Menuju konten utama

The Rollies: Legenda di Antara Rock dan Jerat Narkoba

Bagaimana The Rollies bisa bertahan di tengah ketergantungan narkotika dan membikin karya-karya yang sakti lagi mandraguna?

The Rollies: Legenda di Antara Rock dan Jerat Narkoba
Legenda grup musik rock Indonesia, The Rollies. FOTO/IramaNusantara

tirto.id - Di Indonesia, sepertinya hanya The Rollies yang mampu menggambarkan kredo sex, drugs, and rock n’ roll secara paripurna. Band ini sudah mengalami segala hal yang identik dengan band rock; perjuangan dari bawah, menjadi bintang papan atas, hidup bergelimang nafsu dunia, hingga jatuh ke lembah keterpurukan.

Semua bermula pada 1967, ketika Deddy Stanzah bersama Iwan Krishnawan, Tengku Zulian, dan Delly Alipin sepakat membentuk band. “The Rollies” dipilih sebagai nama band untuk merepresentasikan rambut para personelnya—ikal dan lurus. Versi lain, The Rollies merupakan gabungan antara The Rolling Stones dan The Hollies, dua band Inggris yang jadi inspirasi anak-anak muda Indonesia—termasuk mereka—dekade 1960-an.

Awal kiprah The Rollies diisi dengan menyanyikan ulang lagu-lagu dari band “British Invasion” macam The Rolling Stones, The Hollies, sampai The Beatles. Bermodalkan dukungan penuh dari kedua orangtua Deddy, yang notabene juragan hotel, The Rollies rutin manggung dari satu pementasan ke pementasan lainnya. Bentuk dukungan orangtua Deddy bisa dilihat tatkala mereka menyediakan peralatan band yang komplit untuk menunjang kegemaran putranya.

Perlahan, The Rollies mulai terkenal. Mereka dapat panggung tetap di acara Morning Show yang diadakan di bioskop Capitol, Singapura. Di fase ini pula, The Rollies kedatangan personel baru bernama Bangun Sugito, kelak akrab disapa Gito Rollies, untuk mengisi bagian vokal.

Mereka boleh saja populer, tapi rasa bosan dengan musik yang begitu-begitu saja tak bisa ditampik. The Rollies merasa musik mereka tak mengalami kemajuan. Hingga akhirnya album Child is Father to Man (1968) garapan grup brass rock asal New York, Blood, Sweat & Tears, menjawab kegundahan mereka.

Dari British ke Brass

Album Child is Father to Man mengubah perspektif The Rollies. Mereka seketika termotivasi untuk memainkan musik yang meriah, sama seperti yang dilakukan Blood, Sweat & Tears. Maka, yang dilakukan setelahnya adalah mencari peniup saksofon. Direkrutlah Benny Likumahuwa yang kala itu bermain di grup jazz, Crescendo.

Sebagaimana ditulis almarhum Denny Sakrie, kritikus musik, dalam “Hari Hari The Rollies,” Benny punya peran krusial dalam tubuh The Rollies. Demi mewujudkan sound ala Blood, Sweat & Tears, ia mengajari satu per satu personel The Rollies alat musik tiup, dari flute, trombone, sampai trumpet. Selain itu, Benny juga mengajari mereka bagaimana cara membaca nada.

Usaha keras Benny berbuah manis. The Rollies muncul dengan gaya baru. Mereka tak hanya memainkan pop dari Britania, melainkan funk, soul, blues, hingga jazz yang terangkum dalam dua kata: brass rock. Dengan modal yang mantap itu, mereka menghentak jagat musik Indonesia. Tak cuma di dalam negeri saja, kedahsyatan mereka sampai juga ke Negeri Singa, meramaikan sejumlah klub malam maupun bar-bar di pusat kota.

Potensi The Rollies ditangkap perwakilan Phillips Singapura. Perusahaan itu menawarkan kontrak rekaman untuk The Rollies. Kesepakatan pun terjalin dan membuahkan dua album. Satu album berisi lagu-lagu instrumental keroncong, satunya berisi cover lagu hits luar negeri macam “Gone Are The Songs of Yesterday,” “I Feel Good,” sampai “Cold Sweat.”

Dua album itu punya kesamaan: sama-sama bukan materi orisinil The Rollies. Meski begitu, The Rollies mengaransemen ulang tiap lagu dengan gaya mereka sendiri.

Tak lama usai album dilepas ke publik, The Rollies mendapatkan musibah. Satu waktu, pada April 1970, mobil yang ditumpangi personel The Rollies mengalami kecelakaan yang cukup hebat. Insiden itu membikin personel The Rollies kolaps: Benny dan Iskandar terkena luka di kepala, Deddy dan Iwan harus melewati luka parah, sedangkan lebam dan bengkak-bengkak memenuhi sekujur tubuh Gito dan Delly.

Musuh Utama: Narkoba

Dekade 1970-an adalah masa keemasan The Rollies. Nama mereka dikenal di berbagai pelosok Nusantara, album laku terjual, dan rutinitas sehari-hari banyak diisi dengan pementasan. Keadaan tersebut membikin para personelnya berada di atas angin.

Namun, popularitas itu membawa dampak buruk berupa ketergantungan sebagian personel The Rollies terhadap narkotika. Deddy, Iwan, dan Gito goyah dengan ketenaran yang mereka peroleh sehingga menjadikan obat-obatan sebagai pelarian.

Situasi ini, mau tak mau, mengancam masa depan The Rollies. Tabiat buruk ketiga personel itu perlahan berimbas pada kualitas bermusik mereka secara keseluruhan. Malas latihan, tampil tak maksimal, hingga fokus berpesta alih-alih berkarya adalah sederet bentuk tindakan indisipliner yang ada.

Benny, yang melihat pemandangan itu, lantas ambil sikap tegas. Ia tak ragu mendepak dan melarang tampil personel yang mbalelo. Contohnya seperti yang dialami Iwan dan Gito. Keduanya diskors sebelum akhirnya berkomitmen meninggalkan kebiasaan buruk tersebut dan kembali diterima di internal band. Sementara Deddy sendiri memilih mundur dari The Rollies karena seringkali overdosis. Posisi Deddy lalu digantikan Oetje F. Tekol.

“Terus terang saya cukup kelimpungan melihat problem yang berkobar di tubuh The Rollies,” ungkap Benny.

Bukti Band Besar

Sulit untuk tidak menyebut The Rollies sebagai band yang dahsyat. Karya-karyanya adalah bukti bahwa mereka punya visi bermusik yang terhampar luas sekaligus menolak tunduk pada satu pakem tertentu. Singkatnya, inovasi bermusik merupakan idealisme yang mengalir dalam tubuh The Rollies.

Di awal kariernya, The Rollies memainkan pop Britania, mengekor band-band macam The Rolling Stones hingga The Beatles. Seiring waktu, mereka mengubah warna musiknya dengan kombinasi funk, soul, dan rock. Menjadikan lagu-lagu sebagai ruang eksplorasi yang menggairahkan.

Infografik The Rollies

Sebelum Harry Roesly dan Guruh Gipsy bereksperimen menggabungkan rock dan musik tradisi, The Rollies sudah lebih dulu melakukannya. Mereka memakai gamelan Bali dan Sunda sebagai fondasi utama. Iskandar dan Benny menabuh saron, Deddy memukul gong, Delly memainkan gambang, Gito menggesek rebab, serta Iwan menghajar kendang. Lagu yang dijadikan bahan percobaan ialah “Manuk Dadali.”

Segala pencapaian musikalitas tersebut tentu tak akan pernah terealisasi tanpa musisi-musisi yang mumpuni. Masing-masing personel The Rollies punya karakter khas—gelegar vokal Gito, misalnya—yang membikin musik The Rollies kian semarak. Di bawah kendali Benny, karakter-karakter itu bersatu padu membentuk satu spektrum musik yang menderu dengan begitu elegan.

Tapi, idealisme The Rollies tak selamanya berjalan mulus. Mereka pernah diputus kontrak oleh label Remaco karena album ketiga, Sign of Love (1973), dianggap gagal secara komersil. Idealisme itu pula yang membuat Benny cabut dari band setelah menyaksikan rekan-rekannya lebih memilih mengikuti arus pasar musik Indonesia akhir 1970 yang cenderung menghamba pada pop.

Kepada CNN Indonesia, David Tarigan, pengarsip musik dari Irama Nusantara, mengatakan bahwa The Rollies adalah band serba pertama di Indonesia dengan banyak terobosan; rekaman di luar negeri, menjadikan drummer sebagai vokalis, merilis album live di Taman Ismail Marzuki pada 1976, serta memasukkan instrumen gamelan ke dalam lagu.

Ungkapan David tak salah. Dan hal itulah yang membikin The Rollies besar, dari era baheula sampai sekarang.

Baca juga artikel terkait ROCK atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono