tirto.id - Harmoko adalah politikus Indonesia yang aktif pada masa Orde Baru hingga awal era Reformasi. Sebagai politikus, Harmoko punya rekam jejak mentereng, ia pernah menjadi Menteri Penerangan selama tiga periode (1983 hingga 1997), Ketua Umum Partai Golkar, hingga ketua MPR RI (1997-1998).
Bernama lengkap Harun Mohamad Kohar, Harmoko dikenal sebagai politikus yang dekat dengan Soeharto ketika menjabat sebagai Menteri Penerangan. Para pengkritik Orde Baru seringkali menyebut Harmoko sebagai orang yang sangat oportunis, terutama pada Soeharto.
Seperti tertuang dalam buku Golkar Retak? (1999) yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi, Harmoko disebut sebagai sebagai pejabat yang mematok target "asal bapak senang", alias menuruti segala apa yang dikatakan pimpinannya yakni Soeharto.
Lantas seperti apa profil, kisah hidup dan sepak terjangnya Harmoko dalam dunia politik?
Berawal dari Wartawan
Harmoko lahir di Nganjuk, Jawa Timur pada 7 Februari 1939 dan meninggal pada 4 Juli 2021 atau tepat di usia 82 tahun.
Sebelum dikenal sebagai politikus Orba, Harmoko lebih dulu meniti kariernya sebagai wartawan. Setelah lulus SMA pada awal tahun 1960-an, ia memulai kariernya menjadi wartawan untuk Harian Merdeka dan Majalah Merdeka pimpinan B.M. Diah.
Menurut catatan Perpustakaan Nasional, Harmoko kemudian menjadi wartawan untuk HarianAngkatan Bersenjata, media yang berafiliasi dengan ABRI, pada 1964. Setahun berselang, pada 1965, ia masuk jajaran wartawan Harian API dan majalah berbahasa Jawa, Merdiko.
Ketika menjadi wartawan Harmoko pernah menelan pil pahit ketika surat kabar tempatnya bekerja ditutup pemerintahan Sukarno. Namun, pada masa Orde Baru, karier Harmoko melejit.
Tepat pada tahun 1970, Harmoko menjadi salah satu pendiri surat kabar Pos Kota. Koran Pos Kota merupakan "koran kuning" yang banyak digemari di Jakarta.
James T. Siegel dalam Penjahat Gaya [Orde] Baru (1998, hlm. 42), menyebut Pos Kota sebagai koran yang unik di Jakarta, "...bukan hanya karena daya pikatnya pada kelas bawah, tapi juga unik karena menjadi sumber rasa malu bagi kelas menengah Indonesia yang kedapatan memegangnya."
Harmoko dan pendiri Pos Kota lainnya memang bermaksud menjadikan Pos Kota sebagai bacaan untuk masyarakat kelas bawah. Sebagaimana yang dikatakan Harmoko dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984 (1984, hlm. 266), “Saya ingin koran saya dibaca kalangan bawah.”
Pendekatan Harmoko dan pendiri Pos Kota lainnya yang mengkhususkan diri pada cerita-cerita kejahatan di masyarakat urban, penggunaan gaya bercerita bombastis, dan tak mengkritik pemerintah membuat Pos Kota ramai dibeli orang dan tak menghadapi risiko disensor negara.
Pada 1970, sembari mengasuh Pos Kota, Harmoko kemudian ditunjuk sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta Raya. Tiga tahun berselang pada 1973, ia ditunjuk menjadi Ketua PWI Pusat. Hubungan Harmoko dengan Soeharto menghangat dari sini.
Jabatan sebagai Ketua PWI Pusat membuat Harmoko sering bertemu Soeharto. Pengetahuannya tentang komunikasi massa dan hubungan baik yang tercipta dengan Soeharto, pada akhirnya membuat Harmoko ditunjuk sebagai Menteri Penerangan pada 1983.
Menjadi Menteri Penerangan
Terbiasa berkutat pada cara kerja komunikasi massa ketika menjadi wartawan, membuat jalan Harmoko sebagai Menteri Penerangan lebih mudah.
Harmoko fasih menyebarkan informasi pemerintah ke publik, sembari membentuk citra positif pemerintah di mata publik. Hal tersebut ia lakukan, misalnya, lewat acara-acara propagandis macam Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pirsawan (Kelompencapir) serta Safari Ramadan.
Selain itu, ia juga menjadi juru bicara yang baik bagi Soeharto lantaran kemampuannya memoles sosok Soeharto sebagai sosok pemimpin besar yang dibutuhkan rakyat Indonesia waktu itu. Seperti misalnya yang ia lakukan lewat memoar “Pak Harto Lebih Sebagai Negarawan Daripada Seorang Jenderal” yang terhimpun dalam Di Antara Para Sahabat, Pak Harto 70 Tahun (1991).
Dalam memoar tersebut, Harmoko menjelaskan kekagumannya pada Soeharto bahkan ketika ia pertama melihat Sang Jenderal dari dekat saat menonton pertandingan Persis Solo. "Beliau tampak masih sangat muda dan gagah. Sebagai anak remaja yang masih duduk di bangku SMP, pada waktu itu saya sudah memperhatikan beliau," tulisnya.
Sepak terjang Harmoko sebagai Menteri Penerangan berbuah manis bagi Harmoko. Pada 1993, ia ditunjuk sebagai Ketua Umum Golkar. Posisi ini merupakan jabatan yang istimewa pada masa Orba karena selalu diisi oleh orang-orang kepercayaan sang Presiden.
Golkar, MPR, dan Runtuhnya Orba
Dekade 1990-an merupakan masa tersibuk bagi Harmoko. Dalam rentang waktu tersebut, Harmoko memegang beberapa jabatan, mulai dari Menteri Penerangan hingga 1997, Ketua Umum Golkar sejak 1993, Menteri Urusan Khusus pada 1997, hingga Ketua MPR pada 1998.
Terpilihnya Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar sempat membuat geger para petinggi organisasi tersebut. Sebab, Harmoko merupakan orang sipil yang memutus tradisi perwira militer sebagai Ketua Umum Golkar.
Ketidaksukaan kalangan militer pada pengangkatan Harmoko misalnya telihat pada komentar anggota fraksi ABRI di DPR, Mayor Jenderal Raja Kami Sembiring Meliala. Sebagaimana dicatat Cees Van Dijk dalam “The Year 1993: 1998 Casts its Shadow”, Sembiring Meliala menyebut Ketua Umum Golkar mesti dari militer.
Nada ketidaksukaan itu juga ditunjukkan oleh Panglima Kopkamtib periode 1971-1974, Jenderal Soemitro.
"Pak Mitro tidak suka Harmoko secara pribadi yang dinilainya oportunis dan tukang ngolor belaka," ungkap anggota fraksi ABRI di MPR periode 1993-1995, Letnan Jenderal Sayidiman, sebagaimana tercatat dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2006).
Akan tetapi, tanpa dinyana-nyana, di bawah kepemimpinan Harmoko, Golkar berhasil memenangkan pemilu 1997. Kemenangan tersebut, menjadi kemenangan terakhir Golkar dalam pemilu hingga hari ini.
Hubungan Harmoko-Soeharto juga sempat diselimuti tanda tanya, ketika Harmoko dicopot dari jabatan Menteri Penerangan pada 1997 dan diganti menjadi Menteri Urusan Khusus. Beberapa pihak menyebut keputusan ini sebagai cara istana menyingkirkan Harmoko.
Namun, jabatan Menteri Urusan Khusus tak lama dipegang Harmoko lantaran ia kemudian masuk parlemen dan ditunjuk sebagai Ketua DPR/MPR pada 1 Oktober 1998.
Ketika Harmoko menjabat ketua DPR/MPR, Orba telah masuk usia senja. Stabilitas politik yang selalu digembor-gemborkan rezim Orba terus menerus goyah.
Ketika eskalasi gerakan Reformasi kian membesar, Soeharto memberi satu tugas berat pada Harmoko untuk mencari tahu apakah rakyat masih menginginkan Soeharto menjadi presiden.
Jawaban atas tugas itu—seperti ditulis Djaja Suparman dalam Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman (2013, hlm. 61)—adalah, “Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya.”
Namun sejarah mencatat hal yang sebaliknya. Gerakan Reformasi yang membesar menuntut turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Situasi tersebut kemudian membuat Harmoko yang semula mendorong Soeharto tetap menjadi presiden, mengubah sikapnya.
Sebagaimana dikutip Kompas (19/05/1998) dan Media Indonesia (19/05/1998), Harmoko menyarankan pengunduran diri Presiden Soeharto.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Alexander Haryanto