tirto.id - Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan Malaysia merupakan negara yang mempraktikan sistem pemerintahan monarki konstitusional.
Hal itu ia ungkapkan sebagai respons atas Sultan Johor, Ibrahim Ibni Almarhum Sultan Iskandar yang menyatakan bahwa beberapa pihak tak perlu mengurusi urusan negara bagian.
“Kami menyatakan bahwa negeri ini mempraktikan sistem monarki konstitusional, bukan monarki absolut,” kata Mahathir dikutip The Star.
Mahathir menambahkan jika Johor memiliki otonomi konstitusi, tetapi tetap menjadi bagian dari administrasi negara.
“Kalau kita menganggap bahwa perdana menteri atau menteri besar dipilih oleh raja, maka kita bukanlah negara demokratis,” tandasnya.
“Ini karena rakyat memilih partai yang nantinya akan memilih menteri besar, dan jika hak rakyat disangkal, maka kita bukan lagi sebuah [negara] demokrasi. Kita akan jadi negeri yang menjalankan monarki absolut,” lanjutnya.
Mahathir menyarankan agar ada debat yang mengangkat isu sistem monarki konstitusional Malaysia saat ini.
Rabu (10/4/2019) Sultan Johor meminta agar beberapa partai nasional berhenti ikut campur dalam urusan negara bagian yang diimpinnya. Hal tersebut kembali menyulut perselisihan antara keluarga kerajaan negara bagian dengan Perdana Menteri Mahathir.
Ketegangan antara keluarga kerajaan dengan pemerintah telah terjadi beberapa dekade di Malaysia, tetapi pekan ini memuncak karena Sultan Ibrahim Ismail, dengan kekuasaannya menunjuk kepala menteri negara bagian Johor untuk di bebas-tugaskan, dikutip dari South China Morning Post.
Ketegangan ini kembali mengingatkan publik mengenai Mahathir yang bertikai dengan keluarga-keluarga kerajaan pada masa kepemimpinannya tahun 1981-2003.
Menteri Besar Johor, Osman Sapian yang juga sekutu Mahathir mengundurkan diri pada Senin (8/4/2019) setelah berminggu-minggu sebelumnya Sultan, yang termasuk dalam sembilan pemimpin negara bagian Malaysia menginginkan dia dicopot dari jabatan tersebut.
Mahathir keesokan harinya menunjuk Partai Pribumi Bersatu Malaysia, yang merupakan partai terbesar di Malaysia sekaligus partai Mahathir untuk menunjuk pengganti Osman.
Ia menyebut bahwa ini adalah persoalan politik dan Sultan tidak turut andil dalam hal ini, dan menambahkan bahwa partai-partai di seluruh negara bagian memiliki hak prerogatif untuk menentukan siapa yang mengisi jabatan menteri di tiap-tiap negara bagian.
Di sisi lain, Sultan Ibrahim menulis di akun Facebooknya bahwa tidak perlu mengurusi urusan negara bagiannya.
“Saya ingin beberapa partai menghentikan rundungan dan pertarungan politik, alih-alih fokus pada menjaga keamanan negara. Berkaitan dengan Johor, tidak perlu repot-repot mengurusi urusan negara bagian karena kekuasaan ada dalam kendali sultan,” tulisnya.
Ia juga mengatakan bahwa dirinya sedang berada di luar negeri dan akan mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat sesaat setelah dirinya kembali ke Johor.
Editor: Yantina Debora