tirto.id - “Dalam pertahanan, Juventus bukanlah PSG (Paris Saint Germain). Bianconeri merupakan salah satu yang paling berkualitas di Eropa,” ujar Monchi, Mantan Direktur Olahraga Sevilla.
Kata-kata ini muncul sehari sebelum laga Barcelona melawan Juventus pada laga kedua perempatfinal Liga Champions 2016/2017, Kamis (19/4) dini hari waktu Indonesia. Monchi ingin menegaskan, Barcelona memang punya rekam jejak yang mengerikan mengenai kisah membalikkan keadaan, namun jangan pernah berpikir bahwa Juventus akan dengan mudah dikadali hanya dengan serangan yang bertubi-tubi.
Tragedi dari PSG memang cerita paling dekat, menghancurkan 4-0 tapi dibalik 1-6 pada pertandingan kedua di Nou Camp pada babak sebelumnya. Cerita yang membuat kisah pengunduran Luis Enrique di akhir musim nanti dipandang sebagai langkah yang kelewat buru-buru.
Apalagi, jika kembali ke belakang, Massimiliano Allegri, sosok yang menjadikan Juventus kembali diperhitungkan di Eropa, pernah punya pengalaman yang sama. Saat itu Allegri masih menangani AC Milan di babak Perempatfinal Liga Champions 2012/2013. Unggul 2-0 pada pertandingan pertama di San Siro, anak-anak Milan kelewat percaya diri mampu mengatasi gelombang serangan Lionel Messi, David Villa, dan Pedro Rodriguez di Nou Camp.
Awalnya semua tampak mulus, pertahanan Milan tampak cukup baik meredam. Sayang, sejak Messi mampu melakukan tendangan luar biasa keras dan akurat dalam kepungan empat pemain Milan di luar kotak penalti, kepercayaan diri pemain Milan runtuh seketika. Bola tendangan dari posisi tidak ideal itu, melengkung begitu cepat ke pojok kanan atas gawang Christian Abbiati. Mitos pun kembali menggema, bagaimana mungkin mematikan pemain satu ini jika dikepung sedemikian rupa saja masih mampu mencetak gol?
Hal itu juga dilakukan Messi kala mencoba mencari rute terbaik untuk menuju gawang Gianluigi Buffon. Akan tetapi, sayang bagi Barcelona, Juventus yang kali ini dilawan, bukanlah AC Milan 2013, atau PSG beberapa pekan sebelumnya. Kedua tim tidak sama. Messi memang sempat beberapa kali punya cukup waktu untuk melakukan tembakan, namun ia tidak punya cukup ruang untuk membidik sasaran.
Yang mengejutkan, pertahanan Juventus bergerak seperti air. Tidak sekeras benteng pertahanan Real Madrid di setiap laga el clasico. Menyerap tekanan, lalu menutup ruang permainan dengan lembut. Barangkali ini satu-satunya tim lawan Barcelona yang mampu meredam dengan pertahanan “lembut” sepanjang dinasti Catalunya ini di Eropa sejak 2009. Cukup minim melakukan pelanggaran—bahkan untuk melakukan sliding tekel saja bisa dihitung dengan jari. Ini angka yang bagus melihat dominasi lawan yang sedang dihadapi.
Soal ini, Anda harus mendengar apa yang dikatakan Sir Alex Ferguson saat terpukau melihat cara bertahan tanpa sliding tekel ala Paolo Maldini, “Maldini bertahan melalui 90 menit tanpa pernah melakukan sliding tackle. Itu adalah seni, dan ia masternya.” Laga yang disaksikan Fergie adalah pertandingan kedua Bayern Munich melawan Milan di Allianz Arena pada 2007 silam.
Kemampuan bertahan tanpa terlalu sering melakukan sliding tekel adalah kunci, bahwa secara penguasaan ruang, pemain bertahan Juventus berarti sudah melakukan pekerjaan luar biasa. Bukan pekerjaan dengan usaha mati-matian dengan otot, tapi dengan otak. Usaha yang tidak berlebihan menunjukkan bahwa sangat sedikit langkah sia-sia dari para pemain Juventus saat mengantisipasi serangan lawan. Ini menunjukkan bagaimana efisiensi pertahanan Allegri benar-benar brilian.
Hal ini bahkan bisa dibaca dari rata-rata tekel per pertandingan Juventus musim ini di Liga Champions. Rata-rata pemain Juventus melakukan 1,3 tekel per pertandingan. Angka ini di bawah Barcelona yang mencapai 1,6 tekel per pertandingan. Padahal Barcelona sangat sering, bahkan rutin, mendominasi pertandingan dengan penguasaan bola yang massif.
Sekilas selisih angka ini memang kecil, tapi melihat bahwa gaya main Barcelona dengan kemampuan penguasaan bola yang lebih baik, dan Juventus lebih sering membiarkan lawan membawa bola maka artinya kemampuan buka tutup ruang dalam pertahanan Juventus jauh lebih baik dari milik Barcelona. Bahkan jika merunut catatan kebobolan Juventus, dalam 10 pertandingan terakhir di Liga Champions Eropa, anak asuh Allegri hanya kebobolan 2 gol, dan semuanya lahir dari bola mati.
Pertandingan 0-0 di Nou Camp ini memang jadi pertunjukan terbaik dari pertahanan kedua tim. Baik Barcelona maupun Juventus, mampu menampilkan pertahanan brilian. Bahkan—bisa dibilang—Buffon maupun Marc-Andre ter Stegen, hampir menganggur selama lebih dari 90 menit. Beberapa memang ada tendangan yang mengarah ke gawang, tapi itu pun masih dalam taraf aman terkendali.
Bahkan jika melihat statistik yang ada, 92% peluang Juventus muncul dari dalam kotak penalti. Bandingkan dengan Barcelona yang hanya punya 58% peluang di area yang sama. Artinya, Stegen jauh lebih repot daripada Buffon, padahal jumlah serangan Barcelona lebih banyak daripada milik Juventus (19 berbanding 12).
Adalah Dani Alves dan Mario Mandzukic yang pantas mendapatkan kredit poin lebih atas kemampuan bertahan Juventus malam itu. “Kami tahu mereka akan menekan kami, tapi kami bisa mengatasi dengan baik lewat kekompakan dalam bertahan. Di atas semuanya, terima kasih kepada Dani Alves dan (Mario) Mandzukic yang telah melakukan tekanan kepada mereka,” ungkap Bonucci.
Alves, pemain yang sempat bercanda kepada beberapa staf pelatih Barcelona dan Enrique sesaat sebelum wasit meniup peluit pertandingan dimulai, beberapa kali memang bisa dilewati oleh Neymar. Akan tetapi, itu tidak masalah, tugasnya memang bukan sebagai tembok yang harus menghantam juniornya di timnas Brasil ini sejak awal. Tugas Alves hanya memfilter, mengarahkan Neymar untuk menuju rute gembok sebenarnya: Bonucci, atau mengulur waktu menunggu bantuan datang dari Juan Cuardado.
Masalah memang sempat datang saat Jordi Alba ikut membantu, hanya saja dengan begitu Cuardado punya area lebih luas untuk melakukan ancaman serangan balik. Bagi Allegri, hal ini tidak begitu masalah karena sudah mengantongi tiga gol di Juventus Stadium. Dan bagi Enrique, ini jelas seperti buah simalakama.
Di sisi yang lain, Mandzukic tidak hanya bertugas melakukan serangan, tapi juga membuat Sergio Roberto tidak bisa membantu banyak untuk penyerangan Barcelona. Hal itulah yang membuat arah serangan Barcelona 40% diarahkan ke sisi Alves dengan menempatkan Neymar sebagai inisiator.
Hal yang sebaliknya juga terjadi karena 41% serangan Juventus juga dari sisi yang sama dengan Cuardado sebagai pembuka front. Pertarungan di sisi inilah yang kemudian menentukan. Baik Alves maupun Alba, melakukan tugasnya masing-masing dengan baik. Hanya saja, bagi Barcelona situasi ini jauh lebih merugikan mengingat mereka harus mengejar ketinggalan.
Jika ada pemain yang tidak bisa dibaca melalui data statistik ini, maka tentu saja Anda harus menyebut Messi. Dalam keadaan seketat apapun ruang yang dimiliki, Messi tiba-tiba saja mampu memberi umpan berbahaya, atau melakukan eksekusi tendangan dalam keadaan yang—sebenarnya—sudah sangat tertutup. Statistik memang menunjukkan, 79% eksekusi peluang Barcelona lahir dari areh tengah, area Messi. Dan Messi punya tiga sampai empat tendangan—yang sialnya—tidak ada yang mengarah ke gawang. Jika pun ada yang mengarah ke gawang, arahnya lembek dan terlalu lemah untuk Buffon.
Pada akhirnya, penguasaan bola 61% dari Barcelona tidak punya arti apapun di hadapan pertahanan Juventus. Sekalipun hanya menguasai bola 39%, Juventus masih jauh dari permainan anti-football. Beberapa peluang emas, cara merebut bola dengan cara-cara brilian ditunjukkan tim ini.
“Kami sudah berusaha. Kami punya sikap yang bagus dan para pemain kami menunjukkan ambisi besar, namun bola tidak mau masuk,” ujar Enrique saat konferensi pers setelah pertandingan, “Malam ini, kita melihat dua tim yang menyerang. Juventus juga mencari kesempatan serangan balik. Sulit untuk pemain kami mengontrol intensitas mereka.”
Hasil ini tentu saja menjadikan Juventus sebagai favorit juara—tentu saja—setelah Real Madrid. Jadi apakah kesenian bertahan ini masih bisa berlanjut, Allegri?
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi