tirto.id - Jumat subuh, 20 Januari 2017, api melahap Pasar Senen, Jakarta Pusat. Asap tebal mengepul di atas pasar yang sudah berdiri sejak 1730-an. Sebanyak 40 mobil pemadam kebakaran dikerahkan. Namun, api yang melahap blok I dan II baru padam 20 jam kemudian.
Ini bukan kali pertama Pasar Senen terbakar. Dua tahun lalu, pasar ini juga dilahap si jago merah. Dalam 43 tahun terakhir, api telah berkali-kali melahap Pasar Senen. Kejadian musibah semacam ini tak ada yang bisa menduga dan merugikan para pedagang atau orang-orang yang bergantung dengan geliat ekonomi di Pasar Senen.
Nando, merantau dari Sumatera Barat dan bekerja di salah satu toko di Pasar Senen, tepatnya di lantai 3. Pemilik toko tempat ia bekerja juga orang Minang. Tokonya biasa buka jam 9 pagi sampai jam 6 sore. Mereka menjual pakaian bekas. Jadi, ketika subuh, saat pasar mulai terbakar, dia dan rekan kerjanya belum berada di Pasar Senen.
Ketika ia mendapat kabar adanya kebakaran, Nando segera menuju pasar, berharap bisa menyelamatkan barang-barang yang memungkinkan untuk diselamatkan. Nihil, api sudah terlanjur melahap habis barang dagangan mereka. Tak tersisa sepotong pakaian pun. Sialnya, semua stok barang-barang disimpan di toko itu dan tak diasuransikan.
Pasar, memang termasuk jenis bangunan yang kerap dihindari oleh perusahaan asuransi. Ini karena risikonya sangat besar termasuk soal kebakaran. Asuransi kebakaran mencakup bangunan hingga barang dagangan. Khusus bangunan Pasar Senen, Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono menjelaskan pasar yang dikelola oleh PT Pembangunan Jaya itu telah diasuransikan dengan nilai Rp116,9 miliar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum, Julian Noor mengamini ini. Kondisi bangunan yang tidak terlalu bagus, kedisiplinan pedagang yang rendah, serta lingkungan bangunan yang sulit dimonitor membuat risiko tak bisa dikontrol, terutama pasar tradisional.
Menurut Julian, loss ratio pasar tradisional bisa melebihi 100 persen. Ini artinya, klaim yang dibayarkan jauh melampaui total premi dari seluruh pasar yang diasuransikan. Itu sebabnya perusahaan asuransi enggan memberikan perlindungan.
“Secara bisnis, ia jauh dari menguntungkan, dan bagaimanapun, perusahaan asuransi perlu berhati-hati memberikan perlindungan,” kata Julian kepada Tirto, Selasa (24/1/2017).
Seolah seperti lingkaran setan, pihak bank juga tidak berani memberikan pinjaman kepada para pedagang di pasar jika mereka tak memiliki asuransi. Hal ini dikarenakan, jika terjadi risiko kebakaran, bisnis mereka akan terganggu, dengan begitu mereka tentu tak bisa membayar cicilan pinjaman bank.
Kondisi seperti ini tentu mengganggu perekonomian dan sudah menjadi persoalan menahun. Sebuah Konsorsium Asuransi Risiko Khusus (KARK), dibentuk pada 1979, ada 40 perusahaan asuransi dan reasuransi yang tergabung dari total 90 perusahaan pada saat itu.
Anggota KARK tak harus perusahaan asuransi umum dalam negeri. Perusahaan patungan atau joint venture juga berhak menjadi anggota. Berdasarkan situs resmi KARK, saat ini ada 63 perusahaan asuransi dan reasuransi yang tercatat sebagai anggota konsorsium.
Menurut Julian, konsorsium ini adalah solusi ketika perusahaan asuransi tak sanggup menanggung risiko asuransi pada pasar sendirian. Dengan adanya konsorsium, perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota, membagi risikonya. Jadi, ketika terjadi klaim, beban klaim mereka tak terlalu besar.
Dalam polis yang dikeluarkan anggota KARK, pasar didefinisikan sebagai tempat terbuka untuk umum yang sebagian atau seluruh tanahnya dimiliki oleh pemerintah dan pada lokasi tersebut berdiri bangunan yang seluruhnya atau sebagian beratap yang diperuntukkan bagi pedagang-pedagang yang secara teratur dan langsung memperdagangkan barang atau jasa.
Untuk menjaga agar klaim tak menjebol perolehan premi, KARK juga menerapkan prinsip kehati-hatian. Ada beberapa pengecualian yang dicantumkan dalam polisnya. Bangunan pasar yang nilainya Rp10 miliar atau lebih tetapi tak memiliki alat pemadam kebakaran yang sesuai ketentuan, maka tak akan dibayarkan klaimnya.
Selain itu, bangunan yang memiliki rasio klaim di atas 200 persen atau telah mengalami empat kali klaim kebakaran dalam tiga tahun terakhir juga tak bisa mendapat perlindungan asuransi.
Beruntungnya, Pasar Senen yang terbakar pekan lalu masih masuk dalam perlindungan asuransi, meskipun tak seluruh pedagang mengasuransikan barang dagangannya. Yasril Rasyid, Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia mengatakan beberapa pedagang Pasar Senen mengasuransikan barang dagangannya melalui perusahaan asuransi, lalu kemudian direasuransikan ke KARK.
Tercatat hanya 12 polis yang direasuransikan ke KARK. “12 polis itu estimasi kerugiannya Rp4,3 miliar,” kata Yasril, Selasa (24/1). Namun, angka tersebut belum final, Yasril mengatakan pihaknya masih menunggu laporan perkembangan penilaian.
Asuransi kebakaran atau asuransi properti untuk barang dagangan memang sudah sepantasnya menjadi pilihan para pedagang untuk berjaga-jaga dari risiko terburuk. Pedagang pasar butuh juga pembinaan dari pemerintah soal pentingnya asuransi ini. Yang tak kalah pentingnya, bagaimana pemerintah daerah mengkondisikan pasar-pasar tradisional yang ada, agar bisa layak dijamin oleh perusahaan asuransi, sehingga barang dagangan pun bisa terpayungi dengan asuransi.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani