tirto.id - “Maple Match memudahkan orang Amerika menemukan pasangan ideal orang Kanada untuk menyelamatkan mereka dari kengerian yang tak terbayangkan bila Trump jadi presiden.”
Kalimat itu ada pada laman utama situs pencari kencan Maple Match setelah Trump dipastikan akan jadi calon presiden dari Partai Republik. Waktu itu Ted Cruz, pesaingnya, yang kalah pada pertandingan primer di Indiana 3 Mei, mundur karena merasa dirinya sudah tak punya kesempatan menang.
Meski pendukung Trump banyak, tak sedikit warga Amerika yang gegar karena kemenangan de facto-nya. Lena Dunham, pesohor televisi Amerika, menyatakan akan pindah ke Kanada jika Trump terpilih menjadi presiden. CNN juga mencatat pencarian dengan frasa “how to move from the U.S. to Canada” meningkat sebanyak 455 persen sejak Februari sampai Maret, setelah kemungkinan Trump untuk menang semakin tinggi.
Dengan reaksi semacam itu, kalimat promosi yang dibuat Maple Match terdengar sangat masuk akal, bukan sekadar lelucon tanpa data. Anda tak mau punya presiden Donald Trump? Gampang. Kawin saja dengan orang Kanada dan jadi warga negara di sana.
Kontroversial
Mengapa banyak orang tak mau Donald Trump tak mau menjadi presiden? Banyak alasannya.
“Orang lucu,” demikian ia disebut. Ada pula yang menyebutnya bodoh sebab kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan konyol.
Ia juga dianggap tak etis, rasis, dan kerap tak mengindahkan kepatutan berpolitik. Misalnya pada 2011, Trump pernah bilang, “Aku ingin dia [Obama] menunjukkan akte kelahirannya.” Dengan melontarkan pernyataan itu, Trump mengamini kampanye murahan yang beredar di masa pemilihan presiden 2008 yang menyebut Obama lahir di Kenya. Hukum AS memang mensyaratkan kandidat presiden dan wakilnya lahir di wilayah Amerika Serikat, sehingga isu itu diharapkan bisa berpengaruh buruk pada kampanye Obama.
Tak hanya pada Obama, Trump juga melakukan hal serupa pada pesaingnya sesama bakal calon presiden Republik, Ted Cruz. Tak tanggung-tanggung, bekas presenter acara The Apprentice itu menuduh ayah Cruz terlibat pembunuhan Presiden John F. Kennedy.
Cara berkampanyenya juga dianggap konyol. Saat bakal calon lain, Marco Rubio, menyebut tangan Trump kecil dan memberi isyarat bahwa ukuran penisnya juga kecil, dengan penuh niat Trump membahasnya. Ia berkata: “Lihatlah tangan-tangan ini, apakah kecil? Dia [Rubio] bicara soal tanganku—’jika tangannya kecil, maka sesuatu yang lain pasti kecil.’ Saya jamin tidak ada masalah. Saya jamin.”
Selain menyerang lawan politik dan mengatakan hal-hal konyol, Trump juga kerap berpendapat kontroversial dalam isu-isu penting. Ia misalnya pernah bilang akan menghentikan orang Muslim datang ke Amerika Serikat. “Orang-orang ini hanya percaya pada jihad. Mereka tidak ingin sistem kita. Dan [mereka] tidak memiliki akal sehat atau menghormati kehidupan manusia.”
Trump tak berhenti pada sikap islamofobik. Ia juga pernah mengatakan orang Meksiko yang datang ke Amerika bukanlah yang terbaik, melainkan pemerkosa, pembawa narkoba, serta kriminal.
Tak mengherankan jika Mitt Romney, bekas kandidat presiden Partai Republik pada 2012, terang-terangan menolak Trump. Saat pemilihan di kaukus Utah, Romney menyatakan dukungan pada Ted Cruz dengan menulis di laman Facebook-nya:“Hari ini, ada kontes antara Trumpisme dan Republikanisme. Melalui pernyataan-pernyataan yang terukur dari pemimpinnya, Trumpisme telah melekat dengan rasisme, misogini, bigotri, xenofobia, kevulgaran, dan belakangan ini, ancaman dan kekerasan.”
