Menuju konten utama

Tiga Jaminan Dipangkas oleh BPJS Kesehatan, Termasuk Katarak

Hanya operasi katarak dengan gangguan penglihatan berat yang akan dijamin oleh BPJS.

Tiga Jaminan Dipangkas oleh BPJS Kesehatan, Termasuk Katarak
Ilustrasi petugas melayani pelanggan di Kantor Cabang Utama BPJS Kesehatan Jakarta Pusat. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengurangi tanggungan jaminan kesehatan untuk persalinan, pasien katarak dan rehabilitasi medik.

Deputi Direksi Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohammad Arief mengatakan jika sebelumnya BPJS Kesehatan memisahkan biaya tagihan persalinan antara ibu dan anak, ke depan, pihaknya akan memisahkan biaya tagihan pada bayi baru lahir dengan gangguan.

Sedangkan untuk operasi katarak, menurut Budi, pihaknya akan menentukan batasan prioritas yang akan ditanggung BPJS.

“Jika sebelumnya operasi katarak dari ringan sampai berat semua operasi, ini yang di operasi dengan visus (ketajaman penglihatan) kurang dari 6/18. Kalau lebih bagus dari itu bukan prioritas, jadi tidak ditanggung oleh BPJS,” ujar Budi, Kamis (2/7/2018).

Selain pengurangan biaya persalinan dan katarak, BPJS Kesehatan juga menetapkan batas rehabilitasi medik bagi pasien. Budi menjelaskan, BPJS hanya akan menanggung 8 kali rehabilitasi medik per pasien setiap bulannya untuk semua penyakit.

Tiga layanan yang dipangkas itu tertuang dalam tiga aturan yang baru dikeluarkan. Ketiga aturan itu, antara lain: Peraturan Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 02 tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Pelayanan Kesehatan, Peraturan Nomor 03 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Peraturan Nomor 05 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Menurut Budi, pengurangan tanggungan itu dilakukan untuk menyelamatkan defisit anggaran yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Saat ini, BPJS Kesehatan diketahui memiliki defisit anggaran mencapai Rp7 triliun.

Berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan, terdapat beberapa jaminan yang memakan anggaran cukup tinggi, seperti operasi katarak (Rp2,6 triliun), bayi sehat yang ditagihkan secara terpisah dari ibunya (Rp1,1 triliun), dan rehabilitasi medik (Rp960 miliar).

Menanggapi hal itu, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menilai penerapan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 2,3,5 tahun 2018 malah bisa menyebabkan biaya kesehatan nasional membengkak. Mereka meminta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan) mencari rumusan lain dalam menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Ketua Umum PB IDI, Ilham Oetama Marsis mengatakan BPJS Kesehatan tak membikin aturan yang masuk pada ranah medis. Perdirjampelkes saat ini nyatanya hanya berkutat seputar menambal defisit dengan mengurangi manfaat yang diterima masyarakat.

“BPJS Kesehatan sampai saat ini tidak ada hasil kerja yang positif kecuali kepesertaan yang mencapai 80 persen,” katanya saat jumpa pers di Kantor PB IDI, Jakarta.

Penerapan Perdirjampelkes justru akan menambah beban kesehatan penduduk Indonesia di masa depan. Misalnya, pembatasan pada penyakit katarak dapat membuat ribuan orang jadi tak produktif.

Akibatnya, beban kemiskinan juga akan bertambah, hingga kini, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita katarak tertinggi di Asia, yakni mencapai 250 ribu.

“Risiko penyakit lain juga akan bertambah, misal dia jatuh dan patah tulang karena kebutaannya itu,” tambah Johan A. Hutauruk, dari Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami).

Soal pengaturan persalinan bayi lahir sehat, Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan target menurunkan angka kematian bayi.

Di Indonesia, menurutnya, setiap tahun hampir 5 juta bayi lahir namun angka kematian bayi baru mencapai 22,3/1000 kelahiran hidup. Sedangkan negara lain seperti Malaysia telah mencapai angka 7/1000, Singapura 2/1000, Thailand 6/1000.

“Target 12/1000 tak akan tercapai kalau aturan ini turun,” ujar Aman.

Baginya, setiap bayi yang lahir selalu memiliki risiko kesehatan, bahkan mereka yang diprediksi lahir normal, berat badan cukup, dan sehat.

“Jika bayi berisiko tak segera mendapat tata laksana, lalu dia hidup cacat, nantinya juga akan jadi beban bagi BPJS.”

Terakhir, rehabilitasi medik yang dibatasi hanya dua kali dalam satu minggu dianggap tidak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri), Dr. Sudarsono, SpKFR mengatakan rehabilitasi medik antar pasien tak bisa disamaratakan.

“Pelayanan kepada pasien jadi terhambat dan capaiannya di bawah standar,” ujar Sudarsono, tegas menolak Perdirjampelkes.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri & Widia Primastika
Penulis: Yantina Debora
Editor: Maulida Sri Handayani