tirto.id -
Ia menambahkan, bila ketentuan ini belum ditemukan maka tidak ada dasar untuk memasuki grup yang bersangkutan.
"Begini, siapa pun yang committed terhadap crime dinyatakan bermasalah secara hukum bisa diproses. WhatsApp itu ranahnya pribadi. Kalau tidak ada permasalahan hukum, tidak di antara kita, ya tidak ada dasar masuk," ucap Rudiantara kepada wartawan usai memberikan keynote speech pada peringatan ulang tahun YLKI di Lumiere, Jakarta, Selasa (18/6/2019).
Rudiantara menjelaskan, dalam penegakan hukum ada dua jenis dasar yang dapat digunakan polisi untuk memulai proses itu. Dalam hal ini polisi dapat masuk melalui delik aduan maupun umum.
Menurutnya, bila delik-delik itu sudah muncul di ranah kepolisian, maka hal itu seharusnya tidak dibiarkan sehingga perlu ditindak.
Rudiantara menjelaskan, adanya persoalan hukum juga menjadi batasan bilamana langkah yang disebut patroli siber oleh kepolisian itu dapat dilakukan.
"Kalau kena delik aduan atau umum, masa dibiarkan. Kita ada 100 orang dalam 1 grup lalu 1 orang berperkara secara hukum masa kita biarkan yang bersangkutan," ucap Rudiantara.
Mengenai aturan hukum yang dilanggar, Kemenkominfo, kata Rudiantara, menyerahkan itu pada kepolisian. Kemenkominfo baru memproses perkara itu jika berkaitan dengan pelanggaran UU ITE melalui penyidik pegawai negeri sipil.
Rudiantara mengingatkan, dasar hukum yang digunakan kepolisian nantinya masih lebih luas dari hanya sekadar UU ITE. Pasalnya kejahatan atau pelanggaran hukum yang dapat diproses berkaitan dengan patroli WhatsApp ini masih ada lagi. Misalnya terorisme.
"Yang menetapkan pelanggaran aturan itu polisi. Kecuali UU ITE itu baru Kominfo. Kami ada penyidik pegawai negeri sipil. Kan tidak semua berkaitan dengan UU ITE yang WhatsApp itu," tukas Rudiantara.
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno