tirto.id - M (34) menikah dengan suaminya di usia 23 tahun atau beberapa bulan sebelum ia ujian skripsi. Statusnya sebagai seorang mahasiswi di sebuah universitas swasta ternama di Yogyakarta tak menghalangi impian untuk segera meresmikan hubungan dengan lelaki yang sudah dipacarinya selama dua tahun. M, kala itu, merasa sudah mantap untuk mengarungi bahtera rumah tangga dan siap menjalani fase baru yang lebih berat.
M tinggal di sebuah kontrakan kecil di pinggiran Kota Yogyakarta bersama sang suami dan anak perempuan mereka. Kehidupannya cukup normal: suaminya rutin bekerja dari pagi hingga sore di kantor penerbitan buku-buku populer, sementara dirinya tinggal di rumah sembari berjualan baju anak-anak secara online.
Lalu di awal tahun 2015 silam, sebuah pikiran hasil dari kepenatannya sebagai istri sekaligus ibu datang ke benaknya: “Lama-lama membosankan juga ya. Dari bangun sampai tidur lagi ngurus suami dan anak, enggak ada waktu buat main, beda dengan kuliah waktu aku masih aktif di organisasi jadi sering main kemana-mana. Teman-teman juga sudah kembali ke kampung halaman masing-masing.”
Kecuali satu orang, lanjut M, yakni S, mantan pacar yang dulu berhubungan dengannya selama lebih dari tiga tahun. Tak disangka pula, pada suatu sore S menghubunginya saat ingin membeli baju baru untuk keponakannya. Keduanya kemudian bertemu di sebuah mall, dan obrolan tentang masa lalu pun terjadi begitu saja.
Meski singkat, pertemuan itu cukup untuk membuka lagi memori M saat ia dan S sedang asyik-asyiknya berpacaran. M mengakui ada sejumlah kelebihan dalam diri S yang tak ada di suaminya. Meski hubungan keduanya dulu berakhir buruk dan menimbulkan trauma, S adalah pacar terbaik bagi M. Kenangan yang membuatnya mau untuk bertemu beberapa kali meski sudah tak ada urusan bisnis.
M tak yakin benar apa definisi selingkuh, tapi ia yakin kala itu sebagian hatinya jatuh lagi untuk S. Lebih jelas lagi, ia tak menceritakan pertemuan itu pada suaminya dan sempat beberapa kali melakukan kontak fisik dengan S atas nama “pelepas rindu.” Ia tak mau bercerita secara mendetail tentang kontak fisik seperti apa saja yang kala itu ia lakukan dengan S.
“Pokoknya hal yang tak boleh dilakukan seorang perempuan bersuami,” ungkapnya.
Hingga sekarang M tak pernah cerita soal petualangan kecilnya dengan lelaki lain kepada suami. Meski tak sampai berhubungan seksual, M merasa amat bersalah telah mengkhianati komitmennya sendiri hanya karena saat itu ia merasa jenuh.
“Sekarang kenapa aku paham kenapa dulu waktu pacaran S pernah sekali selingkuh. Juga kenapa beberapa teman perempuanku melakukan itu. Enggak logis memang, tapi coba deh kamu pacaran atau sekalian nikah dengan satu orang yang sama selama beberapa tahun saja. Pasti muncul pikiran-pikiran seperti apalagi jika kondisinya mendukung,” ungkapnya.
Dalam catatan Sexual Health Australia, kebosanan akibat pernikahan yang berlangsung amat sangat lama adalah salah satu penyebab utama mengapa perempuan memilih untuk selingkuh. Hubungan yang ada dianggap stagnan. Di sisi lain, perempuan punya hak untuk bahagia, kebaruan dalam hubungan sosial, butuh keintiman, dan “petualangan” sebagaimana dilakukan di masa muda dulu. Faktor-faktor ini diakui betul oleh M sebagai pendorong kenapa laki-laki lain tiba-tiba lebih menarik dari biasanya.
Jika memang merasa demikian, mengapa tak bercerai sekalian?
“Tak segampang itu. Selingkuh itu, kan, bukan hal yang sesakral perkawinan. Cuma buat fun. Sementara kamu ngorbanin anakmu juga, kan, nantinya. Banyak yang jadi pertaruhan,” katanya.
Perempuan, dalam pandangan M, sebenarnya tak terlalu mementingkan persoalan seksual saat selingkuh. Hal ini selaras dengan survei Christian Mingle dan JDate pada 2014. Rata-rata responden laki-laki berpikir selingkuh seksual itu lebih buruk, sedangkan rata-rata responden perempuan menganggap yang lebih buruk justru selingkuh perasaan.
Definisi perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan juga agak berbeda. Dalam menyikapi pernyataan “mencium dengan penuh hasrat orang lain adalah selingkuh,” hanya 75 persen responden laki-laki yang menyepakatinya, sedangkan persetujuan hingga 90 persen ada di sisi responden perempuan. Demikian pula dalam soal mengirim sexting. Hanya 51 persen responden laki-laki yang menyepakatinya sebagai selingkuh, sedangkan persetujuan kubu responden perempuan mencapai 68 persen.
Selama ini, ada stereotip bahwa laki-laki suka main hati. Data sejumlah riset mengungkapkan bahwa perempuan juga sama-sama dekat dengan perilaku menyimpang tersebut. Dalam riset situs kencan Victoria Milan (VM) dua tahun lalu, ditemukan fakta bahwa dalam level global, perempuan yang sudah menikah akan berselingkuh rata-rata setelah tujuh hingga delapan tahun usai mengikat janji suci bersama sang suami. Kasus M masuk kategori selingkuh di level ini.
Perempuan Irlandia adalah yang tercepat selingkuh, dengan waktu 3,6 tahun sejak pernikahan; sementara perempuan Swedia 4,1 tahun; dan Inggris 4,4 tahun. Di bawahnya berturut-turut ada Norwegia, Perancis, Denmark, Jerman, Portugal, Yunani, dan Italia. Dalam pemaparan lain, diketahui bahwa perempuan Spanyol selingkuh di sekitar usia 40-44 tahun, sementara di Amerika Serikat pada 35 tahun dan di Hungaria pada 45-49 tahun.
Sugurd Vedal, pencipta Victoria Milan, mengatakan di rilis persnya bahwa perempuan yang sudah menikah berselingkuh atas dasar berbagai alasan.
“Barangkali suami mereka tak memberi perhatian dan rasa hormat yang pantas didapat. Barangkali mereka masih cinta, tapi percik-percik kebahagiaan telah hilang. Barangkali keduanya bahkan saling berselingkuh satu sama lain untuk memenuhi hasrat biologis tapi keduanya masih berbagi perasaan yang sama,” jelasnya.
“Apapun alasannya, perselingkuhan bisa membantu perempuan yang telah menikah untuk menemukan kembali semangat hidup mereka, serta sensualitas mereka, dan hasrat lain yang terlewatkan. Semua itu adalah kebutuhan semua perempuan, termasuk hasrat seksual, tak peduli bahwa banyak faktor pembeda lain pada kaum hawa itu sendiri,” imbuhnya.
Dalam riset VM lain, 6.000 perempuan disurvei dengan teliti dan hasilnya menunjukkan bahwa 73 persen perselingkuhan yang para responden lakukan diakibatkan karena mereka terganggu dengan kebiasaan buruk pasangan laki-lakinya.
Komplain nomor satu (19 persen) adalah akibat sang suami tak humoris, kedua (16 persen) akibat tak mampu memahami dengan baik kemauan si perempuan, sedangkan yang ketiga (14 persen) adalah komplain tentang kemampuan buruk si suami di atas ranjang.
Berturut-turut di bawahnya adalah akibat si laki-laki tak memiliki tata krama yang baik (11 persen), tak peduli pada penampilan dan jorok (9 persen), tak sukses secara finansial (7 persen), tak perhatian kepada detail dan kewajiban sosial (5 persen), masih terlalu bergantung pada orang tua (5 persen), dan pelit (4 persen).
Sejumlah faktor di atas diakui M ada pada sang suami, tapi ia belajar untuk tak menjadikannya alasan untuk menyeleweng lagi atau berbuat lebih jauh lagi. Ia menyadari dirinya pun tak sempurna dan mempunyai sejumlah aspek yang buruk dan tak disenangi suaminya.
Salah satu cara terbaik untuk menghindari perselingkuhan, menurut sains, bisa diawali dengan memilih pasangan yang tak mengandung “gen selingkuh”, demikian dalam salah satu laporan The Huffington Post. Ciri-ciri lain dari orang yang berkemungkinan besar adalah seorang peselingkuh juga bisa dilihat dari seberapa narsisistik yang bersangkutan. Semakin ia narsisistik, semakin besar peluang selingkuhnya.
Latar belakang juga penting. Para pelaku selingkuh kerap kali berasal dari keluarga yang bercerai akibat skandal perselingkuhan juga. Tanda-tanda lainnya adalah mereka yang memalsukan orgasme, juga yang terlihat sangat “insecure” terhadap pasangannya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Maulida Sri Handayani