Menuju konten utama

Proyek Bandara Kulon Progo Konsekuensi dari ASEAN Open Sky

Peneliti dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM menyebut rencana pembangunan bandara internasional Kulonprogo merupakan salah satu konsekuensi dari pemberlakuan ASEAN OPEN SKY 2015.

Proyek Bandara Kulon Progo Konsekuensi dari ASEAN Open Sky
Potret aerial pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat, Majalengka. Foto/Doc.BIJB

tirto.id - Peneliti dari Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM menyebut rencana pembangunan bandara internasional Kulonprogo merupakan salah satu konsekuensi dari pemberlakuan "ASEAN Open Sky 2015."

Selain di Kulonprogo, terjadi pula pembangunan bandara di daerah lain seperti Majalengka dengan rencana pembangunan Bandara Kertajati, Bandara Singkawang di Kalimantan Barat, Bandara Banten Selatan, Bandara Baru Bali di Bali Utara, dan Bandara Baru Samarinda di Kalimantan Timur.

Untuk diketahui, pembangunan bandara merupakan implementasi dari perjanjian open sky yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN dalam deklarasi ASEAN pada bulan Oktober tahun 2003 di Bali, Indonesia. Dalam perjanjian disebutkan, pembangunan bandar udara dilakukan secara bertahap.

“Demi mengejar janji besar tentang pertumbuhan ekonomi dari Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Invstment) yang akan membawa kesejahteraan warga, pemerintah Indonesia membuka pasar selebar-lebarnya. Pilar-pilar kedaulatan berupa regulasi-regulasi pro rakyat pun diruntuhkan dan diganti dengan regulasi-regulasi yang ramah pasar (market friendly),” ujar AB Widyanta, salah seorang peneliti dari PSPK dalam diskusi bertajuk “Potret HAM dalam Sengketa Tanah Bandara,” di PUSHAM UII Yogyakarta, Rabu (21/12/2016).

Widyanta mengungkapkan lembaganya mengamati pihak-pihak yang bertanggung jawab pada pembangunan ini memanfaatkan momentum dunia yang sedang berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan di bidang pariwisata dan service atau industri jasa pelayanan.

Sayangnya, menurut Widyanta, pemerintah seperti lupa bahwa Indonesia adalah negara agraris di mana hidup masyarakat yang sebenarnya ialah dengan mengolah tanah.

Dengan rencana-rencana pembangunan tersebut, ia menegaskan saat ini pemerintahan Presiden Joko Widodo mewariskan perangkap persoalan gigantis bagi bangsa ini ke depan, terutama kaum lemah, miskin, terpinggirkan, dan termarjinalkan.

“Efeknya nanti akan memperlebar jurang kemiskinan, kaum miskin (petani, nelayan, buruh) akan mengalami economic genocide,” kata Widyanta.

Widyanta mengungkapkan jika pemerintah masih berkomitmen dengan kedaulatan pangan, sudah semestinya jika tidak berkiblat pada industri jasa melainkan fokus pada industri pangan untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman krisis pangan di masa depan.

Baca juga artikel terkait BANDARA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh