tirto.id - Sekitar tujuh tahun lalu, usai terpesona menyaksikan episode pertama Daredevil melalui situs penyedia film bajakan, saya memutuskan untuk berlangganan Netflix. Bertarif sekitar seratus-ribu-rupiah per bulan, selain dapat menyaksikan kelanjutan aksi Matt Murdock melindungi masyarakat Hell's Kitchen dari terkaman Wilson Fisk secara legal, Netflix "memaksa" saya untuk terus-terusan mengonsumsi film atau serial yang disediakan.
Dijejali katalog berupa Jesicca Jones dan berbagai serial Marvel bertitel "Netflix Original," Sense8, Narcos (serta prekuelnya, Narcos: Mexico), 13 Reasons Why, Stranger Things, The Haunting of Hill House, The Haunting of Bly Manor, Midnight Mass, The, Crown, The Irishman, The Two Popes, Enola Holmes, Extraction, hingga I'm Thinking of Ending Things, saya menganggap “pemaksaan” ini sebagai hal yang menyenangkan.
Apalagi, Netflix kemudian menyadiakan anime terbaik, Hunter X Hunter, serta pelbagai film buatan Studio Ghibli dan seri dokumenter dari balapan Formula 1 berjudul Drive To Survive dalam katalog mereka.
Netflix bagi saya adalah sinonim dari "bahagia." Platform digital yang sangat menyenangkan nan menguntungkan.
Sayangnya, “kebahagiaan” itu tak berlangsung selamanya. Sejak sekitar setahun lalu, hampir tak ada lagi tontonanmenarik yang disajikan Netflix. Kecuali Squid Game, konten-konten cemerlang Netflix praktis hanya diisi judul lama, sekuel atau prekuel. Ditambah dengan ditariknya Daredevil beserta seluruh judul Marvel ke pangkuan House of Mouse dan kelakuan Netflix menghentikan kelanjutan konten-konten yang dianggap gagal seperti yang menimpa Cowboy Bebop, serta kian menariknya serial atau film yang disediakan layanan streaming pesaingnya, akun Netflix saya pun terbengkalai.
Saya tak lagi menggunakannya untuk menonton film atau serial, meskipun terus membayar biaya berlangganan. Hingga,saya pun memutuskan untuk berhenti berlangganan Netflix per akhir tahun lalu demi menekan pengeluaran. Langkahyang juga dilakukan banyak pengguna Netflix lainnya.
Merujuk laporan keuangannya pada kuartal 1-2022, Netflix mengklaim kehilangan lebih dari 200.000 pelanggan berbayar. Laporan itu jauh dari prakiraan Netflix sebelum 2022 yang jumawa bahwa platform streaming film ini akan memperoleh tambahan pengguna sebanyak 2,5 juta orang.
Menurut analisi Netflix sendiri, salah satu sebab masyarakat berduyun-duyun menjauh dari Netflix adalah adaptasi yang kecil terhadap jaringan internet broadband dan TV pintar di tengah masyarakat. Sebab lain di antaranya praktek berbagai password yang kian menjamur, kompetisi yang kian meningkat di antara platform-platformstreaming; serta malapetaka makroekonomi yang dimotori Invasi Rusia ke Ukraina.
Tak lama usai laporan keungan itu dipublikasikan, harga saham Netflix terjun hingga 35 persen. Namun yang menarik, di Reddit dan Twitter, banyak pengguna yang memutuskan berhenti berlangganan Netflix dengan alasan sama seperti saya, terjadi penurunan kualitas film dan serial yang disuguhkan Netflix. Kualitas yang tergadaikan oleh satu sebab: kejumawaan Netflix memproduksi pelbagai film dan serial bertitel "Netflix Original."
Awal Netflix
"Astaga, Reed, ke mana kau membawaku?" tanya Marc Randolph, pendiri sekaligus CEO pertama Netflix, pada Reed Hastings, pendiri Netflix lainnya (kini CEO), di suatu hari di musim panas 1998.
Pertanyaan timbul manakala Randolph yang duduk di kursi penumpang geram melihat Hastings gagal mencari alamat tujuan mereka. Suatu kali, Hastings mengarahkan mobil yang dikemudikannya ke depan Liberty Loans Pawn Shop (toko gadai barang). Berikutnya, dia membawa Randolph ke depan pintu Hair Wig Store (toko rambut buatan). Lalu, ke toko yang betuliskan Adult Entertainment Center (toko video porno).
Kegeraman Randolph kian memuncak usai tersadar bahwa area yang mereka kunjungi dipenuhi "muka muram." Toko atau kantor di sekeliling mereka nampak tak hidup, tak ada aktivitas, carut-marut, dan jauh dari kesan "bergairah untuk berbisnis."
Untunglah, usai nyasar ke sana-sini, Hastings membawa Randolph ke alamat sebenarnya, sebuah kantor bertuliskan "Columbia" dengan papan nama perusahaan: AMAZON.COM.
Randolph dalam memoirnya That Will Never Work: The Birth of Netflix and the Amazing Life of an Idea (2019) menyebut bahwa kunjungan mereka ke kantor Amazon dilakukan karena Amazon ingin membeli Netflix. Tutur Randolph, Jeff Bezos ingin meminang Netflix karena dia ingin Amazon tidak hanya menjual buku, tapi segalanya. Selain oleh keinginan penggunanya sendiri melalui angket yang disebar, keputusan Bezos tersebut juga didukung oleh hasil manis penawaran saham perdana (IPO) Amazon.
P
ada Mei 1997, Amazon memperoleh uang senilai $54 juta dari aksi IPO yang mereka lakukan. Dengan kekuatan uang tersebut, dia ingin membangun e-commerce raksasa. Menurut Bezoz, Netflix—kala itu merupakan startup yang baru berusia beberapa bulan—memiliki masa depan yang baik.Didampingi Chief Financial Officer (CFO) Joy Covey, Bezos berbincang dengan Hastings dan Randolph. Beberapa hal yang jadi bahan pembicaraan mereka di antaranya soal sejarah kedua perusahaan, soal kondisi terkini, dan soal proyeksi masa depan keduanya. Usai berbincang tak kurang dari 1 jam, Bezos keluar, meninggalkan Covery seorang diri.
Kepada Hastings dan Randolph, Covey lantas berkata, "Jika kita ingin pertemuan ini berlanjut, kami akan (membeli Netflix) dengan nilai sekitar 'low eight figures'."
Frasa eight figures merujuk pada delapan digit angka dolar Amerika, dari $10 juta hingga $99 juta. Namun, karena di depan frasa itu dibumbui dengan kata low, ini artinya Amazon—menurut klaim Randolph sendiri—hanya rela mengucurkan uang sekitar $14 juta hingga $16 juta untuk membeli Netflix.
Sebagai pemilik 30 persen saham Netflix—masih menurut Randolph, tawaran Amazon tersebut "sangat baik." Namun sebagai pemilik 70 persen saham Netflix dan berstatus high eight figure guy, Hastings sebaliknya.
"Dengar Marc," kata Hastings pada Randolph dalam perjalanan pulang mereka. "Bisnis yang kita jalani punya potensi besar. Aku pikir kita dapat membuat Netflix jauh lebih sukses dibandingkan Pure Atria (startup mereka sebelumnya)."
Bagi Hastings, Netflix akan benar-benar sukses manakala roda bisnisnyadiarahkan pada konsep awalnya: rental DVD. Sialnya, di bulan-bulan awal kehidupan Netflix, bisnis penjualan DVD jauh lebih laris dibandingkan bisnis rental DVD. Kala itu, penjualan DVD menyumbang duit senilai $93.000 untuk pendapatan. Di sisi lain, bisnis rental hanyamenyumbang senilai $1.000. Para pengguna Netflix lebih memilih membayar $25 untuk memiliki keping DVD film selamanya, alih-alih membayar $4 biaya sewa.
"Ini masalah," tutur Randolph. Masalah yang dapat diatasi manakala Netflix dapat menjauh dari skema jualan DVD, masalah yang diatasi melalui skema berlangganan.
Skema Berlangganan
Kesuksesan Marc Randolph dan Reed Hastings dari berjualan DVD menjadi berlangganan DVD tercipta karena Netflix akhirnya memahami kebutuhan penggunanya.
Sebagaimana dikisahkan Randolph dalam memoarnya, Netflix mulanya membebankan denda pada pelanggannya yang hendak meminjam keping DVD. Tak ketinggalan, alur rental DVD Netflix kala itu mengharuskan pelanggannya untuk terus-terusan datang ke website-nya untuk memilih film, mengisi kolom pembayaran terus-terusan, dan menonton dalam rentang waktu tertentu. Ketika menyewa lebih dari satu keping DVD, pelanggan diharuskan mengembalikannya sekaligus.
Akhirnya, pelanggan Netflix membenci skema ini. Karena itulah, mereka lebih memilih membeli keping DVD, alih-alih menyewanya.
Menyadari kekurangannya itu, Netflix lantas berbenah dengan merilis skema berlangganan semenjak musim semi 1999. Melalui skema berlangganan baru ini, Netflix mematok tarif flat, yakni $15,99 per bulan kala itu. Karena skema berlangganan ini tidak memberikan hak kepemilikan keping DVD, Netflix menggantinya dengan nilai berbeda yang lebih unggul: tidak ada batasan jumlah peminjaman keping DVD, tidak ada batasan waktu menonton, tidak ada denda, dan pelanggan dapat mengembalikan DVD semau mereka.
Lalu, untuk membuat pelanggannya aktif mengembalikan, Netflix aktif langsung mengirimkan keping DVD lain tatkala pelanggan mengembalikan film sewaannya. Tak disangka, dengan model bisnis belangganan (dan usai hijrah dari keping DVD menjadi aplikasi streaming), Netflix memiliki 155 juta pelanggan pada 2019 lalu.
Netflix Original
Andai saja tiap pelanggannya terus membayar uang Rp100.000 per bulan untuk dapat menonton segala film dan serial, tanpa harus menambah satu pelanggan pun (dan Netflix tidak kehilangan satu pun pelanggan saat itu), Netflix memperoleh pendapatan tetap senilai Rp15,5 triliun tiap bulan.
Tanpa pengandaian seperti itu pun, Netflix sebenarnya sudah terhitung sukses kala itu. Sepanjang 2019, Netflix tercatat meraup pendapatan sebesar Rp288,24 triliun atau Rp24,02 triliun per bulan.
Dengan pundi-pundi melimpah, Netflix nahasnya juga memiliki beban yang melimpah. Dimotori oleh ketakutan bahwa pelbagai studio film/serial bakal membangun platform streaming sendiri, Netflix lantas merilis film dan serial originalnya sendiri. Itulah beban besar yang kini mesti ditanggung.
Sepanjang 2021 lalu, Netflix menghasilkan 129 judul Netflix Original. Biaya produksi satu judul Netflix Original itu diperkirakan merentang dari $20 juta hingga $200 juta. Artinya, Netflix memiliki beban antara $2,5 miliar hingga $25,8 miliar untuk terus menghasilkan konten bertitel Netflix Original semata.
Secara umum, kebijakan Netflix memproduksi konten sendiri bukanlah masalah berarti. Sayangnya, seakan ingin memberikan konten melimpah bagi penggunannya, Netflix memilih kuantitas dibandingkan kualitas, memilih membuat konten dengan biaya di kisaran $20 juta alih-alih di kisaran $200 juta. Akibatnya, tentu hanya secuil film dan serial yang benar-benar berkualitas dan mampu menarik penonton. Inilah yang membuat pelanggannya, termasuk saya, memilih hengkang.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi