tirto.id - Harapan sempat muncul saat kaki Raphael Varane menghajar laju Fernando Torres di dalam kotak penalti. Kecerobohan yang menjadi puncak dari kekacauan di Estadio Vicente Calderon pada 15 menit awal laga kedua semifinal Liga Champions antara Atletico Madrid melawan Real Madrid. Klimaks dari napas pertandingan yang langsung diburu sejak Cuneyt Cakir meniup peliut dimulainya pertandingan.
Pada fase awal babak pertama ini, setiap jengkal lapangan seolah tidak lagi menyisakan sedikit pun ruang untuk melakukan build-up bagi kedua tim. Pemain Atletico terlihat begitu banyak. Lapangan begitu sempit dan waktu pertandingan sepertinya berjalan terlalu cepat daripada seharusnya.
Mendadak, Diego Simone seperti sedang menurunkan lebih dari 11 pemain. Mengurung setiap individu pemain Madrid dengan kemenangan jumlah di beberapa sisi. Lapangan terlihat penuh, sesak, dan sulit sekali untuk merancang serangan. Jangankan punya ide serangan, untuk bisa bertahan menguasai bola di daerah sendiri saja Sergio Ramos atau Marcelo benar-benar kerepotan.
Perspektif ini bisa dimaklumi. Kerapatan dan agresitivitas yang luar biasa dari pemain-pemain Atletico membuat awal laga terlihat seperti tawuran daripada sebuah laga sepak bola. Kacau dan chaos. Pemain-pemain bintang Madrid kelimpungan meladeni cara keroyokan Atletico dalam melakukan tekanan.
Tensi setinggi ini bahkan semakin meningkat saat Saul Niguez berhasil memecundangi Cristiano Ronaldo dalam duel memperebutkan timing di udara pada menit ke-12. Dari skema sepak pojok, gol pertama yang datang seperti suntikan hormon adrenalin bagi pemain Atletico. Membuat mereka semakin agresif dan menggila.
Skor agregat 1-3 untuk Atletico memang masih aman bagi Zinedine Zidane. Peluang Madrid jauh lebih terbuka. Sayangnya, sejak gol pertama, Madrid masih belum juga menemukan pola. Serangan Madrid masih tumpul. Di sisi lain, Atletico sudah langsung tancap gas tanpa peduli harus melakukan tabrakan keras atau mendengar uring-uringan dari pemain lawan.
Semua justru berubah saat Cakir menunjuk titik putih. Buah dari kepanikan luar biasa lapisan pertahanan Madrid yang terus-menerus dihantam tekanan pemain Atletico. Eksekusi tendangan penalti Antonio Griezmann pun masuk ke gawang Keylor Navas—sekalipun kaki yang menopang tendangannya sempat terpeleset sedikit. Skor 2-0 Atletico unggul. Tinggal satu gol lagi dan semua akan kembali ke titik awal.
Sayangnya, sejak gol kedua lahir. Madrid tidak terbunuh langsung begitu saja. Sebaliknya, pertandingan malah bisa dikontrol pelan-pelan oleh tim tamu. Jarak antar pemain sedikit demi sedikit menjauh. Umpan-umpan pindah sisi lapangan makin sering terjadi. Detak jantung melambat. Pemain Atletico jadi mengejar ruang-ruang kosong. Toni Kross, Casemero, dan Luca Modric yang menjadi prosesor serangan Madrid akhirnya menemukan ruang. Yang itu artinya, mereka juga menemukan waktu. Mengontrol tempo pertandingan.
Keadaan jadi terkendali. Kekacauan sejak gol kedua diredam. Sisanya memang masih muncul di beberapa titik. Namun, itu bukan sesuatu yang membahayakan. Ronaldo, Karim Benzema, dan Isco berusaha saling menenangkan diri masing-masing. Dan di sisi lain, kepanikan malah berpindah ke Diego Godin, Gimenez, dan Stevan Savic karena perburuan bola semakin lama jadi semakin sulit.
Dari skema lemparan ke dalam pada menit ke-42, Benzewa mendapatkan ruang yang cukup untuk mengontrol bola. Dalam tekanan penuh dari ketiga pemain bertahan Atletico, Benzema memanfaatkan tekanan berlebihan yang menciptakan ruang begitu lebar di area yang ditinggalkan. Dengan sebuah trik sederhana di garis batas lapangan, Benzema melewatkan bola dari Godin, Gimenez, dan Savic dengan satu tarikan napas.
Adegan yang berlanjut dengan umpan cut back untuk dieksekusi Kross. Ditepis dengan brilian oleh Jon Oblak, lalu Isco—pemain yang sempat terpinggirkan di musim ini—muncul tiba-tiba menyambar bola muntah di mulut gawang. Skor 2-1. Selisih agregat kembali menjauh bagi Fernando Torres dkk. Bahkan dengan penilaian sebagai gol tandang, selisih ini lebih jauh daripada situasi sebelumnya. Sebab, minimal Atletico harus menang 5-1 untuk lolos ke final. Dan itu, benar-benar terlihat mustahil.
Semakin mustahil jika melihat kondisi Madrid yang sudah menemukan ritme pertandingan. Simone langsung duduk di bangku cadangan dengan fakta ini. Kendalinya atas pertandingan sudah hilang. Benar memang beberapa peluang gol sempat muncul, namun secara keseluruhan, Zidane mampu memanfaatkan kelebihan individu pemain yang dimilikinya untuk menghancurkan tekanan pemain-pemain Atletico.
Pada akhirnya, saat Cakir meniup peliut panjang, Madrid pun sukses mengendalikan tawuran yang terjadi dan bersiap berangkat ke Millennium Stadium di Cardiff besok 3 Juni menyusul Juventus.
Bintang Bernama Dani Alves
Di Torino, sehari sebelumnya (10/3). Juventus lebih dulu mengamankan satu tempat ke laga final Liga Champions. Final kedua dalam kurun waktu tiga tahun ke belakangan, dan menjadi final keenam sepanjang keikutsertaan Juventus di Liga Champions.
AS Monaco jadi korban jurus aikido milik Juventus berikutnya. Kekalahan yang menegaskan bahwa kemenangan Juventus di babak perempatfinal melawan Barcelona, bukanlah kebetulan semata. Radamel Falcao dkk, dengan mata kepala mereka sendiri menyaksikan bagaimana efisiensi “Raja” Serie A sepanjang lima musim terakhir ini benar-benar mengerikan. Sulit ditembus sekaligus begitu mematikan terhadap peluang sekecil apapun.
Menekan di kedua laga babak semifinal, Monaco jadi bulan-bulanan pertahanan Leonardo Bonucci, Giorgio Chillieni, dan Andrea Barzagli. Persoalan tidak hanya berhenti di sana bagi Leonardo Jardim. Keberadaan Alex Sandro dan Dani Alves jadi ancaman berbahaya pada setiap fast break anak asuh Massimiliano Allegri.
Tentu saja ini belum memasukkan potensi berbahaya dari keahlian Paulo Dybala yang mampu menghancurkan kerapatan pemain lawan, pemahaman taktikal mumpuni dari Mario Madzukic, sampai kemampuan membebaskan kawalan dari Gonzalo Higuain.
Terlepas dari banyaknya kontribusi dari masing-masing pemain Juventus, dua laga semifinal melawan Monaco kemarin adalah panggung utama bagi Alves, Torehan 3 assist dan 1 gol sebenarnya belum menggambarkan pentingnya peran Alves untuk Juventus musim ini. Keterlibatan Alves pada semua gol Juventus di semifinal inilah yang kemudian membuat Barcelona harusnya menyesal karena melepas pemain Brazil ini begitu saja pada awal musim. Mengingat sampai sekarang, di posisi inilah Luis Enrique tidak menemukan pengganti yang sepadan.
Kemenangan 2-0 di Monaco, disusul kemenangan 2-1 di Juventus Stadium hanya meninggalkan sedikit noda bagi Gianluigi Buffon. Rekor tanpa kebobolan Juventus harus dihentikan Kylian Mbappe yang menutup buku rekor 690 menit Buffon tidak memungut bola dari gawangnya. Gol ketiga yang berhasil menembus pertahanan Juventus sepanjang Liga Champions musim ini. Sebuah angka minimal yang menggambarkan betapa sulit menemukan kode sandi pertahanan Allegri.
Pertemuan antara Juventus dengan Real Madrid pada laga puncak 3 Juni nanti, pada akhirnya akan jadi semacam kisah ulangan Final Liga Champions 1997/1998. Kisah, yang tentu tidak ingin diulangi lagi bagi Juventus. Sebab di final tersebut, Juventus harus takluk 0-1 dalam pertandingan yang begitu membosankan.
Mengingat bahwa partai final nanti merupakan pertemuan antara tim dengan pertahanan terbaik Eropa dengan tim yang memiliki sosok Ronaldo dengan rekor pencetak gol terbanyak di kompetisi Eropa, maka—jelas—ini akan jadi pemandangan yang menarik.
Apakah Ronaldo bisa menaklukkan pertahanan sekokoh milik Juventus? Atau malah Ronaldo yang justru ditenggelamkan oleh Bonucci dkk.?
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti