Menuju konten utama

Sejarah Hari Peringatan Pangkalan Brandan Lautan Api 13 Agustus

Sejarah Pangkalan Brandan Lautan Api dan hari peringatan 13 Agustus.

Sejarah Hari Peringatan Pangkalan Brandan Lautan Api 13 Agustus
Ilustrasi Kebakaran Hutan. foto/IStockphoto

tirto.id - Pangkalan Brandan merupakan sebuah kota kecil non-administratif, yang berada di Kabupaten Langkat bagian Utara, terletak di pesisir timur pantai Sumatera dan sekitar 60 km ke Utara Kota Binjai, dan 82 km sebelah Utara Kota Medan. Secara yuridiksi, kota ini masuk dalam wilayah Kesultanan Langkat.

Dalam sejarahnya, Langkat memang sudah dikenal sebagai daerah yang kaya karena industrialisasi di sektor perkebunan dan pertambangan minyak bumi sejak akhir abad ke-19.

Masa Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah merupakan puncak kejayaannya. Pertambangan minyak begitu menggeliat dan mampu menjadi sumber penghidupan bagi Kesultanan Langkat.

Dalam Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatra Timur (2006), disebutkan bahwa Sultan Abdul Aziz menyadari pentingnya sumber daya alam ini bagi keberlangsungan hajat masyarakat Langkat.

Akhirnya, dalam pengelolaannya, Sultan Abdul Aziz aktif menjalin beberapa kerja sama dengan pihak pengusaha asing, terutama pengusaha perkebunan karet, tembakau, tentunya pengusaha pertambangan minyak bumi.

Khusus untuk pengelolaan minyak bumi, Sultan membangun dua pangkalan, yakni pertambangan minyak bumi atau petroleum di Telaga Said, Pangkalan Brandan, dan Telaga Tunggal, Pangkalan Susu.

Dari pembangunan tersebut, Langkat kemudian menjelma menjadi Kesultanan Melayu paling kaya di Sumatera Timur. Pada masa itu, Pangkalan Brandan menjadi kota industri yang tersentuh modernisasi selain Medan dan Binjai.

Kendati demikian, Pangkalan Brandan sebagai salah satu area dengan aset vital, pernah mengalami beberapa kali gejolak. Gejolak pertama terjadi pada tahun 1942, ketika Belanda membakar tambang minyak Brandan, dengan alasan agar tidak diduduki Jepang.

Gejolak kedua terjadi pada tahun 1947, ketika para laskar rakyat juga membakar tambang minyak tersebut, dengan tujuan agar tidak dikuasai kembali oleh pihak Sekutu, yang kala itu datang kembali setelah masa kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa “Bumi Hangus” Pangkalan Brandan

Pada saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947, di wilayah Langkat terjadi perlawanan sengit terhadap pasukan Belanda. Bahkan, Komando Langkat Area pun dibentuk, yang selanjutnya menyatu dengan militer dan laskar rakyat guna menghimpun kekuatan yang lebih besar dan kuat dalam menghadapi pasukan Belanda.

Perlawanan sengit yang dilakukan militer dan laskar pun berujung pada pertempuran besar. Akibat pertempuran ini, akhirnya tepat pada hari ini pada 1947 lalu terjadi peristiwa “bumi hangus” Pangkalan Brandan.

Kini, tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai hari untuk memperingati peristiwa yang masyhur dikenal dengan “Pangkalan Brandan Lautan Api” tersebut.

Peristiwa bermula pada 22 Juli 1947, ketika Belanda mendarat di daerah Stabat dengan persenjataan lengkap dan pasukan pansernya. Salah satu tujuan Belanda mendarat di Langkat adalah untuk menguasai kembali daerah Pangkalan Brandan, yang merupakan sumber minyak.

Hanya dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai Stabat dan kemudian membangun benteng pertahanan serta melakukan aksi “bersih-bersih” di daerah Hinai dan Secanggang. Tidak berhenti sampai di situ, Belanda juga terus melakukan aksinya ke daerah Langkat Hulu dan Langkat Hilir.

Sebagaimana dicatat oleh Oka Abdul Hamid dalam Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri (2011), untuk membatasi gerakan Belanda tersebut, pada tanggal 24 Juli 1947 para pemuda, laskar dan TKR membentuk komando Langkat Area di Tanjung Pura dengan Komandonya Mayor Wiji Alfisah.

Melalui komando tersebut perlawanan dilakukan, yang berujung dengan kemenangan Komando Langkat Area, yang mana kota Stabat berhasil dikuasai oleh pasukan komando, walau hanya 6 jam.

Sementara itu, pada hari yang sama di Binjai, terjadi pertempuran yang tak seimbang karena laskar rakyat kalah jumlah. Akibatnya, para tentara pun mundur dan meninggalkan kota Binjai ke arah Bekiung.

Belanda yang mengetahui tempat pelarian tentara tidak tinggal diam. Hanya sehari setelahnya, pada 25 Juli 1947, Belanda dengan persenjataan lengkap bergerak ke arah Bekiung. Tanpa persiapan apa-apa, pasukan tentara pejuang dikepung kemudian ditembaki tanpa ampun. Korban jiwa berjatuhan.

Belanda terus bergerak berusaha merebut seluruh wilayah. Menurut Irini Dewi Wanti dalam Peristiwa Bumi Hangus Pangkalan Brandan (2011), karena khawatir kota akan jatuh ke tangan Belanda dan menjadi kantong-kantong musuh, sejumlah wilayah--dimulai dari Kuala dan Tanjung Pura--melakukan aksi “bumi-hanguskan” kota.

Mengetahui Belanda bergerak ke arah Pangkalan Brandan, maka pada 6 Agustus 1947 diadakan pertemuan untuk menyatukan seluruh kekuatan di bawah satu komando, yakni Komando Langkat Area.

Komando ini sebagai benteng terakhir untuk menghalau Belanda memasuki Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, dua tambang minyak incaran Belanda.

Mengingat Belanda akan datang dengan pasukan yang banyak dan melakukan serangan besar-besaran ke Pangkalan Brandan, komando mengeluarkan sebuah perintah untuk membumi-hanguskan Pangkalan Brandan.

Ide tersebut mendapat dukungan dari organisasi politik, badan perjuangan, dan rakyat Teluk Haru, mengingat sumber minyak Pangkalan Brandan merupakan incaran utama Belanda.

Pada 12 Agustus 1947 dikeluarkan seruan kepada rakyat agar mengosongkan daerah Pangkalan Brandan sejauh radius 3 kilometer dengan menggunakan kereta api dan truk angkutan yang disediakan oleh pasukan tentara.

Akhirnya, tepat pada 13 Agustus 1947 pukul 03.00 pagi, saat orang-orang sedang tidur nyenyak, tambang minyak dibakar, yang dimulai dengan tangki-tangki raksasa, fondasi penyulingan minyak, bangunan kilang, dan gedung perusahaan tambang minyak.

Dari aksi pembakaran tersebut asap hitam mengepul. Api mulai menjalar ke pelabuhan dan barak tentara hingga pagi hari. Kepulan asap membumbung hingga 5.000 kaki ke udara yang disertai rentetan peluru Belanda untuk menghabisi tentara.

Kendati demikian, usaha Belanda untuk menguasai Pangkalan Brandan tetap gagal, karena sudah hancur lebur dibumi-hanguskan oleh para laskar.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Ahmad Efendi

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ahmad Efendi
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Dipna Videlia Putsanra