tirto.id - Akan ada jalan layang (elevated) di Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta, tepatnya di Jatiasih-TMII-Pondok Indah-Ulujami. Rencana ini, menurut Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas, semestinya tidak direalisasikan.
Pria yang juga aktif di Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini beralasan proyek tersebut tidak tercantum dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) Tahun 2018-2029 yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018.
“Seharusnya mengacu ke RITJ. Kalau tidak mengatur sebaiknya jangan [dibangun],” ucap Darmaningtyas kepada reporter Tirto, Senin (10/2/2020).
Peraturan ini sebelumnya dijadikan landasan hukum ketika pemerintah pusat mengintervensi salah satu proyek transportasi umum Pemprov DKI Jakarta: LRT koridor Pulogadung-Kebayoran Lama sepanjang 19,7 kilometer. Rencana ini ditolak Kementerian Perhubungan pada 3 Februari lalu.
Yang tertera dalam peraturan itu adalah MRT koridor timur-barat. Jika dibangun, keduanya akan sama-sama melewati Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Letjend Suprapto, Tugu Tani, Jalan Kebon Sirih, dan Jalan KS Tubun.
“Menyesuaikan dengan trasenya MRT, bukan menyetop,” kata Direktur Prasarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Heru Wisnu Wibowo.
Kepala Biro Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo mengatakan RITJ sebenarnya tak baku. Itu juga diatur dalam pasal 13 perpres. Menurutnya, rencana pembangunan jalan layang ini--yang merupakan inisiatif swasta--bisa diusulkan oleh PUPR untuk diakomodasi dalam RITJ.
Rencana tersebut sangat mungkin diakomodasi, apalagi “apabila kajian bersama membuktikan perubahan/penambahan tersebut berkontribusi positif terhadap pencapaian tujuan BPTJ,” kata Budi lewat pesan singkat, Senin (10/2/2020).
Sementara penyesuaian rute LRT Pulogadung-Kebayoran Lama adalah kasus yang berbeda. Menurutnya, proyek ini tak bisa dijalankan tanpa perubahan karena MRT fase II sudah lebih dulu menyelesaikan feasibility study (FS) per 2013 dan posisinya sudah masuk Proyek Strategis Nasional.
“Kemenhub meminta trase LRT koridor Pulogadung-Kebayoran Lama menyesuaikan dengan trase MRT koridor timur-barat yang sudah lebih dulu ditetapkan,” Budi menegaskan.
Meski dasar pembangunannya jelas, Darmaningtyas menegaskan proyek jalan layang JORR di ruas Jatiasih-Ulujami tetap patut dipikirkan ulang. Jalan layang, baginya, bisa menghambat migrasi pengguna kendaraan pribadi ke transportasi massal.
“RITJ itu lebih condong ke pengembangan angkutan umum massal. Jadi [jalan layang] tidak ada urgensinya. Kalau enggak mau macet ya pindah ke angkutan umum,” tegasnya.
Hal inilah yang menurut Darmaningtyas lebih perlu dipertimbangkan. Ia lantas mengaitkan dengan janji Presiden Joko Widodo yang mau memprioritaskan pengembangan angkutan massal.
Diklaim Kurangi Kepadatan
Proyek yang akan dibangun oleh Konsorsium Jakarta Metro Expressway (JMEX) ini baru memasuki izin prakarsa, alih-alih izin prinsip atau proses konstruksi.
Empat perusahaan yang tergabung dalam konsorsium JMEX--yakni PT Nusantara Infrastructure (META), PT Adhi Karya (Persero), Acset Indonusa Tbk, dan PT Triputra Utama Selaras--mengklaim infrastruktur tol layang di JORR bakal mengurangi beban lalu lintas dari Ulujami hingga Jatiasih.
Di samping itu, infrastruktur yang akan masuk jaringan Tol JORR III itu dianggap bisa memaksimalkan kapasitas lalu lintas jika diintegrasikan dengan jalan tol layang Jakarta Cikampek II.
“Kita jadi bisa memecah kemacetan,” kata Direktur Quality, Health, Safety and Environtment (QHSE) dan Pengembangan PT ADHI Partha Sarathi kepada reporter Tirto, Senin (10/2/2020).
Partha menegaskan pembangunan tol ini mendesak lantaran lalu lintas di JORR saat ini sudah sangat padat, terutama di pagi hari. Sementara jalur layang dipilih tidak lain karena lahan yang terbatas. “Bukan alasan lain,” tambahnya.
Proyek ini merupakan hasil penunjukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) pada Januari 2020, kata Partha. Saat ini perusahaannya masih harus menyelesaikan sejumlah kajian seperti feasibility study. Tiap tahapan FS juga harus mendapat persetujuan PUPR.
“Jadi masih panjang diskusinya. Kami harus matangkan, semua aspek dilihat,” kata Partha.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana