Menuju konten utama

Roger Milla, Bekamenga dan Harapan Persib untuk Essien

Didatangkan dengan status bebas klub, pemain yang pada awal kedatangannya ke Chelsea dianggap sebagai “The Next Makalele” ini menjadi kado istimewa untuk Bobotoh menyambut ulang tahun Persib Bandung ke-84.

Roger Milla, Bekamenga dan Harapan Persib untuk Essien
Pesepakbola Asal Ghana Michael Essien menyapa bobotoh pada acara Ulang Tahun Persib yang ke-84 tahun di PT. Persib Bandung Bermartabat, Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/3). Mantan pesepak bola klub Chelsea FC Liga Inggris tersebut resmi bergabung dengan tim Persib Bandung untuk musim liga Indonesia 2017 mendatang dengan durasi kontrak kurang lebih satu tahun. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc/17.

tirto.id - “Ole... ole… ole…” nyanyian grup cheerleaders anggota Fans Club Pelita Jaya menggema di pintuk keluar Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang pada Kamis malam 29 Desember 1994.

Sepasang remaja dengan pakaian adat Betawi mengalungkan bunga pada sosok berkulit gelap dengan kemeja batik celana hitam. Sosok yang sejak keluar dari pemeriksaan paspor bandara tidak pernah berhenti tersenyum.

Roger Milla yang saat itu berusia 42 tahun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Menyaksikan kemeriahan acara penyambutan kedatangannya ke Indonesia, senyum ramah terus mengembang dari bibirnya. Sesekali legenda sepak bola Kamerun ini membalas sapaan para penggemar.

Datang sendirian tanpa ditemani istri dan anaknya, Milla awalnya sempat mengaku begitu lelah, namun menyaksikan sambutan yang begitu hangat, rasa lelah itu berganti perasaan senang.

“Ternyata masyarakat Indonesia benar-benar ramah dan penuh persahabatan,” ujar Milla seperti diberitakan Harian Jawa Pos edisi 31 Desember 1994. “Saya terharu dan sangat gembira. Saya tidak menduga akan mendapat sambutan seperti ini.”

Awalnya, pemain bertinggi 176 cm ini mengakui hanya mengetahui keramahtamahan masyarakat Indonesia dari beberapa media di Eropa. Sebelum memutuskan untuk berkarier di Indonesia, Milla yang awalnya sempat mengatakan akan pensiun usai Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, sempat tinggal di Prancis.

“Saya memang mengatakan hal itu (pensiun dari sepak bola). Keputusan itu saya ungkapkan, karena saya sudah tidak muda lagi,” ujar pemain yang pernah mempencundangi Rene Higuita dan melakukan perayaan gol dengan menari di bendera sepak pojok yang begitu ikonik ini. “Tetapi keputusan itu akhirnya saya tarik kembali. Karena saya menyadari tak mungkin meninggalkan sepak bola begitu saja. Sepak bola adalah bagian dari hidup saya.”

Ditemani Direktur Pelita Jaya, Rahim Soekasah dan Manajer Pelita Jaya, H. Andrie Amin, rombongan begitu kesulitan keluar dari bandara. Wartawan dan para penggemar yang nekat meminta tanda tangan dalam situasi berdesak-desakkan di pintu keluar bandara. Meski kesulitan, bersama legenda Pelita Jaya, Bambang Nurdiansyah, Milla akhirnya berhasil keluar dari kerumunan dan naik mobil menuju Hotel Indonesia.

Milla adalah salah satu dari proyek ambisius Pelita Jaya dalam menghadapi Liga Dunhill Indonesia musim 1995. Kehadiran Milla waktu itu tidak hanya untuk meningkatkan daya gedor permainan Pelita Jaya namun juga untuk menarik penonton agar rela datang langsung ke stadion.

Stadion penuh dan atmosfer pertandingan bisa berlangsung begitu meriah adalah harapan utama dari Manajemen Pelita Jaya. Bahkan bisa dikatakan untuk alasan inilah, nama besar Milla jauh lebih dibutuhkan Pelita Jaya daripada kemampuan olah bolanya di atas lapangan. Kecurigaan yang bukannya tanpa dasar, apalagi mengingat usianya sudah kepala empat.

Kehadiran Milla pada awal kompetisi Liga Dunhill 1995 adalah contoh bagaimana Nirwan D. Bakrie, pemilik klub Pelita Jaya waktu itu, punya kesadaran mengangkat reputasi klub.

Bagaimana dengan Essien untuk Persib?

Hal yang sama patut digunakan sebagai kacamata tentang bagaimana keberhasilan Persib Bandung mengontrak Michael Essien (14/3). Didatangkan dengan status bebas klub, pemain yang pada awal kedatangannya ke Chelsea dianggap sebagai “The Next Makalele” ini menjadi kado istimewa untuk Bobotoh menyambut ulang tahun Persib Bandung ke-84.

Setelah simpang siur mengenai kabar kedatangan Essien ke Indonesia yang sempat diduga hanya melakukan liburan, akhirnya manajemen Persib memperkenalkan Essien secara resmi sebagai pemain Persib untuk satu musim ke depan. Menggunakan jersey nomor 5, Essien akan berjibaku bersama Hariono di lini tengah skuad asuhan Djajang Nurjaman.

INFOGRAFIK Pesepakbola Dunia di Indonesia

Apa yang dilakukan Persib, memang langkah brilian. Mendatangkan Essien secara teknis di atas kertas memang kelihatan berguna. Apalagi usia 34 tahun bukanlah usia senja untuk karier sepak bola di Indonesia. Beberapa pemain asing di Indonesia tercatat tetap mampu bermain bagus seperti Christian Gonzalez dan Keith Kayamba Gumbs yang tetap aktif bermain pada usia 40 tahun ke atas.

Akan tetapi, pemain yang punya harga sebesar 45 juta Euro saat dibeli Roman Abramovich dari Olympique Lyon ini pada 2005 ini datang dengan berbagai persoalan di belakangnya. Kebugaran Essien sempat disorot, terutama selama enam bulan terakhir pemain asal Ghana ini tidak bermain di klub manapun setelah diputus kontrak oleh Panathinaikos. Hanya mampu tampil sebagai stater 17 kali di Liga Yunani dengan bayaran Rp22,7 miliar per musim, Essien dianggap sudah “habis”.

Sekalipun begitu, menurut manajer Umuh Muchtar, pengalaman Essien yang pernah bermain di liga kelas dunia seperti Premier League, La Liga, sampai Serie A membuat isu kebugaran maupun kemampuannya tidak akan begitu berpengaruh, “Untuk level sepak bola Indonesia, saya yakin kualitas Essien akan unggul, meski saat ini dia tidak bermain untuk klub manapun (sebelum dikontrak Persib).”

“Setidaknya saya bisa membantu mempromosikan sepak bola di Indonesia,” kata Essien.

Berbeda dengan situasi Essien, kedatangan Roger Milla ke Pelita Jaya pada akhir 1994, berawal dari relasi khusus antara status Milla yang merupakan ambassador khusus sepak bola Afrika. “Saya adalah salah satu pejabat asosiasi sepak bola Afrika,” kata Milla saat itu.

Pengakuan ini membuat status Milla diistimewakan tanpa harus melakukan seleksi. Tidak seperti dua rekan senegara Milla, Maboang Kessack dan Emile Mbouh Mbouh yang harus melakukan seleksi ketat sebelum diizinkan direkrut Pelita Jaya.

Pada waktu itu, setiap pemain asing yang akan bermain di Liga Dunhill harus mendapatkan izin dari Internasional Sports Association (ISA) untuk direkrut klub Indonesia. Artinya keputusan akhir mengenai kontrak ada di tangan ISA. Uniknya, ketika kehadiran Milla pertama kali ke Indonesia, Direktur Manajer ISA, Anghel Ioita, juga ikut serta melakukan penyambutan.

Kehadiran Milla yang awalnya sempat diragukan karena usia dan statusnya sebagai pejabat asosiasi sepak bola Afrika, berhasil ditepis dengan penampilan gemilang di musim perdananya. Mencetak 23 gol dalam 23 pertandingan di Liga Dunhill, Milla seolah membungkam keraguan akan kebugarannya untuk bermain penuh selama 90 menit.

“Jangan ragukan kemampuan saya. Saya adalah pemain sepak professional,” jelas Milla, “Anda boleh saksikan bagaimana saya bermain dan berlatih nanti.”

Pembuktian yang sama tentu diharapkan juga datang dari Essien. Harapan yang tidak hanya ditunggu Bobotoh, namun juga oleh seluruh pecinta sepak bola tanah air.

Apakah Essien Bisa Efisien?

Tidak sedikit yang mempersoalkan potensi Essien untuk menjawab kebutuhan Persib. Ia masyhur sebagai gelandang bertahan yang tangguh dan trengginas, namun di pos tersebut Persib sudah memiliki beberapa pemain, dari Hariono, Kim Kurniawan hingga Dedi Kusnandar.

Lagi pula Persib masih mencari seorang gelandang serang. Sejak tidak memperpanjang kontrak Robertino Pugliara dan Marcos Flores, Persib terus mencari seorang gelandang serang. Sempat mengundang Erick Weeks untuk diuji dalam gelaran Piala Presiden, namun Persib memutuskan tidak mengontrak gelandang Liberia tersebut.

Sejak kehilangan Makan Konate yang hijrah ke Malaysia, apalagi Firman Utina juga pergi, Persib terus memburu gelandang serang yang ampuh. Namun yang datag justru Michel Essien yang berposisi sebagai gelandang serang. Tidak heran jika ada bobotoh yang meragukan efisiensi mendatangkan Essien.

Persoalan sebenarnya bukan pada soal posisi bermain Essien, apakah gelandang bertahan atau bukan. Melihat kemampuan dan pengalamannya, Essien jelas jauh di atas rata-rata pemain yang berlaga di Indonesia. Ditempatkan di posisi mana pun di lini tengah, Essien sangat mungkin menjadi amunisi tambahan yang luar biasa bagi lini tengah Persib. Bahkan walau pun Essien hanya mampu mempersembahkan 60 persen kemampuannya dalam kondisi yang terbaik sekali pun, ia masih bisa sangat berguna bagi Persib.

Apalagi Essien juga punya kemampuan sebagai box to box midfielder, tipikal gelandang yang tidak hanya berperan melulu untuk kebutuhan bertahan atau menyerang belaka melainkan dua-duanya: bisa bergerak dari satu kotak penalti (sendiri) hingga ke kotak penalti yang lain (lawan). Jika Djajang Nurdjaman mampu dengan sukses mengubah pakem Persib dari 4-2-3-1 menjadi 4-3-3, Essien bisa sangat berguna untuk mengisi (andai Persib gagal mendapatkan) kekosongan gelandang serang yang mumpuni.

Persoalannya bukan pada posisi alami Essien, melainkan seberapa maksimal Essien mengikuti laga demi laga yang diikuti Persib? Problem cedera yang secara berkala mendera Essien menjadi kendala paling mendasar. Melihat jadwal kompetisi di Indonesia yang sering kali begitu padat dan rapat, juga kualitas lapangan yang tidak merata, menjadi tantangan tersendiri bagi Essien untuk melewatinya tanpa mendapatkan cedera.

Berharap Pada Essien dan Mengingat Cristian Bekamenga

Problem lain yang mesti dihadapi Persib adalah sanggupkah mereka menangai Essien sebagai manusia, sebagai bintang dan sebagai pemain?

Tidak mudah menangani pemain bintang, pemain (pernah) kelas dunia, yang kenyang asam garam dan trofi sepakbola Eropa. Apalagi Persib, juga sepakbola Indonesia, tentu tidak bisa dibandingkan dengan Chelsea, Inggris dan Eropa. Menjadi penting kemampuan Persib untuk menangani Essien agar bisa maksimal, tetap profesional, apa pun dan bagaimana pun kondisi yang dihadapi di lapangan.

Ini bukan syak wasangka tak berdasar. Persib pernah gagal menangani Cristian Bekamenga. Saat didatangkan Persib, Bekamenga masih berusia muda (21 tahun). Reputasinya mentereng: kapten tim nasional Kamerun U-23. Ia juga beberapa kali dipanggil tim nasional senior Kamerun.

Kemampuannya memang di atas rata-rata. Dengan postur yang tinggi besar, Bekamenga benar-benar menjadi teror bagi setiap pemain bertahan yang bertemu Persib. Ia mencetak 17 gol dalam semusim bersama Persib.

Masalahnya, Bekamenga sangat sering meninggalkan Persib. Alasannya untuk memenuhi panggilan tim nasional. Dan Persib nyaris tidak punya kemampuan menahan kehendak Bekamenga. Kapan pun ia ingin pulang ke Kamerun, ia akan pulang.

17 gol yang dicetak Bekamenga untuk Persib itu jelas sangat berguna. Namun kontribusinya bagi Persib niscaya akan lebih maksimal lagi jika ia bisa mengikuti laga demi laga yang dilakoni Persib. Namun itu tidak terjadi.

Essien memang tidak semuda Bekamenga yang saat itu sedang mengintip karir di Eropa. Namun dalam statusnya sebagai pemain kelas dunia, tetap saja tidak mudah bagi Persib untuk menanganinya. Berbagai klausul yang memberikan privilege kepada Essien tentu harus dipenuhi Persib. Namun apakah itu bisa efektif untuk memastikan Essien tetap profesional?

Di situlah pertanyaannya. Bebas cedera, dan sanggup melayani kebutuhan Persib dari laga ke laga, jika itu bisa terjadi niscaya akan membuat Persib sangat diuntungkan. Apa pun dan di mana pun posisi bermain Essien.

Baca juga artikel terkait PERSIB atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Olahraga
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS