Menuju konten utama
HUT ke-74 RI

Sejarah Lomba Panjat Pinang yang Dilarang Wali Kota Langsa, Aceh

Sejarah lomba panjat pinang yang dilarang Wali Kota Langsa sebenarnya juga dikenal di berbagai belahan dunia.

Warga memberi semangat kepada peserta lomba panjat pinang di Desa Pusong, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (18/8/2017). ANTARA FOTO/Rahmad

tirto.id - Usman Abdullah selaku Wali Kota Langsa, Aceh, menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk tidak menggelar lomba panjat pinang dalam peringatan HUT ke-74 RI tahun ini. Alasannya, permainan itu warisan Belanda dan tidak ada nilai edukasinya. Sebenarnya, bagaimana sejarah panjat pinang di Indonesia?

Perintah tersebut terungkap melalui surat instruksi bernomor 450/2381/2019 tentang peringatan HUT Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 2019 yang ditujukan kepada seluruh pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), para kepala desa, dan para pimpinan BUMN/BUMD di wilayah Kota Langsa.

Poin ke-4 dalam surat instruksi yang dikeluarkan Wali Kota Langsa itu menyebutkan alasan mengapa lomba panjat pinang dilarang, yakni karena “secara historis merupakan peninggalan kolonial Belanda dan tidak ada nilai edukasinya.”

Lantas, benarkah lomba panjat pinang merupakan warisan kolonial yang dibawa penjajah Belanda ke Indonesia? Jika demikian adanya, sudah tepatkah alasan dan esensi pelarangan lomba panjat pinang hingga perlu dikeluarkan surat instruksi resmi?

Tradisi Panjat Pinang di Dunia

Panjat pinang atau dalam bahasa Inggris disebut greasy pole sudah dikenal di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Kala itu, orang Belanda sering menggelar panjat pinang untuk meramaikan acara, seperti pernikahan, kelahiran anak, dan sejenisnya.

Yang mengikuti perlombaan ini biasanya adalah orang-orang lokal (pribumi) dengan disediakan berbagai hadiah yang bisa didapatkan tentunya.

Tradisi panjat pinang sebenarnya juga dikenal di berbagai belahan bumi, tak hanya di Eropa atau Belanda saja. Bahkan, sejarah atau asal-usul panjat pinang pun ada beberapa versi dari masing-masing tempat yang mengenal permainan ini.

Rinto Jiang dalam artikelnya bertajuk “Korelasi Perlombaan Panjat Pinang di Indonesia dengan Budaya Tionghoa” yang dimuat di website Forum Budaya dan Sejarah Tionghoa (22 Januari 2012) mengungkapkan bahwa permainan ini sudah lama populer di Cina dengan nama qiang-gu, bahkan sejak zaman Dinasti Ming (1368-1644).

Era selanjutnya, yakni pada masa Dinasti Qing (1644-1911), qiang-gu alias panjat pinang ala Cina tidak diperbolehkan dimainkan lagi oleh otoritas kerajaan karena beberapa kali menimbulkan korban jiwa, misalnya karena peserta terjatuh dari ketinggian.

Pada 1895, Dinasti Qing menyerahkan Pulau Formosa atau yang kemudian menjadi Taiwan kepada Kekaisaran Jepang. Peralihan kekuasaan ini sempat membuat qiang-gu boleh dimainkan lagi. Bahkan, qiang-gu menjadi tradisi bagi masyarakat Taiwan dalam setiap perayaan Cioko atau Festival Hantu.

Tak hanya di Cina, permainan yang mirip dengan panjat pinang juga sudah dikenal di Malta pada Abad Pertengahan atau sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi.

Diwartakan Time of Malta (29 Agustus 2016), masyarakat di wilayah kepulauan yang terletak di Eropa bagian selatan ini memainkan panjat pinang, atau yang dalam istilah lokal disebut gostra, untuk meramaikan Festival Saint Julian.

Panjat pinang bahkan punya sejarah khusus di New York, Amerika Serikat. James Riker dalam Evacuation Day 1783 (1883) mengungkapkan kisah nyata yang mengawali dikenalnya permainan ini bagi masyarakat New York.

Riker memaparkan, legenda panjat pinang di New York bermula pada peristiwa 25 November 1783, yakni ketika seorang prajurit AS bernama John van Arsadale memanjat tiang bendera yang telah diminyaki oleh pasukan Inggris. Arsadale menaiki tiang licin itu untuk mengganti bendera Inggris atau Union Jack dengan Stars and Stripes atau bendera AS.

Pada tanggal itu, pasukan Inggris memang meninggalkan Kota New York setelah berakhirnya Perang Revolusi Amerika. Peristiwa bersejarah ini pun diperingati oleh warga New York dengan mengibarkan bendera setiap tahunnya.

Panjat pinang juga dikenal di berbagai belahan dunia lainnya dengan asal-usul, sebutan, dan tradisi masing-masing, seperti di Spanyol, Italia, Belanda, Rusia, Asia Selatan, hingga memasuki kawasan Asia Tenggara termasuk Filipina dan Indonesia.

Lantas, apakah permainan panjat pinang memang tidak ada nila edukasinya seperti yang tertulis dalam instruksi Wali Kota Langsa sehingga harus dilarang, selain dengan alasan warisan kolonial?

Dikutip dari Bibliografi Beranotasi: Hasil Penelitian Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang (2009) suntingan Nismawati Tarigan, permainan panjat pinang memang berfungsi sebagai hiburan dan diadakan pada waktu perayaan kemerdekaan Indonesia.

Setiap permainan tradisional mempunyai fungsi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, antara lain gotong-royong, demokrasi, pendidikan, ketangkasan, keuletan, sosial, seni, hingga sportivitas. Terlepas dari kontroversi maupun risiko yang bisa muncul, panjat pinang tentunya juga mengandung sisi positif ini.

Baca juga artikel terkait HUT KEMERDEKAAN RI atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Abdul Aziz