Menuju konten utama

Sad Beige: Tren Warna Netral yang Redupkan Keceriaan Anak?

Palet warna beige atau krem jadi pilihan orang tua masa kini untuk pakaian, aksesori, dan perabot anak. Sejauh mana dampaknya pada tumbuh kembang anak?

Sad Beige: Tren Warna Netral yang Redupkan Keceriaan Anak?
Header diajeng Sad Beige. tirto.id/Quita

tirto.id - Apabila kamu cukup rajin mengikuti tren dunia parenting di media sosial, mungkin kamu sempat mengikuti topik populer tentang SadBeige Mom dan Sad Beige Parenting.

Tren ini bermula dari kalangan momfluencer. Palet warna beige, sad beige, atau krem menjadi preferensi utama mereka saat memilihkan warna pakaian, aksesori, dan perabot untuk bayi dan anak di rumah.

Kelompok warna beige merujuk pada spektrum warna krem dan cokelat. Warna-warna dalam kategori beige umumnya lembut dan kalem, pada waktu sama juga melankolis yang mengingatkan pada perasaan teduh, rindu, sayu, atau sendu.

Tak butuh waktu lama, popularitas warna beige meledak. Banyak pengguna media sosial yang mengikuti tren ini. Muncullah sebutan Beige Mom atau SadBeige Mom bagi para pelakunya.

Selain memilihkan warna beige untuk pakaian bayi dan anak, ada pula ibu yang sampai mengecat ulang mainan anak agar menjadi lebih terkoordinasi dengan warna interior rumah.

Hal ini pernah dilakukan oleh momfluencer Nattie Jo Powell.

@nattiejopo

Let’s give my toddler’s Step 2 my first christmas tree a DIY makeover 🎄👏🏼🤍 What do you think?? #DIY#step2christmas#myfirstchristmastree#diyproject#toddlerchristmastree#step2toys#toddlermom#diymom#toddlerchristmas#momsoftiktok

♬ Christmas Is Coming - DM Production

Di balik kesan cantik yang ditimbulkan dari warna beige, tren pemakaian warna ini juga menuai kritik.

Menurut konten kreator Hayley DeRoche (36), fenomena sad beige menunjukkan bagaimana orang tua berusaha mempertahankan estetika di rumah mereka sekaligus mempertahankan otoritasnya pada anak-anak.

Pemilik akun media sosial @officialsadbeige ini suka membuat video parodi iklan produk anak-anak yang dari hari ke hari semakin banyak yang berwarna beige.

Di mata DeRoche, sad beige mencakup segala hal bernuansa netral yang seolah-olah telah kehilangan unsur keceriaannya. Padahal, keceriaan merupakan esensi utama dalam kehidupan anak-anak.

“Aku banyak menyoroti penggambaran iklan mainan dan pakaian anak-anak yang kelihatannya muram dan suram, seakan-akan dengan mainan atau pakaian tersebut anak-anak berubah menjadi cendekiawan kecil ala Proust, tanpa kebahagiaan, dengan bibir sayu dan tawa yang sekadar menjadi kenangan jauh," demikian DeRoche sampaikan pada TODAY.com.

DeRoche mengamati, semakin mahal suatu barang, iklan yang mempromosikan produk tersebut terkesan semakin muram.

Sebagai contoh, iklan yang menampilkan gadis kecil bermuka sedih berdiri di ladang gandum mengenakan gaun petani berwarna beige, dengan topi yang serasi dan tatapan mata kosong. Harga pakaiannya tergolong mahal, bisa mencapai 200 USD atau lebih dari Rp3 juta.

Data dari portal online shopping portal Etsy tahun 2022 menunjukkan bahwa pencarian untuk pakaian anak beige melonjak 67 persen dari tahun sebelumnya.

Prokontra pola asuh dengan warna sad beige ini juga memantik pertanyaan menarik lain. Apakah warna tertentu, atau ketiadaan warna tertentu, dapat berdampak pada perkembangan anak?

Melansir artikel dari Cleveland Clinic, pola asuh orang tua yang suka memilihkan warna sad beige untuk anak-anaknya tidak akan mengganggu perkembangan visual anak, menghambat kreativitasnya, atau membuat hidup mereka menjadi kurang menyenangkan.

“Orang tua di seluruh dunia membesarkan anak mereka dengan mengenalkan palet warna yang berbeda-beda, dan anak-anak ini tumbuh menjadi luar biasa,” ujar spesialis anak Lisa Diard, MD.

Senada disampaikan oleh Sani Budiantini, S.Psi, Psikolog, Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani.

"Biasanya, bayi identik dengan warna pink atau biru muda. Ketika masuk usia balita, orang tua akan memakaikan baju-baju warna terang, merah, biru, kuning,” kata Sani.

Menurut Sani, tidak ada yang perlu dipermasalahkan dengan keputusan orang tua untuk memilih warna beige atau warna-warna yang tidak terlalu tajam atau kontras untuk anak-anaknya.

“Orang tua zaman sekarang cukup kreatif dan mencoba hal yang baru. Tujuan mereka memilih warna kalem biasanya agar tidak kelihatan mainstream, karena tidak mau seperti anak-anak yang lain.”

“Meski begitu,” tegas Sani, “warna-warna menyala sebenarnya memang lebih eye catching untuk menstimulasi visual anak."

Salah satu penelitian lawas, dilakukan oleh Boyatzis dan Varghese pada 1994, melibatkan 60 anak-anak berusia 5 dan 6,5 tahun. Mereka ditanya tentang warna kesukaan dan perasaannya tentang warna tersebut.

Anak-anak ini dapat mengekspresikan secara verbal emosi yang mereka rasakan terhadap warna-warna tersebut.

Sebanyak 69 persen emosi yang diungkapkan bersifat positif, merujuk pada perasaan bahagia dan semangat.

Reaksi positif berkaitan dengan warna-warna cerah (merah muda, biru, merah), sedangkan reaksi negatif muncul dari warna-warna gelap (cokelat, hitam, abu-abu).

Di balik prokontra yang ada, kita tidak perlu cemas berlebihan terkait pengaruh warna netral atau warna cerah pada anak.

Melansir CNN, Dr. Jennifer Poon, profesor pediatri di Medical College of Georgia, Augusta University, menjelaskan bahwa bayi belum dapat melihat warna sepenuhnya sampai berusia beberapa bulan.

Artinya, bayi baru lahir cenderung lebih tertarik pada objek yang memiliki kontras tinggi, seperti hitam dan putih, atau gelap dan terang.

Dr. Roberta Golinkoff dari School of Education di University of Delaware menimpali, "Setiap orang bebas mendekorasi rumahnya sesuka hati—pink, biru, beige. Hal ini tidak akan membahayakan anak, sama sekali tidak, karena anak akan tetap melihat berbagai macam warna di luar rumah… secara alami.”

Namun, Golinkoff mengingatkan, anak kelak memiliki preferensi sendiri seiring bertambah usia. Artinya, orang tua perlu menemukan keseimbangan antara estetika personal dan keinginan anak.

Di satu sisi, anak-anak yang diperkenalkan dengan lebih banyak spektrum warna cenderung mendapatkan lebih banyak kesempatan belajar.

Misalnya, anak dapat menunjuk objek berwarna biru atau kuning. Dari situ, orang tua dapat memperluas topik pembicaraan dengan anak terkait warna dan mengajukan pertanyaan tentang perasaan anak setelah mengenal ragam warna yang ada.

“Hal itu justru memberi lebih banyak kesempatan pada orang tua untuk berbincang dengan anak mereka," jelas Golinkoff.

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Indah Febryyani, mahasiswi program magister Early Childhood Education di Monash University, Australia.

"Dengan memberikan pilihan warna dalam baju dan mainan anak, kita membantu menstimulasi perkembangan bahasanya. Anak dapat menunjuk dan mengasosiasikan benda sekitar dengan warna yang ia ketahui.”

“Tentu kurang optimal jika warna di dalam rumah hanya tersedia palet warna beige,” jelas Indah, “Meskipun anak punya kesempatan mengeksplorasi warna dari kegiatan outdoor, tetapi menambahkan beberapa warna di dalam rumah juga akan membantu stimulasi anak."

Indah menekankan, anak bukan miniatur orang tua. Mereka perlu diberikan kesempatan untuk memilih dan menentukan mainan yang ia suka tanpa dibatasi spektrum warna tertentu.

"Apa yang kita anggap bagus dan estetik bagi orang tua, belum tentu disukai anak. Dengan memberikan ruang pada anak untuk mengeskpesikan ketertarikannya, orang tua juga membangun rasa kepercayaan diri anak, sekaligus membangun kepercayaan antara orang tua dan anak. Anak boleh berbeda selera dengan orang tuanya."

Indah, yang juga peneliti di Eduplay Early Childhood Learning and Research Center berpendapat, “Dalam tren parenting ini, orang tua terobsesi agar mainan anak terlihat estetik, jadi persepsi orang tua terhadap mainan adalah sebagi dekorasi atau pajangan. Padahal fungsi mainan pada akhirnya adalah untuk dimainkan oleh anak.”

Indah menyayangkan orang tua yang mengecat ulang sendiri mainan anaknya dengan warna beige. Bukan tidak mungkin, bahan cat yang digunakan dapat memberikan efek berbahaya bagi kesehatan.

Seperti kita ketahui, mainan anak dibuat dengan standar khusus dan menggunakan bahan-bahan kimia tidak beracun. Pertimbangan ini penting karena kebiasaan anak kecil memasukkan mainan ke dalam mulut.

Psikolog Sani menambahkan, "Memilih warna untuk dekorasi kamar, pakaian, dan mainan bagi anak itu penting. Namun lebih penting adalah memperhatikan material dan keamanannya.”

“Pilihlah benda yang tidak tajam, tidak meleleh, dan tidak mengandung bahan beracun. Pakaian juga sama, lebih baik memilih bahan yang lembut dan menyerap keringat."

"Dalam parenting, memilih warna untuk anak bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Namun, sebagai orang tua perlu memenuhi anak dengan kasih sayang, perhatian, attachment, eye contact, dan kebutuhan emosional anak lainnya," pungkas Sani.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Sekar Kinasih