Menuju konten utama
Misbar

The Rehearsal: Membengkokkan Kenyataan ala Nathan Fielder

Nathan Fielder menghadirkan doku-komedi yang kompleks sekaligus tetap asyik dengan cara yang unik.

The Rehearsal: Membengkokkan Kenyataan ala Nathan Fielder
Poster Film The Rehearsal. FOTO/IMDB/HBO

tirto.id - "Mungkin cara paling mudah memilih jalur dalam hidup ialah ketika kamu bisa menjalani masa depan terlebih dahulu," renung Nathan Fielder.

Perenungan itu mengantarkan Fielder menempuh langkah-langkah tak lazim dalam show-nya, The Rehearsal. Dalam seri yang rilis di HBO dan dilabeli docu-comedy (atau juga docu-reality) itu, Fielder sekaligus bertindak sebagai kreator, sutradara, produser, sekaligus bintang utamanya.

Sesuai judulnya, doku-komedi ini memberi peluang kepada orang-orang untuk melakukan rehearsal (latihan/percobaan) atas kehidupan mereka sendiri.

Konsep eksperimen sosial itu ialah membiasakan seseorang menghadapi berbagai kemungkinan dalam situasi dan percakapan dunia nyata yang belum terjadi dengan berbagai latihan. Simulasi diterapkan di tempat yang direka sebagaimana aslinya, lengkap dengan para extras, dan tentunya aktor sebagai lawan bicara yang bakal dihadapi subjeknya kelak.

Dengan gagasan yang rada mengingatkan pada The Truman Show (1998), Fielder menerapkan langkah-langkah ekstrem demi mengembangkan dan menemukan jawaban dalam berbagai simulasi ciptaannya. Tak lupa, ia memenuhi kepala para penontonnya dengan banyak pertimbangan serta dugaan.

Menjalani Hidup tanpa Kejutan

Ketertarikan mendalam Fielder pada manusia mengantar tim produksinya untuk membangun duplikat sebuah bar bernama Alligator Lounge. Ia dibuat dengan sangat detail dan, yang mengejutkan, sepenuhnya fungsional.

Di sana, dia berdiri memanggul laptopnya, mengamati dinamika di bar, mencatat, dan mengamati subjek terpilih yang bakal mendapatkan bantuannya. Salah satu subjek itu adalah seorang laki-laki yang hendak mengungkapkan suatu perkara yang dirasa penting terhadap temannya.

Langkah-langkah Fielder demi mencapai realitas tak ubahnya memalu paku payung menggunakan godam alias sangat berlebihan. Segala set replika yang dibangun tim produksinya bukanlah benda-benda sekali pakai. Tempat-tempat simulasi itu pun terus digunakan, entah sebagai bagian dari "plot" maupun sekadar diungkit sebagai upayanya menghabiskan bujet dari HBO (menjadi running gag sepanjang serial).

Demikian pula dengan setiap eksperimen yang digarap Fielder. Cela pada kasus pertama yang dia tangani, misalnya, memberi Fielder pembelajaran untuk menangani kasus lain. Semuanya memiliki kaitan satu sama lain, entah itu membuat Fielder jadi pemecah masalah yang "lebih baik", memperkuat elemen komedi, ataupun mengacaukan pikiran penonton.

Seiring waktu, minat Fielder atas pikiran manusia terus menenggelamkannya dalam keribetan tersendiri. Pada episode "The Fielder Method", misalnya, dia menerapkan metode di mana para aktornya ditugaskan menguntit seseorang. Tujuannya adalah agar mereka jadi mahir meniru orang tersebut.

Saat itulah, Fielder yang tenggelam dalam keasyikannya justru menciptakan rehearsal berlapis; berlatih untuk menghadapi “latihan” yang dia rancang sendiri.

Adapun menu utama The Rehearsal adalah ketika Fielder harus menciptakan sebuah simulasi menjadi-ibu-rumah-tangga untuk seorang perempuan lajang bernama Angela. Selama dua bulan, Angela ditempatkan di sebuah rumah dengan seorang anak yang dinamainya Adam.

Para aktor anak, dari bayi hingga remaja pun dikontrak untuk memerankan Adam dan menghadirkan pengalaman riil untuk Angela. Fielder juga mempekerjakan orang yang gemar begadang untuk mengawasi bayi via kamera.

Tak hanya itu, dia menugaskan timnya untuk menggantikan aktor bayi dengan robot bayi lantaran jam kerja aktor anak-anak hanya sampai pukul 7 malam. Demi totalitas, timnya juga membawakan hasil ladang yang dibeli di pasar sebagai imitasi hasil ladang di belakang rumah.

Kelakuan Fielder menjadi kian meta tatkala dia sendiri tiba-tiba juga ingin merasakan menjadi seorang ayah. Fielder lantas melibatkan dirinya ke dalam rehearsal yang dirancangnya sendiri. Jadilah itu sebuah simulasi berkeluarga.

Fielder mesti menghadapi tabiat Adam yang berbeda-beda tergantung umur dan tumbuh kembang sang anak. Hingga sampai pada titik ketika Fielder (pura-pura) tak pulang selama 9 tahun dan mendapati Adam remaja membencinya.

Kelanjutannya lucu sekaligus miris: Fielder merasa tak sanggup menghadapi itu dan mengganti anak remajanya kembali ke Adam yang berusia 6 tahun.

Kehidupan keluarga—atau lebih tepat: simulasinya—juga tak selancar yang dia bayangkan. Fielder yang menganut Yudaisme cekcok dengan Angela yang seorang Kristen taat soal bagaimana cara mendidik Adam.

