Menuju konten utama

Ricardo Bochini, Tak Tenar tapi Jadi Idola Maradona

Siapa Ricardo Bochini? Mengapa ia sampai diidolakan Maradona?

Ricardo Bochini, Tak Tenar tapi Jadi Idola Maradona
Maradona mencium tangan Ricardo Bochini. Foto/Wikipedia

tirto.id - Pada Piala Dunia 1986, Carlos Billardo merancang tim nasional Argentina dengan menjadikan Diego Maradona sebagai nukleusnya. Seluruh pemain diperintahkan bekerja untuk Maradona, menuruti perintahnya, juga melindunginya di lapangan. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihatnya secara taktikal.

Billardo menggunakan dua formasi: 4-4-2 berlian (4-3-1-2) dan 3-5-2 (3-5-1-1). Formasi pertama dipakai sejak babak grup dan 16 besar, sedangkan 3-5-2 baru digunakan saat melawan Inggris di perempat final. Ketika menggunakan formasi 4-4-2 berlian, Billardo menggunakan Jose Brown sebagai defensive libero, sementara Oscar Garre diplot sebagai man marker dengan posisi sedikit maju ke depan menemani Sergio Batista sebagai gelandang bertahan. Dua gelandang tengah lain diisi Ricardo Giusti dan Jorge Burruchaga. Maradona berperan sebagai pemain nomor 10 dengan kebebasan mutlak. Di depan, Billardo memilih duet Perdo Pasculli dan Jorge Valdano.

Dalam 3-5-2, Brown masih berperan menjadi defensive libero, namun kini ia “dilindungi” oleh Ruggeri and Cuciuffo yang berperan sebagai stopper dengan tugas menjaga ke mana pun dua striker lawan bergerak. Batista berada di depan mereka sebagai ball-winer, ditemani oleh Olarticoechea yang beroperasi di sisi kiri dengan peran lebih bertahan.

Di sisi kanan, Giusti bermain melebar, sementara Burruchaga diplot sebagai katalis penghubung antara lini tengah dan depan dengan Enrique sebagai deputinya. Di depan, Billardo memilih Maradona sebagai second striker dan Valdano menjadi penyerang tengah.

Formasi 3-5-2 diterapkan Billardo dengan dalih yang masuk akal: "Anda tidak dapat bertanding melawan Inggris dengan penyerang murni, mereka akan melahapnya. Tambahan pemain di tengah akan membuat Maradona memiliki lebih banyak ruang." Dari penjelasan Billardo tersebut, ada kalimat kunci yang dapat ditafsirkan sebagai inti strateginya: "Tambahan pemain".

Billardo memang sengaja menambah pasukan demi membentengi Maradona dari berbagai sergapan lawan. Di final, 3-5-2 ala Billardo mendapat lawan sepadan: 3-5-2 Jerman Barat. Maradona juga punya pengawal yang tepat: Lothar Matthaus. Namun hasil akhir telah menunjukkan Argentina berhasil menjadi juara dengan skor 3-2.

Sebagaimana pemaparan di atas, taktik jitu Billardo dirancang untuk memaksimalkan potensi Maradona. Kendatipun kala itu ia mendapat kritikan karena dianggap terlalu mempercayai Maradona, Billardo tidak peduli. Hasilnya, selain Argentina menggondol Piala Dunia untuk kali kedua, Maradona pun menjadi terpilih sebagai Pemain Terbaik dalam turnamen tersebut. Dan ingat gol solo run yang ia cetak setelah melewati enam pemain Inggris di perempatfinal? Itulah gol terbaik abad ini.

Tapi kisah paling menarik dari keberhasilan Argentina bukan sekadar berbagai gelar yang diraih, melainkan karena di turnamen tersebut, Maradona akhirnya dapat bermain dengan idolanya sepanjang masa. Dia adalah Ricardo Bochini.

“Cebol, Canggung, Dingin, Letoy, Tidak Memiliki Kharisma”

Maradona boleh saja menjadi salah satu pemain terbaik sepanjang sejarah, tapi di hadapan Bochini, ia akan selalu menjadi bocah lugu yang kegirangan kala berjumpa dengan pahlawan super pujaannya. Sosok yang darinya Maradona "belajar membuat orang lain terduduk".

Bochini sama sekali jauh dari apa yang dibayangkan tentang pahlawan super. Saat Piala Dunia 1986, ia telah berusia 32 tahun. Kepalanya separuh botak, perutnya agak sedikit tambun, dan juga kelewat lambat. Wartawan Argentina, Hugo Asch, malah punya penilaian yang lebih tragis lagi terhadap Bochini: Cebol, canggung, dingin, letoy, serta tanpa kharisma.

Ricardo Enrique Bochini, demikian nama lengkapnya, lahir di Zarate, Argentina, 25 Januari 1954. Ia adalah pemain legenda yang paling dipuja dalam sejarah Indipendiente. Sepanjang 1972–1991 memperkuat klub tersebut, Bochini turut memberi 4 gelar liga, 5 gelar Copa Libertadores, 3 gelar Copa Interamericana, dan 2 gelar Intercontinental Cup.

Namun Bochini dikenang bukan karena torehan berbagai gelar belaka. Ia adalah maestro dari segala maestro untuk urusan mengirim umpan yang nyaris selalu tepat sasaran, hingga melahirkan sebutan: “pase bochinesco”.

Bagi orang Argentina, sensasi sebuah umpan yang presisi, terlebih jika berhasil dikonversi menjadi gol, sama apiknya dengan gol itu sendiri. Nah, dalam “pase bochinesco” ada semacam teknik lain yang sudah dianggap serupa seni dan dinamakan “la pausa”.

“La pausa”, sebagaimana dijelaskan kolumnis sepakbola Jonathan Wilson dalam tulisannya 'Ricardo Bochini’s Long Wait to Become Argentina’s Legend of La Pausa', merupakan sebuah “seni menunggu” yang biasa dilakukan para pemain nomor 10 (klasik) sebelum melepaskan umpan, sekaligus memprediksi gerak si pemain yang dituju. Di titik inilah Bochini tampak seperti tuhan, sebab ia dapat menghentikan laga sepersekian detik, membuat semua orang seolah membeku.

Ketika diwawancarai Wilson, ada dua cara dalam melakukan "la pausa" ala Bochini. Pertama dengan bergerak lambat, menggiring bola sembari menunggu pemain lain. Kedua, menggulirkan bola dengan cepat sambil intens melakukan pergerakan.

Cara pertama merupakan ciri khas para pemain nomor 10 klasik. Juan Roman Riquelme atau Fransesco Totti, misalnya, adalah dua contoh terbaik selain Bochini yang mempraktikkan cara ini dengan begitu artistiknya. Sementara untuk cara kedua, tiada lagi parameter yang cocok untuk ditengok selain trinitas suci La Masia: Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Lionel Messi. Mereka adalah para maestro “la pausa” dalam strategi pass and move (baca: Tiki-Taka) yang menjadi napas sepakbola modern.

Infografik Ricardo Bochini

Infografik Ricardo Bochini

Diego Maradona melewati masa bocahnya dengan memuja Bochini. Ia mengutuk Cesar Luis Menotti, pelatih Argentina di Piala Dunia ’78, karena tidak menyertakan Bochini dalam skuat, kendatipun mereka akhirnya memenangkan Piala Dunia pertama untuk Argentina. Maradona ketika itu masih berusia 17 tahun.

Delapan tahun setelahnya, ketika ia sudah menjadi pemain bintang, pujaan rakyat Argentina, dan jantung timnas saat Piala Dunia 1986, Maradona menggunakan “kuasanya” untuk meminta kepada Billardo agar membawa Bochini.

Bilardo, seorang pemuja eksakta dalam sepakbola, sosok yang sebetulnya amat antipati dengan pemain lambat gemar berleha-leha macam Bochini, tak bisa menolak permintaan Maradona. Billardo sadar kepada siapa ia menggantung nasib. Ia tahu betul jika Maradona sudah mulai merengek, timnas yang dilatihnya hanyalah omong kosong.

Maka, lihatlah, pada menit ke-85 laga semifinal kontra Belgia, ketika Argentina telah unggul 2-0, Billardo menarik Buruchaga keluar untuk digantikan Bochini. Ketika momen itu tiba, Maradona, dengan keriangan layaknya seorang bocah, berlari mendekati pahlawan pujaannya, mengitari tubuhnya, lalu mengatakan bahwa semua orang sudah menunggunya.

Dalam autobiografinya yang terbit 2014, El Diego, Maradona masih mengenang memori tersebut.

"Ketika ia masuk saat laga kontra Belgia di Piala Dunia, hal pertama yang saya lakukan adalah mengoper bola kepadanya. Saya ingat betul ketika itu saya mengatakan: rasanya seperti bermain satu-dua dengan Tuhan."

Baca juga artikel terkait TIMNAS ARGENTINA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono