Menuju konten utama

Psikolog Harap Sekolah Lima Hari Tak Sampai Membebani Anak

Bila peraturan Hari Sekolah tetap diberlakukan, dalam tambahan jam pelajaran haruslah diisi dengan kegiatan yang lebih menyenangkan peserta didik.

Psikolog Harap Sekolah Lima Hari Tak Sampai Membebani Anak
Sejumlah siswa melihat materi pelajaran melalui perangkat tablet saat kegiatan belajar mengajar di sekolah percontohan program e-Sabak, SMPN 19 Depok, Jawa Barat, Selasa (27/1). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Perihal Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah, psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo berharap peraturan tersebut tidak sampai membebani peserta didik.

Mengingat, dalam Pasal 2 peraturan tersebut disebutkan hari sekolah dipangkas menjadi lima hari, tapi jam sekolah ditambah dari lima jam menjadi delapan jam.

"Semestinya kebijakan sekolah lima hari dikembalikan lagi ke tujuan semula yaitu mengurangi beban tekanan pada anak dan memberi kesempatan untuk lebih banyak waktu bersama keluarga," kata Vera kepada Tirto, Selasa (13/6/2017).

Selanjutnya, Vera menyatakan bila peraturan tersebut memang mesti tetap diberlakukan, dalam tambahan jam pelajaran haruslah diisi dengan kegiatan yang lebih menyenangkan peserta didik.

"Sebaiknya diisi dengan kegiatan yang lebih menyenangkan dan mengembangkan potensi anak di bidang non akademis seperti olahraga, ketrampilan atau seni," kata Vera menjelaskan.

Menurutnya, bila dalam praktiknya seperti demikian akan berdampak baik bagi sisi psikologis peserta didik. Karena, peserta didik akan mempunyai waktu untuk dapat mengembangkan sisi kemampuan non-akademis mereka.

"Jika jam sekolah justru ditambah sampai sore dan diisi dengan pelajaran lagi atau anak-anak malah dibebani PR berlebihan di hari liburnya, tentu tujuan yang ditetapkan sebelumnya seperti yang saya sebutkan di atas, akan sulit tercapai," jelasnya.

Sementara itu, mengenai hal ini, psikolog anak Kasandra Putranto juga menyebut secara neuropsikologis anak perlu memaksimalkan otak dengan berbagai kegiatan secara seimbang. Seperti mempelajari musik, olahraga, budaya, keterampilan, seni, bahasa, dan sosial.

"Otak yang hanya dipaksa mempelajari satu jenis pengetahuan namanya brainwashing, dan itu melanggar hak anak," kata Kasandra pada Tirto, Selasa.

Dirinya pun masih menyangsikan kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia. Karena, menurutnya, kurikulum yang ada di negeri ini masih mengandung unsur-unsur kekerasan karena anak dipaksa belajar di luar kemampuannya.

"Jika kualitas kurikulum, tenaga pengajar dan siswa tidak tepat bisa menjadi fatal," katanya.

Dalam Pasal 5 Permendikbud ini dijelaskan bahwa isi dari penambahan jam pelajaran tersebut berupa kegiatan ektrakurikuler, intrakurikuler, dan kokurikuler.

Adapun kegiatan intrakurikuler mencakup kurikulum sesuai dengan perundang-undangan, sedangkan kokurikuler berkaitan dengan penguatan dan pendalaman kompetensi dasar atau indikator pada mata pelajaran/bidang sesuai dengan kurikulum.

Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler mencakup pengembangan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian peserta didik.

Dari pasal tersebut, dapat diartikan dalam praktik peraturan sari sekolah lima hari ini juga masih mencakup perihal pendidikan sesuai dengan kurikulum atau tidak hanya sekadar pendidikan minat dan bakat seperti yang dimaksud Vera.

Baca juga artikel terkait FULL DAY SCHOOL atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Yuliana Ratnasari