Menuju konten utama

Soal Pembatasan Sawit, RI Disarankan Benahi Sertifikasi Perkebunan

Dubes Eropa untuk Indonesia menyatakan, regulasi yang diterapkan oleh Uni Eropa terkait pembatasan sawit nantinya juga hanya terbatas pada penggunaan sawit untuk biofuel.

Soal Pembatasan Sawit, RI Disarankan Benahi Sertifikasi Perkebunan
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2). Pemerintah Indonesia berupaya menyempurnakan kebijakan moratorium sawit yang diberlakukan selama lima tahun sejak 2016 untuk menekan laju konversi hutan dan lahan gambut dengan tetap memperhatikan kelangsungan bisnis supaya produktivitas sawit meningkat dari luas perkebunan yang sudah ada. ANTARA FOTO/FB Anggoro.

tirto.id - Duta Besar Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darusalam, Vincent Guerend mengatakan pembatasan sawit sebenarnya berkaitan dengan pentingnya sertifikasi produk untuk keberlanjutan lingkungan.

Ia mengatakan, regulasi yang diterapkan oleh Uni Eropa nantinya juga hanya terbatas pada penggunaan sawit untuk biofuel.

Dalam hal ini, Renewable Energy Directive (RED) II yang dipersoalkan negara-negara penghasil kelapa sawit termasuk Indonesia.

“Saya pikir penting untuk diingat bahwa kami dan pemerintah Indonesia ingin capaian keberlanjutan. Dan kami pada dasarnya menginginkan minyak sawit yang tersertifikasi secara keberlanjutan,” ucap Vincent kepada wartawan usai konferensi pers bertajuk “Diskriminasi Indonesia terhadap Sawit Indonesia” di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta pada Rabu (20/3/2019).

Penerapannya pun, kata Vincent, cukup renggang. Ia menyebutkan untuk perkebunan rakyat (small holder) dengan luas di bawah 2 hektar tentu akan lolos.

Namun, perkebunan dengan luas besar perlu diaudit dan terverifikasi bahwa ia memiliki tingkat alih fungsi lahan (ILUC) yang rendah agar bisa dikecualikan dari pembatasan ini.

Terkait kriteria ILUC, Vincent menuturkan hal itu memang diterapkan berdasarkan pertimbangan ilmiah. Sebab penilaian tinggi-rendahnya ILUC diarahkan untuk membedakan mana perkebunan yang menjadi penyebab deforestasi dan yang tidak.

Vincent menuturkan, regulasi yang akan ditetapkan nantinya juga tidak semata-mata kaku. Namun, akan segera direvisi pada tahun 2021 dan selanjutnya 2023 setelah memperoleh gambaran yang memadai dari dampak penerapannya.

“Kami yakin hutan menjadi penting bagi Anda terutama keberlanjutan. Saya katakan regulasi ini bukan sesuatu yang dipahat di batu selamanya tapi dapat berubah juga karena industri berjalan dinamis,” ucap Vincent.

Ketika ditanya mengenai sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), Vincent menyambut baik langkah itu. Namun, ia mengingatkan penting agar sebuah sertifikasi untuk memiliki standar yang kredibel, kuat, dan dapat diterima semua pihak.

Hanya saja, ia melihat ada kekurangan dari penerapan ISPO di Indonesia. Sebab ISPO yang diandalkan Indonesia menghadapi Uni Eropa sendiri belum diterapkan cukup baik kepada industri sawit yang ada di dalam negeri.

“Tapi masalahnya kurang dari 15 persen perkebunan yang tersertifikasi ISPO sendiri. Itu adalah jumlah yang kecil dalam industri ini,” ucap Vincent.

Baca juga artikel terkait SAWIT atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno