Menuju konten utama

Rapor Paman Sam di Mata Dunia

Selama ini Amerika Serikat dikenal dan diakui sebagai negara superpower dunia. Namun bagaimana sesungguhnya pandangan negara-negara lain atas titel megah tersebut, khususnya terkait kebijakan luar negeri AS?

Rapor Paman Sam di Mata Dunia
Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Wakil Presiden Joe Biden dan Menteri Luar Negeri John Kerry menyampaikan pernyataan mengenai penggunakan kekuatan militer untuk menghadapi negara Islam, di Ruang Roosevelt, Gedung Putih, Washington DC, Amerika Serikat. [ANTARA FOTO/Reuters/Jonathan Ernst]

tirto.id - Donald Trump dan barisan pendukung dari Partai Republik begitu bangga mempromosikan jargon “Make America Great Again”. Jargon itu menjadi bagian dari kampanye Trump untuk merebut kursi kepresidenan pada pemilihan umum (pemilu) presiden Amerika Serikat (AS) tahun ini.

Namun, jargon Trump itu dengan tegas dibantah kubu oleh kubu Demokrat. “Amerika tak perlu mengembalikan keyaaannya. Amerika sedari dulu telah jaya, dan Donald Trump justru sedang mengancam kejayaan tersebut!” kata Michelle Obama dalam pidatonya di Konvensi Nasional Partai Demokrat pada akhir Juli lalu, sebagaimana dikutip Vox.

Ibu Negara itu menambahkan, “Jangan pernah biarkan orang lain berkata bahwa negara ini tak hebat sehingga seakan-akan kita perlu membuatnya hebat kembali. Sekarang ini, di era ini, Amerika lah negara terhebat di muka bumi!”

Amerika Sebagai Superpower

Klaim Michelle yang menyebut AS sebagai “superpower” itu bisa jadi memang bukan asal-asalan. Data-data menunjukkan Amerika memang masih digdaya. Krisis demi krisis berhasil dilalui oleh negara tersebut.

Setahun lalu Ian Bremmer dari Time pernah menyangkal pengamatan ahli ekonomi dunia yang menyatakan Cina akan menjadi negara super power dunia dan AS akan bangkrut. Ia menyebut analisa ekonom itu berlebihan. Ekonomi Cina memang sedang tumbuh pesat, tetapi perbandingan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita AS di tahun 2013 masih berlipat-lipat lebih besar ketimbang Cina. Bank Dunia mencatat PDB per kapita AS menyentuh angka $53.042 (setara Rp647 juta untuk kurs saat itu), sedangkan Cina hanya $6.807. AS masih menjadi landasan sistem keuangan global, dengan 80 persen transaksi keuangan di seluruh dunia dilakukan dalam dolar.

Di sisi inovasi, delapan dari sembilan perusahaan teknologi terkemuka yang menggerakkan roda ekonomi dunia serta menjadi prospek bisnis terbaik di masa depan berasal dan ada di AS. Fakta ini didukung dengan banyaknya universitas berbasis riset dengan dana besar dan kualitas terbaik di dunia. Untuk menjaga keunggulan ini, pemerintah AS tak tanggung-tanggung, sebanyak 30 persen dana riset dunia dihabiskan sendiri oleh AS.

Selain bergantung pada variabel ekonomi dan inovasi, kedigdayaan AS juga didukung penuh lewat militer dan kebijakan politik luar negerinya. Di masa perang dingin dulu, AS dikenal cerdik memainkan dua variabel tersebut untuk menjadi tulang punggung kemajuan ekonominya.

Pemerintah AS menggelontorkan dana militer lebih banyak ketimbang negara manapun di dunia. Merujuk data International Institute for Strategic Studies, sekurang-kurangnya 37 persen total dana militer dunia dihabiskan oleh AS atau empat kali lipat lebih banyak daripada Cina. Aksi militer di Timur Tengah terutama di Irak dan Afghanistan memang menambah catatan hitam AS. Namun, AS juga sukses unjuk gigi ke dunia, menyatakan diri sebagai negara terkuat untuk urusan perang.

Pinjaman Sebagai Alat Kendali

Kebijakan luar negeri AS punya pengaruh besar pada dunia. Bagi AS, bantuan kepada negara lain adalah investasi politik yang efektif dan menjanjikan. Pada tahun 2013, AS menggelontorkan bantuan keuangan sebesar $32,7 miliar, mengungguli Inggris di tempat kedua dengan dana sebesar $19 miliar. Rupanya, uang itu digunakan untuk “membeli” kerja sama politik yang kuat dari negara-negara lain dan nantinya akan menjadi aliansi AS untuk urusan ekonomi dan militer.

Strategi bantuan luar negeri AS itu efektif dalam usaha merebut dan menguatkan dukungan warga dunia. Sejak satu dekade silam dan dunia memasuki abad ke-21, AS masih setia dengan strategi ini. Untuk melihat bagaimana pandangan dunia dengan superioritas AS yang lekat dengan citra polisi dunianya itu, pada 2015 lalu Gallup mengadakan survei yang menjangkau hingga 132 negara.

Kebijakan luar negeri AS, dalam pandangan Gallup, mendapat tantangan berat di masa pemerintahan kedua Presiden Barack Obama. Sesungguhnya kondisi ini telah terjadi sejak pemerintahan George W. Bush, yang ditandai dengan dimulainya perang melawan terorisme usai peristiwa 9/11. Namun, pada masa pemerintahan Obama, terjadi kemajuan signifikan dalam hubungan dengan negara-negara yang selama ini dikenal sebagai musuh bebuyutan AS.

Kesepakatan bersejarah antara AS dan Iran terkait urusan nuklir yang telah diusahakan Obama sejak awal menjabat akhirnya tercapai di tahun lalu. Hubungan dengan Kuba telah dipulihkan. Negara-negara Asia pun kecipratan dana dengan ditandatanganinya Kemitraan Trans-Pasifik.

Namun, Obama bukan tanpa cela. Gallup memberikan catatan khusus atas manuver AS di Timur Tengah yang berujung pada konflik skala luas dengan ISIS sebagai aktor utamanya. AS juga dituding memperkeruh suasana di Suriah dan Yaman. Fakta ini membuat para pengamat kebijakan luar negeri AS menilai pemerintahan Barack Obama belum mampu mewujudkan komitmen untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.

Kebijakan luar negeri AS dengan sisi positif dan negatifnya selama satu dekade ini menjadikan hasil survei Gallup cenderung stagnan. Di masa akhir pemerintahan Presiden George W. Bush, performa AS dinilai buruk oleh 33 persen warga dunia dan apresiasi positif hanya berkisar 38 persen di tahun 2007. Tingkat ketidakpuasan naik menjadi 34 persen di tahun 2008. Kondisi ini tak lain disebabkan oleh krisis ekonomi AS di tahun 2008 yang dampaknya terasa hingga ke seluruh dunia, terutama untuk negara-negara yang menjadikan dolar sebagai mata uang acuan.

Obama Selamatkan Muka AS di Afrika dan Eropa

Tahun 2009 menjadi titik balik AS kala kemudi kekuasaan telah berpindah tangan ke Obama. Jumlah warga dunia yang puas dengan kinerja politik luar negeri AS naik menjadi 49 persen dan mereka yang tak puas berhasil ditekan sampai 21 persen. Meski di tahun-tahun setelahnya menunjukkan penurunan, namun rapor AS masih terhitung positif. Indeks kepuasan sempat menurun hingga 41 persen di tahun 2012, namun naik dua digit di tahun 2013 dan dua tahun setelahnya konsisten di angka 45 persen.

Perbedaan hasil terlihat di masing-masing regional. Tingkat kepuasan warga di negara-negara Afrika termasuk tinggi. Puncaknya terjadi di tahun 2009 kala mereka yang terkesima dengan aksi AS mencapai angka 85 persen. Meskipun di tahun-tahun setelahnya angka tersebut terus menurun, namun persentasenya masih cukup positif., apalagi jika dibandingkan dengan yang tak puas. Di tahun 2015 masyarakat Afrika yang puas berjumlah 59 persen dan yang tak puas hanya 15 persen.

Kondisi di Afrika bertolak belakang dengan persepsi yang berkembang di Eropa. Sepanjang tahun 2007-2008 rakyat Eropa yang tak puas mencapai 53 dan 58 persen, sedangkan yang puas hanya 19 dan 18 persen. Ini juga menunjukkan dampak krisis ekonomi AS dan dunia di tahun 2008 dan bagaimana masyarakat Eropa membenci kebijakan-kebijakan politik AS kala tampuk kekuasaan masih dipegang George W. Bush.

Lagi-lagi Obama menyelamatkan wajah AS di Eropa, dimulai dengan kenaikan tingkat kepuasan warga Eropa yang naik drastis di tahun 2009 yakni sebesar 47 persen. Pada 2015 atau setahun sebelum masa akhir pemerintahan Obama, mereka yang puas dengan kebijakan luar negeri AS di Eropa sebesar 46 persen.

Amerika Dibenci Penduduk Asia

Di Asia pamor AS terhitung stagnan, baik tingkat kepuasan maupun ketidakpuasannya. Namun yang konsisten sejak tahun 2007 adalah kawasan Asia memiliki penduduk pembenci AS nomor satu. Mereka yang tak puas dengan politik luar negeri AS kebanyakan para korban intrik politik dan militer AS seperti Palestina (79 persen), Lebanon (72 persen), Pakistan (71 persen), dan Kazakhtan (70 persen). Khusus di Iran, kesepakatan nuklir berhasil menurunkan angka ketidaksukaan warganya kepada AS dari angka 61 persen di tahun 2014 menjadi 51 persen di tahun 2015.

Menariknya, pamor AS di Asia Tenggara masih menunjukkan tren positif. Kamboja dan Filipina adalah dua negara dengan tingkat kepuasan tertinggi, yakni mencapai 74 dan 64 persen. Di tempat ketiga ada Malaysia dengan tingkat kepuasan 56 persen. Malaysia pun mencatatkan rekor peningkatan tingkat kepuasan tertinggi di antara negara-negara lain di dunia, yakni naik sebesar 27 persen dari 2014 ke 2015.

Indonesia di sisi lain menunjukkan ketidakpuasan yang cukup tinggi, yakni sebesar 36 persen, sedangkan tingkat kepuasannya hanya 22 persen. Dalam urusan dagang, investasi AS di ASEAN pada 2015 memang besar, yakni sebesar $212,8 miliar. Meski Indonesia ikut kecipratan nilai investasi ini, persepsi masyarakat Indonesia terhadap politik luar negeri AS di negara-negara Timur Tengah masih negatif. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, solidaritas terhadap penderitaan masyarakat Palestina misalnya masih tergolong tinggi.

Hasil Pilpres AS mendatang tentu akan berpengaruh terhadap pandangan warga dunia terhadap AS. Baik Donald Trump maupun Hillary Clinton memiliki gaya tersendiri dalam memimpin. Meski demikian, banyak pengamat politik yang satu suara dengan manuver politik luar negeri AS jika Trump memenangkan pemilu: agresif.

Sebelum menjadi presiden saja Trump sudah menjadi bahan olok-olokan oleh warga seluruh dunia. Namun, di satu sisi citra “tukang bohong” Hillary juga membuat rakyat sedunia dilema. Rakyat dunia dilanda kebingungan sebab baik Trump maupun Hillary dipandang sebagai dua kandidat yang tak ideal.

Mereka bukan saja mengkhawatirkan kondisi AS, tetapi masa depan negaranya sendiri, terutama bagi negara-negara yang gampang terpengaruh dengan kebijakan luar negeri AS. Maklum, selama ini tingkat ketergantungan ekonomi, politik, dan militer terhadap negeri Paman Sam itu sangat besar.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti