tirto.id - Final Piala Afrika 31 tahun silam menjadi pengalaman yang menegangkan sekaligus menyakitkan bagi skuad Kamerun. Menghadapi tuan rumah Mesir, partai puncak yang digelar pada 21 Maret 1986 itu harus dituntaskan dengan adu penalti setelah kedua tim gagal mencetak gol di sepanjang tempo normal ditambah babak perpanjangan waktu.
Empat penendang pertama sukses menjalankan tugasnya, Tarek Yehia dan Magdi Abdelghani dari Mesir serta Louis Paul M'Fede dan Emmanuel Kunde dari Kamerun. Kegagalan algojo ketiga tuan rumah, Mustafa Abdou, sempat membuat pasukan singa sedikit lega dan melihat secercah harapan. Tapi, ternyata nasib berkata lain.
Disaksikan 95.000 orang yang disesaki rakyat Mesir, Stadion Internasional Kairo akhirnya menjadi saksi pilu bagi Kamerun karena dua pemainnya tak mampu menambah gol. Roger Milla dan kawan-kawan pulang dengan rasa sesak, kalah di final dengan skor akhir 5-4. Sakitnya sangat terasa karena Kamerun datang selaku juara bertahan.
Juara di Era Suram
Kejadian serupa terjadi pada Piala Afrika 2008. Kamerun dan Mesir berjumpa lagi di final, kali ini bertempat di Ghana. Sebiji gol Mohamed Aboutrika sudah cukup menorehkan luka kedua untuk Kamerun. Mesir juara lagi dan menggenapi gelarnya sebagai raja benua hitam menjadi 6 kali.
Tahun-tahun berlalu, Kamerun sudah tidak lagi seperkasa dulu. Di Piala Afrika 2010, mereka memang melaju sampai ke perempatfinal. Namun, pada dua edisi selanjutnya, 2012 dan 2013, Kamerun bahkan tidak lolos kualifikasi, serta langsung terhenti di babak penyisihan grup di Piala Afrika 2015.
Namun, dalam masa-masa suram itu, Kamerun justru tampil mengejutkan di Piala Afrika 2017 yang dihelat di Gabon. Secara tak terduga, mereka berhasil menjadi kampiun sekaligus sukses menuntaskan dendam terhadap musuh lama, Mesir.
Sempat tertinggal di menit 22 oleh gol gelandang Arsenal, Mohamed Elneny, Kamerun akhirnya menuntaskan pertandingan dengan skor akhir 1-2 berkat dwigol Nicolas Nkoulou pada menit 59 dan Vincent Aboubakar jelang laga usai.
Kamerun mendominasi jalannya laga meski tak efektif. Dengan penguasaan bola mencapai persen, tim besutan Hugo Broos hanya mencatatkan 3 tembakan on-target dan 2 di antaranya berbuah gol, sementara 15 kans lainnya gagal. Mesir juga miskin peluang. Sepanjang laga, Mohamed Salah dan kawan-kawan cuma melepaskan 4 tembakan.
Nyaris Tanpa Bintang
Hingga saat ini, Mesir memang masih menjadi negara peraih gelar juara Piala Afrika terbanyak dengan koleksi 7 trofi. Namun, dari semuanya itu, ada 3 gelar yang didapat di kandang sendiri atau ketika Mesir menjadi tuan rumah Piala Afrika, yaitu pada edisi 1959, 1986, dan 2006.
Sementara Kamerun menguntit di posisi kedua dengan 5 kali menjadi juara, yakni masing-masing di Piala Afrika 1984, 1988, 2000, 2002, dan terakhir 2017 yang baru lalu. Hebatnya, seluruhnya diperoleh di luar kandang.
Gelar juara Piala Afrika 2017 menjadi lebih istimewa karena Kamerun sejatinya kurang diunggulkan. Kendati punya nama besar di kancah persepakbolaan benua hitam, Kamerun sekarang berbeda dengan yang dulu. Kamerun kini sangat minim, atau bahkan nyaris tanpa pemain berlabel bintang.
Coba bandingkan dengan skuad Kamerun di era 1980-an hingga awal dekade 2000-an. Saat itu, para pemain yang berkibar di Eropa silih-berganti menghuni Les Lions Indomptables, ada Roger Milla, Emmanuel Kunde, Pierre Wome, Rigobert Song, Patrick Mboma, Geremi Njitap, Marc-Vivien Foe, Lauren Etame, Alex Song, Carlos Kameni, serta tentunya Samuel Eto’o.
Kini, tidak ada pemain Kamerun yang benar-benar berpamor mentereng di Piala Afrika 2017. Kebanyakan dari mereka hanya bermain untuk klub-klub semenjana di liga-liga Eropa, sebut saja Nicolas Nkoulou (Lyon/Prancis), Clinton N'Jie (Marseille/Prancis), atau Frank Boya (1860 Munich/Jerman) dan Jacques Zoua (Kaiserslautern).
Dari 23 pemain yang dibawa Broos, paling banter hanya Vincent Aboubakar yang namanya barangkali paling familiar, itu pun tidak kondang-kondang amat. Striker berusia 25 tahun ini sempat cukup moncer bersama klub raksasa Portugal, FC Porto, namun kini justru tersisih dan dipinjamkan ke Besiktas (Turki).
Menuju Generasi Emas Kedua
Dengan merengkuh gelar juara Piala Afrika 2017, bukan tidak mungkin Kamerun akan menuai masa emas kedua seperti ketika mereka menjadi yang terbaik di Olimpiade Sidney 2000 dengan membekuk Spanyol di final. Kala itu, Eto’o masih remaja, usianya baru 19 tahun. Begitu pula dengan Lauren (23 tahun), Wome (22 tahun), juga Geremi (24 tahun).
Keberhasilan Kamerun menyabet medali emas Olimpiade 2000 membuahkan berkah bagi para pemainnya. Eto’o pada akhirnya menjadi bomber andalan Barcelona dan Inter Milan, Lauren merupakan pilar Arsenal selama 6 musim, Wome malang-melintang di klub-klub mapan Eropa macam AS Roma, Inter, hingga Werder Bremen, sementara Geremi menghuni Real Madrid sebelum hijrah ke Chelsea.
Bukan tidak mungkin skuad juara Piala Afrika 2017 juga akan menjelma menjadi generasi emas berikutnya bagi Kamerun. Nyaris seluruh pemain Kamerun yang dibawa ke Gabon masih muda, atau sedang menapak usia produktif. Yang paling tua adalah Sebastien Siani yang kini berumur 30 tahun, lainnya di bawah itu, rata-rata berusia 20-28 tahun.
Tampaknya tinggal menunggu waktu saja bagi anak-anak Kamerun untuk mendapatkan tawaran dari klub yang lebih besar, seperti yang pernah dinikmati para pemain Yunani usai juara Piala Eropa 2004 atau Nigeria setelah merengkuh medali emas Olimpiade 1996. Dari yang bukan siapa-siapa dan nyaris tanpa nama, menjadi para calon bintang di kancah sepakbola Eropa, bahkan dunia.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti