Menuju konten utama

Sikap Freeport Menolak Divestasi Saham Dinilai Tidak Etis

Pemerintah harus mengambil sikap tegas terhadap penolakan Freeport karena penolakan itu dianggap tidak etis dan menghina hukum nasional.

Sikap Freeport Menolak Divestasi Saham Dinilai Tidak Etis
CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait divestasi saham di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Anggota Komisi VII DPR Ahmad M Ali beranggapan sikap PT Freeport Indonesia yang menolak rencana divestasi 51 persen saham untuk Pemerintah Indonesia adalah sikap yang tidak etis.

"Sulit untuk tidak mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh PT Freeport telah memberikan kesan tidak etis, bahwa mereka tidak punya iktikad baik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia," ungkap Ahmad M Ali di Jakarta, Selasa (3/10/2017), menurut rilis yang dikirim Humas Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Nasdem Sulawesi Tenggara (Sulteng).

Pemerintah Indonesia merencanakan divestasi 51 persen saham melalui pola penerbitan saham baru karena khawatir akan terjadi over capitalition.

Menurut Ahmad yang juga Ketua DPW Nasdem tersebut, penolakan Freeport juga diiringi dengan pembangunan opsi baru dalam negosiasi yakni menawarkan Initial Public Offering (IPO) atau pelepasan saham perdana kepada masyarakat/publik.

Ia menilai, sangat nyata, dari usulan ini menunjukkan kehendak Freeport tidak rela memberikan atau membagi hasil kekayaan tambang gunung Glasberg Papua tersebut.

Sebab prinsip IPO, berbeda substansi dari usulan divestasi Pemerintah. Basis divestasi pemerintah bukan untuk membagi saham pada swasta lainnya, melainkan memperbesar kepemilikan saham perusahaan negara dalam badan usaha tersebut.

Ia menilai masalah ini amat krusial dan berpotensi membawa preseden buruk bagi wibawa hukum nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah diplomasi yang tegas karena hal ini berkaitan dengan kedaulatan hukum negara dan positioning Indonesia.

"Pertama, penolakan yang disampaikan Freeport jelas didasari pada karakter ekspansif geografis yang sulit untuk tidak disebut sebagai watak kolonialisme baru. Hanya mau mengambil manfaat dari kekayaan alam secara aman, murah dan monopolistik. Tanpa mau berbagi kesejahteraan pada Negara Republik Indonesia, sebagaimana amanat Undang-undang Dasar 1945, pasal 33," sebutnya.

Kedua mengenai argumentasi over capitalization, hal itu sungguh mengada-ada. Justru tujuan dari penerbitan saham baru akan meningkatkan net income perusahaan yang dihitung berdasarkan tahun investasi.

Lagi pula, logika pembentukan kekayaan yang selama ini dinikmati Freeport hanya menyumbang rata-rata Rp8 triliun bagi pajak negara. Ahmad mengatakan, dari sini terlihat jelas, bahwa Freeport enggan untuk mengganggu 'super profit' yang selama ini mereka nikmati sendiri.

Argumentasi yang disampaikan Freeport juga bersifat retorika karena sebelumnya telah terjadi kesepakatan pemerintah untuk kerangka kerja bagi sebuah izin baru akhir bulan lalu, di mana perusahaan yang berbasis di Phoenix, Arizona tersebut setuju untuk melakukan divestasi 51 persen saham di Grasberg, antara lain, dan dapat mempertahankan pengendalian operasional atas tambang tersebut sampai tahun 2041.

Insentif bahkan telah diberikan lagi pemerintah pada bulan April 2017, Freeport memiliki izin untuk mengekspor 1,1 juta ton konsentrat tembaga sampai Februari tahun depan, dengan catatan pengiriman bisa dihentikan lagi pada bulan Oktober jika negosiasi mengenai izin baru tidak diselesaikan pada saat itu.

Baca juga artikel terkait FREEPORT atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra