Menuju konten utama

Saling Ancam 'Buka Dapur' Demokrat Vs Gerindra Untungkan Publik

Pertengkaran elite seperti yang ditunjukkan politikus Gerindra dan Demokrat sebenarnya baik agar publik tahu apa yang ada "di balik layar", yang tidak mereka bicarakan ke media massa.

Saling Ancam 'Buka Dapur' Demokrat Vs Gerindra Untungkan Publik
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) bertemu Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) saat melayat di rumah duka, Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Senin (3/6/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

tirto.id - Pertengkaran antara politikus Partai Gerindra dan Partai Demokrat semakin memanas di media sosial. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan mengancam 'membuka kartu' masing-masing demi menjatuhkan lawan. Dan itu sebenarnya baik untuk publik, kata pengamat politik.

Adudebat berawal saat Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra, takziah di Cikeas atas meninggalnya almarhumah Ani Yudhoyono. Di sana capres nomor urut 02 ini membahas perihal politik: pilihan Ani Yudhoyono saat Pilpres 2014 dan 2019.

Prabowo lantas dikecam banyak pihak--termasuk oleh suami Ani yang juga Ketua Umum Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)--karena membicarakan sesuatu yang dianggap tidak etis, tidak sesuai momen, dan tempat. SBY bahkan meminta wartawan yang datang untuk tidak memberitakan pernyataan Prabowo.

Dengan nada membela, Wasekjen Gerindra Andre Rosiade mengatakan di Twitter bahwa ucapan Prabowo mengenai pilihan politik Ani Yudhoyono merupakan arahan langsung dari SBY. Andre seperti "membuka kartu" SBY.

"Pak @prabowo di-bully tentang pilihan Bu Ani di Pilpres 2014 dan 2019, padahal info ini didapatkan langsung oleh pak Prabowo dari Pak @SBYudhoyono. Dan pak SBY sendiri yang minta agar Pak Prabowo testimoni tentang kebaikan Bu Ani di depan wartawan waktu mau pulang," kata Andre.

"Yang disampaikan oleh Pak @prabowo di depan wartawan, persis yang diucapkan Pak @SBYudhoyono ke pak Prabowo. Enggak ada lebihkan dan enggak ada yang dikurangi. Silahkan publik menilai sendiri," lanjutnya.

Tak lama setelah itu, Andre merasa mendapat ancaman dari Kepala Divisi Hukum dan Advokasi Demokrat Ferdinand Hutahaean. Andre mengklaim, Ferdinand mengancam akan membuka percakapan yang sesungguhnya antara Prabowo dan SBY.

Andre merespons itu dengan menantang balik Ferdinand.

"Menjawab ancaman saudara @FerdinandHaean2 yang akan membongkar percakapan Pak @prabowo dengan Pak @SBYudhoyono di Puri Cikeas. Silahkan saja dibongkar, enggak usah digertak-gertak. Saya tegaskan percakapan Pak Prabowo sangat konstitusional dan menghormati Pak SBY," katanya.

"Menarik dalam delapan bulan kampanye, Bung @FerdinandHaean2 selalu hadir di acara Pak @prabowo dan memuji-muji Pak Prabowo. Saran saya kalau mau keluar jangan cari pembenaran. Kalau mau keluar silakan saja. Kami ucapkan selamat jalan, semoga mendapatkan yang diinginkan di kubu sebelah," lanjutnya.

Wajar & Baik untuk Publik

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menilai pertengkaran seperti itu, dalam dunia politik, adalah hal lumrah. Apalagi di Indonesia menganut sistem presidensial-multipartai yang memungkinkan banyak partai dengan ragam visi dan misi berada di dalam satu koalisi yang sama, kata Adi.

"Sistem politik kita memang memungkinkan terjadi koalisi, namun bukan teman abadi, sehingga bisa mengkritik dari dalam jika ada perbedaan pendapat. Contoh tahun 2004 dan 2009 saja, koalisi SBY sering mengkritik, terutama urusan kebijakan. BBM naik misalnya," kata Adi saat dihubungi reporter Tirto, Senin (10/6/2019).

Pernyataan bahwa sulit mencari "teman abadi" dalam politik disebabkan karena dalam sistem yang seperti ini, koalisi yang dibentuk sering tidak matang, kerap terburu-buru, dan jauh dari pertimbangan ideologis, kata Adi. Ini berbeda dengan, misalnya, sistem politik di Amerika Serikat yang hanya terdapat kubu Demokrat dan Republikan--yang jelas perbedaan garis ideologinya.

"Keadaan memang memaksa Demokrat gabung koalisi, karena koalisi itu diwajibkan oleh UU. Kalau tidak gabung akan dilarang ikut Pemilu 2024," katanya.

Adi menambahkan, ribut-ribut dua partai ini juga disebabkan karena keduanya memang sudah terlibat cekcok sejak lama--misalnya pada 2014, ketika dukungan kader Demorkat terpecah, antara mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa. Adu mulut fungsionaris dua partai ini seperti klimaks saja.

Pengajar politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan ribut-ribut keduanya tak substansial. Karena itu tak ada gunanya buat publik.

"Gerindra dan Demokrat bukan adu gagasan itu, bukan adu argumen, tapi saling menyerang, saling menjelekkan. Adu gagasan itu bukan saling menjelekkan dan menjatuhkan, tapi ada dialektika intelektual. Ada etika yang harus dijaga. Dan ada objektivitas yang diangkat," kata Ujang kepada reporter Tirto.

Namun pendapat berbeda disampaikan Direktur Eksutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo. Dia mengatakan terlepas dari pernyataan-pernyataan politikus mestinya "santun dan beradab" agar dicontoh masyarakat, apa yang dipertontontan dua politikus ini punya efek positif bagi publik.

"Dalam konteks saling buka percakapan Demokrat dan Gerindra, saya kira jika itu sebagai bentuk klarifikasi [ada] positif juga. Masing-masing membuka omongan klarifikasi ke publik, agar publik tahu dan paham apa yang dibicarakan para elite politik. Publik juga bisa menilai apa saja perbincangan antar elite yang akan memimpin mereka," katanya kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino