tirto.id - Saat Southampton kalah 3-2 dari tuan rumah Manchester United, Sabtu (2/3/2019), ada satu nama yang dianggap oleh Ralph Hasenhuttl, pelatih Soton, sebagai biang keladi kekalahan timnya: Romelu Lukaku.
Sempat unggul terlebih dahulu melalui tembakan keras Yan Valery pada menit ke-26, Southampton sebenarnya tampil apik di Old Trafford. Terutama pada babak pertama, permainan militan mereka membuat lini tengah United tak berkembang. Kuncinya: mereka berhasil mengisolasi Paul Pogba, serta membuat Scott McTominay tak nyaman dalam mendistribusikan bola.
Namun, peran Lukaku di lini depan Manchester United yang berubah-ubah membuat rencana Hasenhuttl berantakan. Pada babak pertama, sering bergerak ke sisi kiri pertahanan Soton, Lukaku adalah mimpi buruk Ryan Bertrand, wing-back kiri Soton -- ia sangat bertenaga dan terlalu cepat bagi Bertrand.
Pada babak kedua, Lukaku tiba-tiba lebih sering bergerak ke tengah, meskipun kadang-kadang masih bergerak ke sisi kanan, membuat pemain-pemain bertahan Soton kebingungan. Dari posisi itu, ia bahkan mampu menjembatani serangan United dari tengah, membuat lini tengah United lebih hidup dari sebelumnya.
Dan pemain asal Belgia itu pun lantas menghukum pertahanan Soton: ia mencetak dua gol, dan salah satunya adalah gol penentu kemenangan Manchester United.
“Kami tidak pernah berhenti bekerja sebagai sebuah tim, tapi seorang pemain fantastis [Lukaku] mampu menentukan hasil pertandingan,” kata Hasenhuttl setelah pertandingan, dilansir dari Guardian. “Romelu Lukaku adalah lawan yang sukar dipercaya, meskipun kami terus mencoba untuk menghentikannya.”
Membungkam Kritik
Musim ini kritik adalah karib Romelu Lukaku. Selepas Piala Dunia 2018, terutama saat Setan Merah masih ditangani Jose Mourinho, penampilan Lukaku mengalami penurunan drastis. Hingga Mourinho pergi dari United pada Desember 2018 lalu, Lukaku hanya mampu mencetak 6 gol di Premier League.
Lukaku menilai bahwa massa ototnya yang ia tingkatkan selama Piala Dunia 2018 menjadi salah satu penyebab dari menurunnya penampilannya. Tidak seperti di Piala Dunia 2018, Premier League jelas menuntut seorang pemain untuk tampil gesit. Jika ingin bertahan, ia harus mampu bermain lebih agresif dan penuh intensitas.
“Aku sedikit lebih berotot di Piala Dunia 2018. Aku merasa luar biasa dan mampu bermain bagus di sana. Aku lantas kembali [ke Inggris] dan itu adalah gaya yang berbeda,” kata Lukaku.
“Ketika Anda bermain di Premier League, aku tidak bisa bermain dengan massa otot yang sama dengan di pertandingan internasional. Aku tahu aku harus mengurangi massa ototku jadi aku lebih banyak menghabiskan waktu di gym, minum banyak air putih, dan makan banyak sayuran serta ikan.”
Dalam masa adaptasinya itu, setelah mencetak satu gol ke gawang Warford pada September 2018, Lukaku mandul dalam 12 pertandingan bersama Setan Merah. Dan setelah berhasil mencetak gol ke gawang Southmapton dan Fulham, kabar buruk menghantuinya: Jose Mourinho, pelatih yang selalu mempercayainya, dipecat dari United.
Ole Gunnar Solskjaer, pelatih anyar United, lebih senang dengan pemain depan yang agresif, memiliki kecepatan, serta mampu bermain dengan intensitas tinggi. Itu artinya, di bawah rezim Solskjaer, Lukaku akan menjadi pilihan nomor sekian setelah Marcus Rashford, Jesse Lingard, dan Anthony Martial.
Meski begitu, Solskjaer masih sering memberikan kesempatan terhadap Lukaku. Hebatnya, meski waktu bermainnya cukup terbatas, Lukaku masih mampu mencetak tiga gol dalam tiga pertandingan berurutan: melawan Bournemouth, Newcastle, serta Reading.
Selepas tiga pertandingan itu, Lukaku memang tidak mampu mencetak gol dalam 9 pertandingan. Namun, ia ternyata sudah mampu beradaptasi. Kerja kerasnya mulai membuahkan hasil: massa ototnya turun, ia gesit, mampu bermain dengan intensitas tinggi, agresif, serta memiliki kecepatan. Tahu itu, Solskjaer pun sering menjadikan Lukaku sebagai senjata senjata rahasia.
Saat United mengalahkan Arsenal 1-3 dalam pertandingan Piala FA, ia sering bergerak ke sisi kanan. Lukaku menjadi salah satu bintang kemenangan United. Ia memang tidak mencetak gol, tetapi kecepatannya di sisi kanan lini serang United mampu menghasilkan dua assist.
Saat United menghadapi Liverpool beberapa waktu lalu, kembali sering bergerak melebar ke sisi kanan, ia tidak hanya berguna dalam menyerang. Bersama Ashley Young, full-back kanan United, mantan pemain Everton itu menjadi salah satu alasan mengapa sisi kiri lini serang Liverpool, yang biasanya tampil digdaya karena duet Robertson dan Sadio Mane, mati kutu di sepanjang pertandingan.
Melalui dua pertandingan itu, Lukaku lantas dapat mampu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang yang hanya bisa menunggu bola di dalam kotak penalti lawan. Ia bukan hanya target-man, melainkan seorang penyerang serba guna.
Yang menarik, semakin ke sini, Lukaku ternyata mampu memainkan berbagai macam peran sekaligus di dalam satu pertandingan. Kadang ia akan bermain melebar, kadang ia melakukan track-back, kadang ia menjembatani serangan Setan Merah dari tengah, kadang ia akan menjadi penuntas serangan United. Dan saat lawan-lawan United mulai bingung terhadap peran Lukaku itu, ia pun bisa berbuat semena-mena: dalam dua pertandingan terakhir United, Lukaku mampu mencetak empat gol – dua ke gawang Crystal Palace dan dua ke gawang Southampton.
Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, lantas menulis di Guardian: “Dia mampu mencetak gol, mampu beradaptasi soal taktik, mempunyai kualitas teknis, dan kebetulan besar dan kuat. Mungkin ia bukan bagian utama dari visi Solskjaer sebagaimana Rahsford, Lingard, dan Martial. Tetapi, sebagai seorang pemain cadangan yang hanya diandalkan karena kemampuan fisiknya, Lukaku jelas masih memiliki banyak hal yang dapat ditawarkan.”
Editor: Abdul Aziz