasi Grapple ini awalnya berjalan lambat karena Inggris kekurangan dana dan ilmuwannya tidak ada yang benar-benar menguasai teknik-teknik pembuatan bom hidrogen.
Meski demikian, program ini akhirnya berhasil melakukan uji coba bom hidrogen yang ledakannya setara dengan berjuta-juta TNT, dan mengantarkan Inggris sebagai negara ketiga yang memiliki bom hidrogen di dunia, setelah AS dan Soviet.
Editor: Irfan Teguh Pribadi