Menuju konten utama

Sulitnya Investor hingga Beban APBN Pemicu Dicoretnya 8 Proyek PSN

Minat investor terhadap infrastruktur di Indonesia masih menghadapi tantangan terutama persoalan pengurangan risiko proyek.

Foto udara simpang susun Jalan Tol Purbaleunyi dan Jalan Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) di Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (24/1/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.

tirto.id - Pemerintah akan mencoret delapan proyek yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun ini. Daftar proyek ini nantinya dituangkan dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 9 Tahun 2022.

Dari delapan proyek tersebut, lima diantaranya adalah proyek Cikarang Bekasi Laut (CBL), Bandara Bali Utara, Kereta Api Kalimantan Utara, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Api-api, dan Bendungan Tiro di Aceh.

Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian, Wahyu Utomo mengatakan beberapa PSN dikeluarkan ini merupakan saran dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto. Terlebih proyek tersebut kesulitan dalam mencari investor.

"Kita keluarkan karena dukungan masyarakat enggak kuat, juga kajiannya lambat atau misalnya harus mencari mitra yang tidak gampang," katanya dalam Media Briefing: Pencapaian Proyek Strategis Nasional (PSN) Semester I-2022, di Jakarta, Selasa (26/7/2022).

Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), Piter Abdullah mengakui pembangunan infrastruktur tidak selalu mulus, terutama dalam mencari investor. Karena bagi investor dalam melakukan proyek tersebut tidak membuahkan untung yang banyak dan membutuhkan waktu lama.

"Makanya pemerintah selama ini untuk memacu pembangunan infrastruktur banyak menggunakan BUMN dan untuk pembiayaannya BUMN juga harus utang," kata Piter kepada Tirto, Rabu (27/7/2022).

Untuk itu, pemerintah kemudian membentuk lembaga Indonesia Investment Authority (INA) atau Sovereign Wealth Fund (SWF). Tujuannya untuk menggalang investor.Namun hal itu dinilai tidak cukup berhasil lantaran pandemi COVID-19 melanda Indonesia.

Sementara itu, jika berharap dari swasta pun akan sulit. Karena umumnya pembangunan infrastruktur membutuhkan modalnya besar, sementara untungnya kecil dan jangkanya panjang, sehingga swasta tidak banyak yang mampu dan berani.

"Apalagi sekarang di tengah kondisi global yang terancam krisis. Likuiditas sulit. Mencari investor pembangunan infrastruktur lebih sulit lagi. Saya kira ini jadi pertimbangan pemerintah memangkas proyek-proyek strategis," ucapnya.

Meski demikian, apa yang dilakukan Presiden Joko Widodo menurutnya patut diapresiasi. Karena benar-benar serius dalam pembangunan infrastruktur di tanah air. Kebijakan tersebut, dia berharap bisa terus dilanjutkan oleh pemimpin selanjutnya.

APBN Tak Kuat Biayai Infrastruktur

Sementara itu, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengakui pembangunan infrastruktur akan menjadi pertaruhan berat bagi APBN. Pertama, pada 2023 mendatang akan ada Rp100 triliunan lebih untuk anggaran penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres).

Kedua, ruang fiskal juga bakal menyempit karena kebutuhan untuk subsidi energinya masih terus tinggi. Bahkan kata Bhima pemerintah sendiri mengasumsikan harga minyak mentah masih berkisar 90 dolar AS per barel. Artinya, masih membutuhkan banyak sekali anggaran untuk subsidi dan dana kompensasi energi.

Ketiga, anggaran untuk belanja rutin yang sebelumnya dipangkas untuk perjalanan dinas dan pengadaan barang jasa pada saat pandemi mulai meningkat kembali untuk 2023 ke depan. Di sisi lain pemerintah juga terikat Undang-Undang keuangan negaranya akan berlaku kembali, yakni defisitnya harus ditekan di bawah 3 persen.

"Jadi ruang fiskal akan sangat mempengaruhi dan proyek-proyek strategis nasional yang dikebut ini mau tidak mau harus dikorbankan," jelasnya.

Bhima mengatakan jika infrastruktur tetap dipaksakan bersamaan dengan kebutuhan anggaran yang lainnya, khawatir ini akan terjadi pelebaran defisit yang sangat besar. Tentu ini akan menjadi beban atau risiko fiskal bagi presiden berikutnya di 2024.

"Dan itulah kenapa dari awal disarankan proyek-proyek infrastruktur itu harus punya skala prioritas. Mana proyek-proyek yang masih bisa ditunda dulu. Seperti mega proyek IKN kan tidak ada tuh dalam Undang-Undang IKN bahwa IKN harus 2024 atau dimulai dari 2024," jelas Bhima.

Dia menilai seharusnya pemerintah menyelesaikan proyek-proyek yang akan beroperasi. Sementara proyek yang masih dalam perencanaan atau proyek-proyek yang masih bisa di hold terlebih dahulu satu sampai dua tahun sebaiknya dilakukan.

"Karena infrastruktur ini kalau dia tidak membebani APBN, maka dia akan jadi beban likuiditas BUMN yang ujungnya harus ada intervensi dari BUMN. Jadi sangat berat ujungnya kepada APBN lagi jadi harus selektif lagi," pungkas Bhima.

Baca juga artikel terkait PROYEK INFRASTRUKTUR atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin
-->