tirto.id - Perang berkepanjangan yang terjadi di Timur Tengah telah mengubah tradisi menyambut bulan suci Ramadan, yang seharusnya diwarnai penuh sukacita, telah berubah jadi dukacita karena perang.
Seperti yang dilansir Al Jazeera, jutaan orang di Yaman tidak perlu menunggu puasa untuk tidak makan, setiap hari pun mereka kelaparan.
Fatima Salah (58) tidak tidur di siang hari seperti yang banyak dilakukan orang pada bulan Ramadan. Sebagai gantinya, dia mengembara di kota Sanaa mengunjungi tetangga dan toko-toko lokal, dengan harapan bisa mendapatkan cukup makanan untuk memberi makan keluarganya pada malam hari.
"Saya lelah dan haus karena berjalan kaki, dan saya telah berpuasa tanpa sarapan yang baik," kata Fatima kepada Al Jazeera, matanya dipenuhi air mata.
"Saya biasa hidup dengan bermartabat di rumah saya, dan bulan Ramadan adalah bulan terbaik saya, perang telah membuat kita kehilangan sukacita setiap hari, Ramadan terakhir baik-baik saja, tapi yang ini sangat sulit, kami berpuasa di siang hari dan kelaparan di malam hari.”
Bagi umat muslim di seluruh dunia, Ramadan seharusnya menjadi momen spiritual yang menyenangkan, tapi yang terjadi Yaman yang sedang dilanda perang, hanya ada sedikit ruang untuk bersukacita akhir-akhir ini.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengungkapkan bahwa 17 juta orang Yaman menghadapi kelaparan dan krisis kemanusiaan.
Perang yang terus berlanjut selama lebih dari dua tahun, telah membuat banyak keluarga di Yaman mengalami kemiskinan dan keputusasaan.
"Ini adalah bulan Ramadan, dan kemiskinan ini sudah sampai ke leher saya," kata Fatima. "Saya membutuhkan makanan untuk keluarga saya dan saya perlu membayar 20.000 rials [$80] untuk sewa rumah. Saya memiliki dua kekhawatiran tanpa henti: kelaparan dan penggusuran."
Ramadan tahun ini juga jatuh pada saat Yaman menghadapi epidemi kolera yang parah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada lebih dari 530 kematian dan lebih dari 65.000 kasus kolera yang dicurigai terjadi sejak April.
Mohamed al-Mokhdari, ayah dari 10 orang anak yang tinggal di Sanaa, mengatakan bahwa dia bersyukur anak-anaknya tidak menderita kolera namun tidak senang dengan situasi keseluruhan yang dihadapi orang Yaman selama bulan suci tersebut.
"Ramadan adalah saat yang spesial, sayangnya, saya tidak merasakan kebahagiaan yang pernah saya rasakan sebelum pelarian perang di Yaman ... Harga makanan tinggi dan uang sulit didapat di sini," Mokhdari mengatakan kepada Al Jazeera, sambil dengan lembut membelai jenggotnya.
Agar bisa mengatasinya, dua anak mudanya mulai mengumpulkan botol plastik dari jalanan dan menjualnya ke pabrik daur ulang, menghasilkan beberapa dolar sehari. Mokhdari sendiri menganggur, dan keluarganya tidak mampu merayakan hari raya Ramadan yang mewah bahkan buka puasa mereka seringkali hanya terdiri dari yoghurt dan roti.
"Sulit, kita hampir tidak menemukan nasi dan roti. Makan daging, ayam, sayuran dan buah hanyalah impian di Ramadan kali ini," katanya. "Kita kehilangan Ramadan yang dulu, ketika rumah dipenuhi dengan berbagai makanan di setiap rumah."
Abdulatif al-Hubaishi, pemilik toko kelontong di Sanaa, mengatakan bahwa permintaan barang makanan dari tokonya sudah sangat rendah Ramadan ini. "Telah terjadi penurunan permintaan hampir 50 persen dibandingkan tahun lalu," kata Hubaishi.
"Bahkan mereka yang datang ke toko terutama membeli gula, tepung dan beras. Barang-barang lainnya, seperti permen, kacang-kacangan dan sayuran, tidak diminati karena orang hanya bisa membeli bahan-bahan dasar."
Para konsumen yang biasanya berbelanja ke pasar selama Ramadan sebelumnya telah lenyap, karena kebanyakan keluarga tidak lagi memiliki cukup uang untuk membeli apa yang mereka butuhkan, tambahnya.
"Ramadan ini belum pernah terjadi sebelumnya," katanya. "Ini adalah Ramadan ketiga di masa perang di Yaman, ini adalah yang terberat karena gaji pegawai pemerintah telah ditahan selama sekitar sembilan bulan.
Setiap tahun, orang-orang di Yaman menghabiskan lebih banyak uang di bulan Ramadan; tahun ini, mereka tidak memiliki uang untuk dibelanjakan." Ekonom Yaman Saeed Abdulmomin sepakat bahwa keadaan menjadi sangat mengerikan tahun ini.
"Gaji tidak dibayar, harga telah melonjak dan bisnis stagnan," katanya kepada Al Jazeera, ia mencatat bahwa penurunan nilai mata uang Yaman yang terus berlanjut dan telah memperburuk situasi.
"Jatuhnya Rusia yang terus-menerus melawan dolar menyebabkan kenaikan harga, yang merupakan sumber penderitaan bagi orang miskin di seluruh negeri." Meskipun Ramadan akan berlangsung hanya satu bulan, tidak jelas berapa lama lagi rawa Yaman akan terus berlanjut.
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo