tirto.id - Rusdi Mathari tidak seperti pemimpin media yang pernah saya kenal. Saya bertemu dengannya di siang bulan Februari 2014 yang panas. Ia memakai celana jeans berwarna biru, dengan kemeja berlengan panjang yang digulung hingga siku. Yang mencolok, rambutnya gondrong hingga bahu. Senyumnya lebar siang itu.
"Apakabare Puthut?"
Yang ia tanyakan adalah Puthut EA, kawan sekaligus atasan saya di kantor Yogyakarta sebelum saya bertemu dengan Rusdi untuk wawancara kerja. Puthut pula yang memberi tahu saya bahwa Cak Rusdi—sapaan semua orang pada lelaki berdarah Madura ini—bahwa kantornya, Geo Times, sedang membuka lowongan. Dua pemimpinnya adalah jurnalis senior. Selain Rusdi yang akan menggawangi berita online, Farid Gaban menjadi Pemimpin Redaksi majalah cetak.
Saya melamar, dan tak butuh waktu lama bagi Cak Rusdi untuk membalasnya. "Nuran yang baik, terimakasih ya. Insya Allah aku teruskan ke bagian SDM. Mudah-mudahan sesuai harapanmu. Suwun."
Maka di Februari 2014 itu saya bertemu dengan Cak Rusdi untuk kali pertama di kantor Geo Times yang terletak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Setelah ngobrol soal Puthut, Yogyakarta, dan penulisan, sampailah kami pada obrolan personal. Ini yang membuat saya makin yakin bahwa pria kelahiran Situbondo memang bukan pemimpin media biasa.
Kami bicara soal seks, musik rock—ia penggemar God Bless dan band-band rock 80-an seperti Motley Crue dan Guns N Roses—serta pengalaman masa muda. Cak Rusdi selalu menceritakan pengalaman mudanya dengan bahagia. Siapapun yang menjalani masa mudanya seperti Cak Rusdi, rasa-rasanya pantas untuk berbahagia dan menuturkannya dengan semangat.
Rusdi lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 12 Oktober 1967. Ia tumbuh di keluarga yang penuh warna. Dalam tulisan berjudul "Moyang", ia mengisahkan bahwa banyak saudara ibunya sempat menolak bapaknya. Alasannya streotipikal: orang Madura konon menakutkan, kasar, dan suka berkelahi.
"Namun Mbah Kakung dan Mbah Putri menerima lamaran Bapak. Mbah Kakung menikahkan Ibu dengan Bapak beberapa bulan sebelum peristiwa berdarah 1965," tulisnya.
Dari pihak Bapak, Rusdi mewarisi darah Madura dan Cina. Nenek Rusdi dari pihak Bapak adalah keturunan Cina yang menetap di Pulau Kangean, pulau kecil yang berada di atas Bali. Mereka, tutur Rusdi, adalah Bangsa Bajo yang berumah di laut.
Bapak Cak Rusdi adalah wartawan Sinar Harapan sekaligus guru Bahasa Inggris yang mengajar beberapa anak orang kaya di Situbondo, kebanyakan adalah anak para pedagang keturunan Cina. Rusdi bersahabat dengan mereka semua. Ribut-ribut perkara ras, menurut Rusdi, adalah hal bodoh belaka.
"Banyak orang berpikir kalau Cina itu brengsek, sombong, eksklusif. Itu anggapan ngawur. Di kampungku, Ran, orang Cina ya sama saja kayak kita semua. Mereka ngomong bahasa Madura, ada yang jual rawon. Sahabatku satu gengku juga ada yang Cina," kata Cak Rusdi pada saya.
Kehidupan pekat kisah menarik memang selalu lekat dengan Rusdi. Setelah melewati masa SMA dengan pacaran, berkelahi, bergabung dengan geng, juga breakdance; Rusdi pergi ke Malang untuk kuliah. Sebelumnya, ia sempat diterima di Institut Pertanian Bogor lewat jalur tanpa tes karena nilai raport SMA yang bagus.
Itu adalah rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Nyaris tak ada orang dekatnya yang tahu bahwa Cak Rusdi, dengan segala citra bandel dan rock 'n roll-nya, pernah diterima masuk kampus tanpa tes. Hingga suatu hari ia keceplosan bercerita di depan saya dan Puthut. Kami berdua tertawa hingga sakit perut, terus-terusan meledek Cak Rusdi hingga mukanya memerah. Padahal tak ada yang salah dari diterima masuk tanpa tes. Namun mungkin, baginya, masuk kapus tanpa tes amat tidak rock n roll.
Ia tak mengambil pilihan itu. Ia memilih pergi ke Malang.
Di Malang, Rusdi yang mengambil jurusan Teknik Sipil menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Ia menjalani kehidupan dengan lempeng belaka. Kalau ada uang, beli minuman keras. Kalau ada konser, nonton. Juga dekat dengan kawan perempuan. Namun demikian, ia tetap menyempatkan diri untuk membaca dan menulis.
"Aku enggak kayak mereka, Ran," katanya sambil menunjuk beberapa kolega di Geo Times. "Mereka itu aktivis kampus, debat, diskusi berat, mengumandangkan revolusi. Aku cuma mabuk, gelut, pacaran, nonton konser. Aku mahasiswa biasa-biasa saja."
Rusdi tak sempat menyelesaikan kuliahnya. Ini adalah momen yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Suatu hari, ia dan beberapa orang kawan yang baru saja minum-minum, pulang ke kosan. Rusdi yang merasa kepalanya seperti digantung batu berukuran besar, memutuskan untuk langsung tidur. Yang tak diketahuinya, beberapa orang kawannya membawa seorang perempuan.
Beberapa penduduk kemudian menggerebek mereka. Rusdi yang sedang tidur turut kena ciduk. Ia bingung, tentu saja. Mereka dibawa ke kantor polisi. Seorang wartawan kemudian menulis kejadian itu dengan bombastis, bahwa sejumlah mahasiswa perantauan pesta seks, alkohol, dan narkoba. Rusdi marah besar, sebab itu kabar bohong. Ia mencari wartawan itu dan menantangnya berkelahi. Mereka berkelahi, dan Rusdi berhasil menghantam wartawan itu hingga tersuruk ke selokan.
"Wong lanang iku kadang perlu gelut, Ran. Harga diri itu harus dibela," katanya.
Rusdi lalu minggat dari kampus dan merantau ke Jakarta. Ia memutuskan jadi wartawan yang memegang teguh prinsip. Ia pantang menulis berita bohong dan terburu-buru, seperti wartawan yang ia gebuk.
Setelah empat tahun bekerja di Suara Pembaruan, Rusdi kemudian menjadi redaktur di InfoBank. Di majalah tersebut, Rusdi pernah menerima amplop berisi segepok uang. Ia ngamuk dan melemparkan uang itu ke muka sang pemberi amplop.
Ia kemudian bergabung dengan Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2001. Di sana ia bertemu dengan seorang pria yang ia anggap sebagai orangtua sekaligus gurunya, Bambang Bujono.
Kariernya berlanjut saat menjadi redaktur majalah Trust, redaktur pelaksana Koran Jakarta, dan kemudian turut mendirikan Berita Satu. Ketika Berita Satu dibeli Lippo, Rusdi mendapatkan dana segar. Ia memutuskan untuk membeli rumah di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.
"Ini sebenarnya telat banget. Dulu aku terlalu sering bersenang-senang dan lupa menabung, apalagi membeli rumah. Makanya uang dari Berita Satu kemudian aku belikan rumah," ujar Rusdi, sembari mengingatkan agar saya dan wartawan-wartawan muda tak abai mengatur keuangan dengan baik.
Sebagai seorang wartawan, Rusdi bisa dibilang old school. Ia pernah mengatakan itu sendiri pada saya. Old school dalam artian, ia tak pernah terburu-buru menulis sesuatu. Ia kerap memeram ide tulisan, bahan tulisan, dan baru benar-benar ditulis ketika itu matang betul. Ia sering bercanda bahwa wartawan tua seperti dirinya, akan tersisih di zaman media online yang mengutamakan kecepatan. Tapi ia lebih dari mampu menulis apik dengan cepat. Untuk itu, ia punya medium lain: status Facebook dan blog yang ia beri nama Rusdi Goblog.
Blog itu menarik karena tagline-nya adalah: karena jurnalistik bukan monopoli wartawan. Sama seperti ekonomi yang terlalu penting untuk diserahkan kepada begawan ekonom, jurnalisme juga terlalu penting jika hanya boleh dimonopoli oleh wartawan. Rusdi melawan itu semua.
Sebagai wartawan, ia tak cuma membicarakan hal besar. Tentu, ia menulis banyak laporan investigasi apik. Mulai dari perkara ekspansi sawit, hingga konflik bermotif agama. Tapi Cak Rusdi selalu suka dengan tema-tema kecil yang kerap luput dari pengamatan orang banyak.
Ia sering menugaskan saya untuk ke stasiun kereta. Untuk apa? Coba kamu tanya para copet di sana, bagaimana mereka melanjutkan pekerjaan kalau mau masuk stasiun harus bayar. Begitu katanya suatu ketika. Atau, katanya, coba kamu wawancara para tukang loak di pasar yang jualannya entah apa, dan entah apa ada yang beli atau enggak.
Sebagai anak buahnya, saya beberapa kali kena semprot. Suatu ketika, saya silap menulis kalimat yang ia anggap tak enak dibaca. Dengan mata mendelik, ia menembakkan kata-kata, "Gimana mau jadi wartawan kalau menulis kalimat saja tak becus!" Sungguh, biji zakar saya mengkerut hari itu. Kombinasi mata melotot, rambut gondrong, dan suara yang keras, bisa merontokkan mental siapapun yang berhadapan dengan Rusdi.
Tapi sesungguhnya, Rusdi adalah orang yang lembut. Tanya saja pada orang-orang terdekatnya. Ia sayang betul pada Voja, anak semata wayangnya. Ketika membaca berita tawuran, ia selalu khawatir anaknya terseret kebodohan yang sama. Ia bergidik membayangkan Voja mengikuti gaya hidupnya semasa muda.
"Semoga saja enggak. Aku percaya Voja itu anak baik," ujarnya.
Pada istrinya, Fauziah, cinta Rusdi bak palung. Tak selalu penuh bunga dan wangi-wangian tentu saja. Sebab kisah cinta yang selalu bahagia tanpa onak hanya ada di novel-novel remaja.
Dalam sebuah kesempatan, Cak Rusdi, dengan dagu berdarah karena baru saja menabrak pembatas jalan pada pukul 3 dini hari, menggenggam tangan saya, sementara istri saya berusaha mencari taksi untuk membawanya, meracau: aku bersalah betul pada istriku, Ran, aku banyak salah, aku ingin membahagiakannya, Ran.
Orangtua zaman dulu selalu bilang, siapa yang ada di pikiranmu ketika nyawamu seperti tengah dicabut, ialah yang paling kamu sayang dan pikirkan. Saya hanya bisa menggenggam tangan Cak Rusdi dan berbisik, "Mbak Ade paham itu, Cak. Ia tak apa. Ia kuat. Ia sayang kamu." Cak Rusdi mengangguk dan semakin erat menggenggam tangan saya.
Sebelas tahun setelah ia menikah, pada 2011, Rusdi menulis bait cinta yang bukan hanya menggetarkan, tapi juga menguatkan. Bagi istrinya, atau bagi siapapun yang menjalani pernikahan.
Aku memang tidak pernah menggandeng tanganmu
Seperti yang selalu kamu minta
Tapi kamu kini tahu
Kita telah selalu melewatinya bersama
Sambil menari dan berputar seolah di sorga
Dan tentu saja, itu lebih penting dari bergandengan tangan
Melalui status-statusnya di Facebook, banyak orang tahu bahwa Rusdi terkena kanker sejak 2016. Doa terus mengalir padanya. Beberapa orang anak muda, mereka yang mengagumi Rusdi, bergantian menjaganya di rumah sakit. Sejumlah kawan baiknya mengadakan penggalangan dana. Istrinya, selalu tersenyum seperti biasa. Kuat. Tegar. Sifat yang membuat Rusdi jatuh cinta padanya, 18 tahun silam.
Di ruang tengah rumahnya, sekira tiga bulan lalu, saya dan Cak Rusdi mengobrolkan banyak hal. Bukan soal jurnalistik, kali ini—meski ia tak pernah lelah mewejangi saya—soal integritas dan bagaimana tulisan enak dibaca. Kami banyak mengobrol soal kuliner. Ia berkisah tentang kaldu kambing kacang hijau ala Madura yang sering disuguhkan pada sahabat-sahabat yang berkunjung ke rumahnya.
"Aku pengen kapan-kapan mangan mangut pe karo awakmu," katanya.
Saya mengangguk. Menyanggupinya. Tapi Cak Rusdi sedang terbaring di kasur, di depan televisi yang rutin menayangkan acara di saluran Asian Food Channel.
"Nanti lah, Cak. Nunggu cacak sembuh dulu," kata saya.
Ia tersenyum. Lalu diam.
Senyum itu tak akan pernah lagi bisa kita lihat. Tadi pagi, 2 Maret 2018 pukul 08.15, Cak Rusdi Mathari menghembuskan napas terakhirnya. Ia telah melawan kanker dengan sekuat tenaga, dengan sebaik-baiknya perlawanan. Ia berjuang keras hingga merasa lelah dan memutuskan untuk pulang ke keabadian.
Ia sosok yang keras kepala, banyak orang mengakui itu. Kadang sikap keras kepalanya membawa banyak masalah baginya. Namun ia juga sosok yang humoris, gemar bercerita banyak hal, dan mengayomi anak-anak muda naif seperti saya dan belasan kawan lain. Sikapnya seperti itu yang membuat banyak orang menghormatinya. Rusdi pergi, namun kenangan tentangnya akan selalu lekat di hati.
Selamat jalan, Cak Rusdi. Terima kasih telah menjadi Ayah, guru, dan sahabat bagi kami.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Windu Jusuf