Gerakan “Never Trump” di Kalangan Republikan
Meski menang dengan mundurnya Ted Cruz, suara di Partai Republik terbelah. Sebagian tentu mendukung Trump, karena ia adalah hasil dari proses pemilihan yang benar secara prosedural. Tapi, ada segelintir elite Grand Old Party itu yang bersikukuh bahwa Trump tak layak menjadi presiden.
Setelah kemenangan Trump, Mitt Romney dan beberapa tokoh Republikan lain—seperti William Kristol, Erick Erickson, Mike Murphy, Stuart Stevens, dan Rick Wilson—aktif mencari calon yang bersedia menjadi calon independen, sebagai jalan ketiga dari pilihan Trump versus Clinton.
Menurut laporan Washington Post, tokoh-tokoh itu bergerilya mendatangi nama-nama prospektif seperti Senator Ben Sasse yang sangat vokal mengkritik Trump. Juga John Kasich, Gubernur Ohio yang mundur dari bursa calon presiden Republikan pada 4 Mei lalu. Mereka juga mendatangi Mark Cuban, miliuner pemilik klub basket Dallas Mavericks. Tapi, semuanya menjawab sama: Tidak, terima kasih.
“Romney mengirim [Kasich] email yang memintanya maju sebagai calon independen dan katanya ia akan membantunya,” demikian seorang penasehat Kasich memberi informasi pada Yahoo News. Setelahnya, mereka berbincang lewat telepon dan Kasich menolak ide itu.
Mark Cuban juga didatangi seseorang—namanya tak disebutkan pada Washington Post—yang berkata bahwa cara berkomunikasi Cuban, “digabung dengan substansi dan kemampuan untuk terhubung dengan pemilih secara lebih pribadi, bisa membuatnya menjadi kandidat yang berpeluang menang.”
Tapi, Cuban pun menolak. “Waktunya tak cukup,” katanya.
Bagaimana dengan Michael Bloomberg? Bekas walikota New York ini sudah lama berhitung tentang kemungkinan dirinya maju mencalonkan diri. Tapi, ia sudah mengukur dan memutuskan pada Maret lalu bahwa peluangnya kecil.
Dengan semua penolakan itu, akhirnya gerakan klandestin Mitt Romney dan kawan-kawan pun disudahi. Terlebih, menurut berita CNN, pejabat di Partai Republik bermanuver untuk menutup pembicaraan tentang calon independen. Ketua Komite Nasional Partai Republik, Reince Priebus, mengatakan tawaran soal pilihan ketiga adalah “misi bunuh diri.”
Walaupun ide calon independen terdengar sebagai ide brilian bagi sebagian kaum konservatif yang ogah memilih calon Demokrat tapi tak sanggup memiliah Trump, usul itu ujungnya pasti tak menguntungkan bagi Republikan sendiri. Calon alternatif hanya akan memecah suara dan membuat calon Demokrat menang.
Waktu berlalu, dan kesempatan Romney untuk menghadang Trump kian tipis. Ia sungguh patah hati. Di depan rekan partainya bulan Juni lalu, seperti tertulis pada laporan CNN, Romney berpidato dan tampak menitikkan air mata.
"Saya merasa ini sangat meresahkan, dan saya tahu banyak orang berkata, 'Mitt, [hilangkanlah kesombonganmu] dan berdirilah di belakang orang itu.' Tapi hal-hal ini sifatnya pribadi. Saya mencintai negara ini. Saya mencintai para pendirinya. Saya mencintai dasar bangunan negara ini beserta nilai-nilainya, dan melihat ini [keunggulan Trump] menghancurkan hatiku."
Kesedihan itu tak berpengaruh apapun. Pada 20 Juli, Trump resmi dipilih sebagai calon presiden Partai Republik. Tanpa pesaing, tanpa pilihan nomor tiga. Pilihan yang tersisa sekarang sungguh mengerikan bagi seorang Amerika romantik dan konservatif macam Romney: memilih Trump atau Hillary atau pindah ke Kanada.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti