tirto.id - Ole Gunnar Solskjaer jadi pahlawan Manchester United pada final Liga Champions 1999. Ketika injury time, pria asal Norwegia ini sukses menjebloskan bola ke gawang Bayern Munich dan membuat tim unggul 2-1. United pun resmi jadi raja Eropa.
Di Paris, Perancis, sekitar dua dekade setelah momen ajaib itu, Solskjaer kembali bikin sensasi. Sebagai pelatih, ia berhasil membawa United--yang dalam keadaan compang-camping--lolos ke babak perempat-final Liga Champions setelah secara mengejutkan mengalahkan tuan rumah PSG 1-3 (agregat 3-3, tapi United unggul gol tandang).
Dikatakan mengejutkan karena dalam pertandingan itu United bermain tanpa sembilan pemain utama. Mereka juga dimusuhi sejarah setelah kalah 0-2 pada pertandingan leg pertama serta dianggap sebelah mata.
Namun Solskjaer ternyata tak tahu caranya menyerah. Sebelum pertandingan digelar, setiap kali ditanya tentang peluang Setan Merah untuk lolos, ia selalu menjawab dengan yakin: “klub ini terbiasa membalikkan keadaan.”
Dan demikianlah yang terjadi. Pada injury time, Marcus Rashford mengambil ancang-ancang. Ia berani menatap mata Gianluigi Buffon, kiper yang gampang bikin bikin ciut para penyerang. Satu langkah, dua langkah, dan Rashford menendang bola tanpa rasa takut. Bola melaju kencang, menembus pengalaman Buffon, lalu membuat jala PSG bergetar.
Rashford mencetak gol dari titik putih, yang belum pernah ia lakukan pada musim ini. Dan itu adalah gol kemenangan.
“Anda melatihnya setiap hari dan aku ingin mengambil [penalti itu]. Itu barangkali hal paling sulit untuk dilakukan, tapi aku menunggunya. Momen itu adalah alasan kami tetap berjuang,” tutur Rashford.
Setelah pertandingan bubar, Solskjaer lantas mengepalkan tangannya ke udara. Di ruang ganti, ia kembali melakukan hal serupa, tapi tidak sendirian. Ia melakukan itu bersama Alex Ferguson serta Éric Cantona, dua orang yang pernah membuat sejarah Setan Merah terang benderang.
“Ini adalah Manchester yang sesungguhnya. Bermain dengan kepercayaan, para pemain muda, dan penuh komitmen. Bermain untuk satu sama lain, bermain mewakili seragam kebanggaan, menyalakan cahaya di tengah badai cedera, menolak untuk tunduk terhadap lawan yang memiliki pemain-pemain terkenal. [Mereka] tidak pernah menyerah dan menang,” tutur Henry Winter, penulis The Times.
Winter melanjutkan pujian setinggi langitnya. “United di bawah asuhan Solskjaer adalah United di bawah asuhan Sir Alex Ferguson dan Sir Matt Busby.”
Dan pujian Henry Winter tak berlebihan sama sekali.
Bermain dengan formasi 4-4-2, United tampak bertahan total dalam pertandingan itu. Garis pertahanan mereka rendah, jarak antar lini dan antar pemain begitu rapat. Meski begitu, saat pemain-pemain PSG berhasil merebut bola di daerah pertahanan mereka sendiri, pemain-pemain United langsung meledak untuk melakukan pressing.
Pendekatan taktik itu mempunyai satu tujuan: menghentikan alur bola ke Kylian Mbappé. Alasannya, penyerang asal Perancis itu tidak bisa dihentikan dengan garis pertahanan tinggi maupun rendah; dia selalu berbahaya setiap kali mendapatkan bola.
Semula, taktik itu tak berpengaruh apa-apa bahkan setelah United sempat unggul melalui gol Romelu Lukaku. Mbappé masih terlalu cerdik untuk dihentikan.
Di dalam kota penalti, di tengah rapatnya pertahanan United, anak muda ini masih mampu menemukan ruang kosong. Bola lantas sampai ke kakiknya. Ia mengumpan dan Juan Bernat berhasil menyamakan kedudukan.
Belakang PSG Rapuh, dan Solskjaer Tahu Itu
Pada babak kedua, United tidak lagi bertahan dengan formasi 4-4-2, melainkan dengan 5-4-1. Diogo Dalot, gelandang kanan United, turun ke belakang hingga berdiri sejajar dengan pemain-pemain bertahan. Posisi Ashley Young, full-back kanan United, digeser agak ke dalam, memastikan bahwa Ángel Di María tidak berbuat macam-macam.
Perubahan taktik ini memang membuat banyak suporter mengernyitkan dahi. United kalah 0-2 pada pertandingan pertama, tapi sang pelatih malah bermain lebih bertahan, alih-alih menyerang. Jonathan Wilson, analis sepakbola Inggris, bahkan sempat menyebut “United kehabisan akal.”
Namun, karena keyakinan Solskjaer, Wilson kelak meralat ucapannya.
Di balik pendekatan itu, Setan Merah masih punya rencana rahasia. Dan Fred, gelandang United yang sebelumnya hanya menjadi penghangat bangku cadangan, menjadi lakon utamanya.
Gelandang asal Brasil tersebut sangat tenang saat menguasai bola. Nyaris tidak pernah melakukan kesalahan dan tahu bagaimana caranya mengumpan ke depan. Ia paham betul ke arah mana harus mengumpan untuk memastikan roda serangan United tetap bergerak.
Statistik lantas memberi bukti: Fred mengirimkan umpan 32 kali, dan enam di antaranya merupakan umpan lambung yang tak pernah salah tujuan.
Dari cara bertahan dan dari umpan-umpan ke depan itulah United akhirnya mampu memenangkan pertandingan.
Meski pemain-pemain tengah dan depan PSG berkualitas lebih baik daripada pemain-pemain United, pemain belakang mereka ternyata serapuh orang-orang patah hati. Asalkan United bisa menyerang, sejarang apa pun itu, mereka masih mempunyai harapan.
Alhasil United mampu mencetak tiga gol, dan Jonathan Wilson menulis, “tiga gol Unied berasal dari kesalahan-kesalahan: kesalahan Thilo Kehrer, Buffon, dan lalu Presnel Kimpembe.”
Kemenangan itu, sekali lagi, membuat orang sadar bahwa Solskjaer adalah sosok ajaib. Ia setan dalam detail, penuh keyakinan, selalu berkata positif, dan tak pernah kalah.
Lantas, apakah ia memang pantas menjadi pelatih tetap United? Setidaknya Gary Neville berpikir demikian.
“Dia akan mendapatkannya [menjadi pelatih tetap United]. Ia akan menjadi Raja dari Norwegia, Perdana Menteri dari Norwegia [setelah ini]. Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Selama tiga bulan ini, ia sangat sensasional," ujar Neville setelah pertandingan.
Editor: Rio Apinino