Dalam satu episode, perselisihan itu bermuara pada Fielder yang memandang para fanatik agama (dari mana pun) terkesan sama gilanya bagi orang-orang moderat seperti dirinya. Show ini juga menyoroti bagaimana akting teramat berpengaruh pada aktor anak, terutama ketika salah satu pemeran Adam menjadi sangat terikat padanya dan bersikeras memanggilnya “Ayah”.

Fielder juga terus ngotot untuk memetakan alasan beberapa orang memiliki perilaku tertentu. Caranya dengan mencoba menempatkan diri sebagai orang lain. Maka dia pun melakukan rehearsal menjadi anak atau bahkan menjadi ibu seorang aktor anak dalam simulasi.

Sang kreator show seolah hanyut dalam ilusinya sendiri, ilusi show-nya sendiri.

Semua ketidakpraktisan yang ditempuh Fielder lantas membuatnya sampai pada kesimpulan: hidup sesungguhnya terasa lebih baik dengan adanya kejutan.

Disorientasi pada Penonton

"Hidup terasa lebih baik dengan kejutan."

"Mungkin ketika semua hal di sekitarmu begitu temporer, kamu benar-benar menginginkan sesuatu yang lebih permanen."

The Rehearsal jelas tak bisa dibilang tontonan sederhana. Namun, jika pun ia terasa kelewat kompleks, Fielder sejatinya melontarkan kata-kata kontemplatif yang terdengar seperti kesimpulan pada setiap pengujung episodenya.

Dalam kodratnya yang merancukan, The Rehearsal justru membebaskan di sisi lain. Kau bisa menganggapnya dokumenter, reality show betulan, atau gabungan keduanya. Kau mungkin menyebutnya mockumentary atau bahkan bodo amat dengan bentuknya dan menganggapnya murni pertunjukan komedi.

Dengan sedikit keraguan akan betapa "nyata"-nya The Rehearsal (mengingat betapa meyakinkannya dialog para aktor anak), saya cukup beruntung untuk melihatnya sebagai yang terakhir: komedi fiktif belaka.

Ini lantaran, tepat sebelum saya menontonnya, seorang kawan menyarankan untuk menonton Nathan For You (2013-2017), serial docu-reality Comedy Central yang juga dibikin dan dibintangi Nathan Fielder.

Karenanya, saya jadi terbiasa dengan gaya editing dan persona Fielder yang berbicara monoton, humor-humor deadpan-nya yang memantik kecanggungan, dan dialog serta situasi penuh ketidaknyamanan.

Semua polahnya dalam The Rehearsal serta-merta jadi masuk akal lantaran orang yang sama pernah membuatkan nisan granit setinggi dua meter untuk lalat peliharaannya, memfabrikasi video penyelamatan palsu yang telah ditonton jutaan kali di Youtube, hingga mengoperasikan parodi Starbucks (dan dikira Banksy).

Infografik Misbar The Rehearsal

Infografik Misbar The Rehearsal. tirto.id/Ecun

Dari serial terdahulunya pula, saya mendapati bahwa show-nya Fielder mengambil pendekatan yang bisa dibilang serupa dengan mockumentary khas garapan Sacha Baron Cohen (Borat, Brüno, Ali G) yang tak jarang manipulatif terhadap subjeknya dan menerapkan elemen nyata sampai tahap tertentu.

Poin-poin karya Fielder pun jelas. Salah satunya adalah membingungkan penonton dengan mengaburkan batas antara realitas dan fiksi. Poin itulah yang mendorong show-nya melewati batas berbagai rupa acara TV.

Dengan menganggap seluruh obrolan dan kejadian dalam The Rehearsal sepenuhnya ditulis dan diarahkan, setiap detiknya pun jadi terasa sebagai banyolan—menjadi show yang konyol sedari sifatnya.

Pertanyaan yang tersisa barangkali: bagaimana mungkin orang bisa menuliskan komedi sedemikian rinci dan brilian?

Katakanlah, Fielder telah sampai pada setiap kesimpulannya sedari awal. Itu pun tetap berarti Fielder masih harus terus mempertajam overthingking-nya dalam menangani kasus terbaru. Jika memang benar demikian, proses pemikiran yang dituangkan ke penulisan dan, akhirnya, pengemasan materi-materinya secara apik barangkali tak jauh dari kata genius.

Perspektif dan kesimpulan itu sangat mungkin tak terbaca oleh mereka yang baru kali ini menikmati sajian Fielder. Penonton baru sangat mungkin dikagetkan dengan bagaimana mekanisme sebuah reality show ditampilkan dalam acara yang bisa dilabeli reality show. Begitu pula dengan gaya berbicara dan humornya yang bisa jadi tak mengesankan sama sekali bagi sebagian orang.

Apa pun ia, sepenuhnya setting-an atau tidak, The Rehearsal jelas dijahit dengan sangat rapi serta diperkuat editing intens nan dramatis yang sanggup mengusik penontonnya.

Ada perkembangan mencolok pada diri sang kreator dan upaya-upayanya yang lebih serius dan kompleks. Maka aman saja untuk mengatakan pembengkokkan realitas yang dikerjakan Fielder telah melampaui karya-karyanya sebelumnya.

Seiring episode finale yang semakin absurd—di mana Fielder tampak semakin jauh dari kenyataan dan kehilangan jejak dirinya sendiri—lumrah saja muncul pertanyaan untuk konsep The Rehearsal selanjutnya: kegilaan macam apa lagi yang akan ia munculkan?

Baca juga artikel terkait THE REHEARSAL atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi