Menuju konten utama
Kenangan Ramadan

Ramadan Musim Panas dan Hadiah Masjid Baru di Cina

Beberapa orang Indonesia berkesempatan beribadah puasa di RRC karena urusan menuntut ilmu dan lainnya. Bagaimana merasakan berpuasa di negeri komunis?

Ramadan Musim Panas dan Hadiah Masjid Baru di Cina
Umat Muslim berdoa sebelum berbuka puasa di Masjid Niujie, Beijing, Cina (6/6/2016). EPA/How Hwee Young

tirto.id - Ramadan kali ini bakal dilewati Syukron M Safari dengan istimewa, sudah sejak lama hari-hari beribadah puasanya dihabiskan di negeri orang. Kini ia bisa kembali menikmati Ramadan di Indonesia. Syukron adalah mahasiswa S-2 ilmu pendidikan di Anhui Normal University, Republik Rakyat Cina (RRC). Sejak 2012 silam, sampai seminggu sebelum lebaran tahun lalu, Syukron sudah kenyang menjalani Ramadannya di negeri komunis tersebut.

Meneladani adagium “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, Syukron telah menjalani empat tahun terakhir hidupnya sebagai pelajar di sana. “Sekarang lagi mengerjakan tesis di sini (Indonesia). September nanti rencananya sudah balik ke sana lagi,” cerita Syukron pada Tirto.

Berkesempatan belajar ke negeri orang tentu saja sebuah pengalaman berharga. Begitu pula bagi Syukron. Kesempatan itu juga memberikannya pengalaman untuk menikmati Ramadan di sana. Sebagai Muslim, pengalaman itu memberinya pelajaran tentang sikap tenggang rasa dan toleransi. Syukron yang biasanya adalah masyarakat mayoritas di negerinya, kini dalam satu titik hidupnya, harus merasakan jadi kelompok minoritas di negeri orang.

“Ada banyak perbedaan, itu pasti,” kata Syukron.

Salah satu contohnya adalah durasi berpuasa. Di Indonesia, yang dilintasi garis ekuator, lamanya puasa di bulan Ramadan cenderung stabil setiap tahunnya. Rata-rata di angka 12-13 jam per hari. Di RRC, negeri sub-tropis, durasi ini sedikit lebih lama.

“Rata-rata sih 16 jam,” kenang Syukron.

“Sekitar jam 3 sudah sahur, bukanya sekitar jam delapan lebih sepuluh menit, untuk di awal-awal Ramadan.” Dan akan terus berkurang beberapa menit sampai akhir Ramadan, persis seperti yang terjadi di tempat-tempat lain.

Di tahun pertama, perbedaan waktu ini tentu jadi kendala bagi Syukron. Butuh penyesuaian diri. Belum lagi, sejak 2012 hingga tahun lalu di RRC, Ramadan selalu mampir di musim panas. Kebetulan, pada tahun pertamanya, Syukron menetap di Kota Nanchang, ibukota Provinsi Jiangxi. Letak geografisnya di selatan RRC, membuat musim panas di Nanchang lebih panas ketimbang di wilayah RRC lainnya, terutama di bagian tengah ke utara. Suhu rata-ratanya memang cuma 29 derajat, tapi di hari-hari tertentu, panasnya bisa mencapai 37-39 derajat celsius. Perbedaan lainnya adalah jumlah masjid, dan peraturan tentang masjid di RRC.

“Setiap kota biasanya cuma punya satu masjid,” kata Syukron. Dari kampusnya, satu-satunya masjid di Nanchang berjarak 1 sampai 1,5 jam naik kereta api bawah tanah atau bus.

infografik ramadan cina

Untuk kegiatan salat lima waktu masih bisa ia lakukan di kampus ataupun asrama. Sementara salat Jumat, masih terhitung gampang dilalui karena cuma seminggu sekali. Namun, ketika Ramadan tiba, Muslim disunahkan untuk melaksanakan Salat Taraweh yang dilaksanakan setiap malam hari Ramadan. Tentu saja, jarak Masjid Nanchang dan tempat tinggal Syukron jadi masalah. Ia jadi jarang menunaikan taraweh di masjid, alih-alih melaksanakan salat munfarid di rumah.

Di sana, Muslim adalah minoritas, pastinya suasana Ramadan tak akan sekental di Indonesia. Kebanyakan mayoritas bahkan tak tahu kalau umat Muslim sedang berpuasa karena Ramadan datang. Suasana Ramadan ataupun tidak cenderung sama saja. “Kadang kita tetap nongkrong dengan dosen, diskusi, diajak makan malah. Kalau sudah gitu, baru dijelaskan kalau sedang Ramadan, jadi puasa,” kata Syukron.

Selain perkara makanan, Syukron mengaku tak ada kendala. “Banyak restoran khusus masakan Muslim yang buka, bahkan saat puasa. Misalnya dipakai teman-teman perempuan yang sedang halangan,” tambah Syukron. Padahal, makanan adalah salah satu ihwal yang selalu jadi kendala Muslim ketika bepergian ke negara-negara mayoritas non muslim.

“Kalau dari yang saya alami sendiri, Ramadan di sana itu enak-enak saja sih. Makanannya enak, masjidnya bahkan lebih teratur daripada masjid-masjid di Indonesia. Tidak seperti kabar-kabar yang tersebar di sini,” ungkap Syukron.

Kabar yang dimaksudnya adalah berita tentang pelarangan berpuasa bagi Muslim oleh Pemerintah Xianjiang, RRC. Pada 2015 dan 2016, media di Indonesia kencang memberitakan hal ini. “Sebenarnya, bukan pelarangan. Pemerintah di sana kan punya target dalam setiap tahunnya, mereka cuma mau Ramadan tidak dijadikan alasan untuk tidak produktif. Muslim di sana dilindungi kok. Pada Idul Adha pertama saya saja, Kota Nanchang dihadiahi masjid baru oleh pemerintah,” kenang Syukron.

Fanny Yulia, salah seorang peneliti di Indonesia Indicator juga punya pandangan serupa. Ia yang pernah tinggal di RRC selama 1 tahun, dan menganggap pengalaman ber-Ramadan di sana berjalan baik. Namun, masalah perbedaan suhu dan durasi berpuasa yang cukup jadi tantangan, Fanny mengenang ibadah puasa Ramadan di RRC sebagai kenangan menyenangkan.

“Tinggal di negeri orang membuat kita mampu melihat diri dari perspektif yang lain,” kata Fanny. Pengalaman menjadi minoritas, setelah di negeri sendiri lahir sebagai mayoritas, membuat Fanny sadar betapa pentingnya saling memahami.

Menjadi minoritas juga membuat Fanny belajar soal bagaimana jumlah mereka yang sedikit justru mempererat solidaritas dan Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama Muslim di sana.

“Menurutku, merantau itu sebuah fase yang mesti dijalani untuk kita tahu siapa diri kita,” kata Fanny. “Tinggal di negeri orang juga menuntun saya untuk bisa mengerti pikiran orang lain, tanpa prasangka.”

Baca juga artikel terkait DUNIA RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra