tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menekankan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tidak akan melakukan sistem ijon atau memungut penerimaan pajak tahun depan ke tahun ini. Selain karena dinilai cenderung mengarah pada tindak pemerasan maupun pemaksaan, praktik ijon juga tidak sesuai dengan Undang-Undang.
Sampai dengan pertengahan Oktober 2017 lalu, Direktorat Jenderal Pajak menyatakan kalau realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp876,58 triliun.
Adapun angka tersebut setara dengan 68,29 persen dari target yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang sebesar Rp1.283,6 triliun. Memasuki akhir tahun akhir tahun, sistem ijon kemudian disebut-sebut dapat menjadi sumber untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.
“Saya melarang ijon sejak saya kembali ke Indonesia. Karena itu bukan praktik yang baik, tidak fair, dan akan merusak basis dari data perpajakan kita,” ujar Sri Mulyani dalam jumpa pers di kantornya pada Jumat (17/11/2017).
Lebih lanjut, Menkeu secara tegas mengimbau agar masyarakat langsung melaporkan kepada pemerintah apabila terjadi praktik ijon di lapangan. “Saya tekankan kalau Anda merasa didatangi aparat pajak kita dan mereka meminta ijon, laporkan ke saya,” ucap Sri Mulyani.
Menkeu sendiri tidak menampik kalau aparat pajak bakal bekerja secara intens akhir-akhir ini. Akan tetapi Sri Mulyani meyakini hal itu dilakukan sebagai bentuk intensifikasi karena potensi pajak di Indonesia yang dinilainya besar.
Oleh karena melarang penerapan sistem ijon, Sri Mulyani mengatakan pemerintah bakal gencar melakukan identifikasi terhadap wajib pajak yang secara reguler membayar pajak dan rekam jejaknya diketahui. Selain itu, rupanya pemerintah juga tidak menutup kemungkinan bakal menerapkan sistem lain, seperti dinamisasi.
Dengan berkomitmen untuk tidak akan menerapkan ijon, Menkeu turut berjanji akan menyelesaikan sengketa yang terjadi sesuai prosedur. “Kita melakukan pengumpulan pajak, sesuai dengan kewajiban mereka yang diatur UU. Kalau ada dinamisasi, itu karena kita melihat adanya potensi,” ungkap Sri Mulyani.
“Dari tax amnesty, itu menunjukkan wajib pajak baru. Jadi kita identifikasi potensi penerimaan pajak yang memang selama ini sudah teridentifikasi tapi tidak terkoleksi,” tambah Menkeu.
Masih dalam kesempatan yang sama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama menyebutkan kalau dinamisasi memiliki dasar hukum, yakni Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-537/PJ/2000.
Hestu menjelaskan kalau dinamisasi bisa dilakukan pada wajib pajak yang mengalami peningkatan besaran angsuran PPh Pasal 25. “Biasanya setelah Juli, teman-teman mulai melakukan pengecekan, ‘Ini kok naik tinggi?’ Batasannya apabila PPh di tahun ini diperkirakan lebih dari 150 persen dari PPh tahun sebelumnya atau PPh yang menjadi basis penghitungan,” ujar Hestu.
Kendati demikian, Hestu mengklaim sistem dinamisasi tersebut tetap mengusung asas keadilan bagi wajib pajak. “Kalau kita lihat komoditasnya naik, kita minta PPh Pasal 25 bertambah. Tapi kalau dia turun [komoditasnya], dia bisa minta PPh Pasal 25 diturunkan. Jadi ini bukan ijon,” kata Hestu lagi.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Yuliana Ratnasari