tirto.id - Kim Il-sung (1912-1994) sedang menapaki masa perjuangan ketika istrinya Kim Jong-suk (1917-1949) hamil anak pertamanya. Anak yang kemudian lahir pada 16 Februari 1941 itu lantas diberi nama Kim Jong-il. Situasi mereka makin sulit karena Perang Dunia II pecah tak lama kemudian.
Kim Il-sung adalah satu dari sekian banyak orang Korea yang melawan tentara fasis Jepang. Kim Il-sung bahkan rela jadi bagian dari Tentara Merah Uni Soviet.
Setelah 1945, perang pun usai. Kim Il-sung dan keluarganya lantas pulang ke tanah air mereka. Ketika Kim Jong-il tumbuh sebagai bocah, karir politik Kim Il-sung makin bersinar. Pada 1949, Kim Il-sung menjadi ketua Chosŏn Rodongdang (Partai Pekerja Korea) dan Menteri Pertama Korea Utara sejak 1948. Setelah 1972, barulah Kim Il-sung menjadi Presiden Korea Utara seumur hidup.
Pada akhir hidupnya, Kim Il-sung telah menjelma jadi sosok yang paling didewakan di Korea Utara. Setelah kematiannya pada 8 Juli 1994, jabatannya diteruskan oleh sang putra tertua: Kim Jong-il.
Sebagai putra pembesar komunis, Kim Jong-il tentu saja mendapat pendidikan terbaik. Pada 1960, dia mulai belajar di Universitas Kim Il-sung. Dia kemudian aktif pula di Partai Pekerja. Buku A Handbook of North Korea (1998) menyebut Jong-il mulai meniti karier politik di Bagian Organisasi Central Committee (CC) Partai Pekerja Korea Utara pada 1964.
Meski mulanya diberi jabatan yang tampak kurang mentereng, namun pelan-pelan kariernya akan naik. Bagaimana pun dia adalah anak ketua partai. Sebagaimana pemerintahan yang dikuasai oleh “dinasti” pada umumnya, dia jelas sudah digadang bakal menggantikan posisi sang ayah.
Benar saja, karier kemudian naik. Pada 1967, dia ditunjuk menjadi ketua seksi Departemen Propaganda dan Agitasi. Pada 1974, di usia sekira 33 tahun, Jong-il diangkat menjadi anggota Politbiro Partai Pekerja Korea Utara. Dia bahkan kerap diberi tugas untuk mewakili Korea Utara dalam forum internasional.
Peran Jong-il makin penting di tahun-tahun terakhir Kim Il-sung. Setidaknya sejak 25 Desember 1991, Jong-il adalah pemimpin tertinggi Chosŏn-inmin'gun (Tentara Rakyat Korea) yang merupakan sayap militer Partai Pekerja sekaligus Angkatan Perang Korea Utara. Lalu, pada 1993, dia diangkat jadi ketua Komisi Pertahanan Nasional.
Kim Il-sung akhirnya wafat pada 8 Juli 1994. Tak lama setelah itu, Jong-il diangkat jadi pemimpin besar Korea Utara dan sekretaris jenderal Partai Pekerja Korea Utara.
Masa Kepemimpinan
Kim Jong-il memimpin Korea Utara setelah Perang Dingin berakhir. Beberapa negara komunis penting bahkan sudah berubah. Ketika Uni Soviet runtuh dan Republik Rakyat Tiongkok mulai membuka diri kepada pasar dunia, Korea Utara tidak berubah.
Korea Utara di bawah kepemimpinan Kim Jong-il tidaklah beda jauh daripada Korea Utara di zaman ayahnya. Ketika banyak negara dan warga dunia saling terhubung melalui jaringan internet, Korea Utara sebagai negara tidak menginginkannya.
Hingga hari ini, Korea Utara tetap dikenal sebagai negara yang sangat tertutup pada dunia luar. Pemimpin Korea Utara memandang Perang Dingin masih ada dan Amerika Serikat diajarkan ke anak sekolah sebagai bahaya besar nan mengancam.
Seturut Encyclopedia Britannica, rezim Jong-il masih pula meneruskan ambisi nuklir ayahnya. Pada akhir Agustus 1998, Korea Utara melakukan uji coba rudal jarak jauh. Yang bikin gempar adalah rudal itu ditembakkan ke arah timur, di atas wilayah udara Jepang. Tindakan itu segera saja memicu kontroversi global.
Pada 2003, Korea Utara juga menarik diri Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Rezim Jong-il lantas membuka lagi operasi penelitian nuklir di daerah Yŏngbyŏn.
“Pada 2005, Korea Utara mengklaim memiliki senjata nuklir, meski kebenaran atas klaim itu belum terbukti,” sebut Britannica.
Meski begitu, tidak lantas berarti Jong-il hanya mengikuti atau meneruskan saja apa yang sudah dibangun sang ayah. Ada masanya Jong-il mengambil langkah berbeda dari ayahnya. Salah satunya, terkait dengan hubungan dengan Korea Selatan yang tidak harmonis sejak Perang Korea berkobar pada awal 1950-an.
Pada pertengahan dekade 1990-an, rezim Kim Jong-il mengambil sikap yang lebih lunak terhadap Korea Selatan. Pelunakan hubungan Korea Utara dan Korea Selatan juga terlihat dari pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara pada Juni 2000.
Pertemuan tingkat tinggi tersebut adalah yang pertama kalinya dilakukan oleh kedua negara. Termasuk pertama kalinya kunjungan presiden Korea Selatan Kim Dae-jung ke Korea Utara. Selain itu, Korea Utara juga membangun kembali hubungan diplomatik dengan beberapa negara Barat, meski tidak selalu berjalan lancar karena isu nuklir.
Di era Jong-il, Korea Utara dan Korea Selatan saling berinteraksi melalui Sunshine Policy. Dalam bidang ekonomi, misalnya, rezim Jong-il membuka negerinya untuk investasi dari Korea Selatan. Beberapa bantuan internasional pun diperbolehkan masuk ke Korea Utara.
Sayangnya, hubungan kedua negara kembali memanas kala Jong-il masih berkuasa. Namun, rusaknya hubungan itu bukan sepenuhnya disebabkan kebijakan Jong-il karena Lee Myung-bak, presiden Korea Selatan yang terpilih pada Desember 2007, juga dikenal keras terhadap Pyongyang. Pada Januari 2009, pemerintah Korea Utara mengumumkan bahwa mereka membatalkan semua perjanjian militer dan politik dengan Korea Selatan.
Reputasi Buruk
Dalam perspektif Barat, negara dan pemimpin komunis hampir pasti selalu dipandang negatif. Meski Perang Dingin telah berakhir kala Kim Jong-il mulai berkuasa, sosoknya toh tetap dilambari reputasi buruk.
Media-media Barat tak jarang menampilkan citra Jong-il yang bertolak belakang dengan gambaran ideologinya. The Sunday Telegraph (14/03/2010), misalnya, pernah menyebutnya sebagai pemimpin yang hidup mewah di tengah kemiskinan rakyatnya. Jong-il juga disebut punya simpanan harta sebesar US$4 milyar di sebuah bank di Luxemberg. Tak hanya itu, dia masih pula disebut sebagai penggemar adiboga dan anggur.
Meski tumbuh di negara komunis, Jong-il dikabarkan punya ketertarikan dengan budaya pop dari negara Barat. Jong-il disebut suka menonton film kartun Daffy Duck, James Bond, Rambo, Friday the 13th dan film laga Hongkong.
Tak habis itu, dia juga disebut menggemari film aksi yang dibintangi Jean-Claude van Damme. Jasper Becker dalam Rogue Regime: Kim Jong Il and the Looming Threat of North Korea (2005, hlm. 139) menyebut Jong-il menonton film-film van Damme untuk memahami dunia nyata.
Jika dibandingkan dengan ayahnya, masa kekuasaan Kim Jong-il terhitung tidak terlalu lama. Dia secara resmi jadi pemimpin tertinggi Korea Utara pada 1997 dan mengakhiri jabatannya pada 17 Desember 2011—tepat hari ini 10 tahun silam. Jong-il diduga tumbang kena serangan jantung. Setelah kematiannya, Kim Jong-un “naik takhta” menggantikannya sebagai pemimpin besar Korea Utara.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi