tirto.id - "Di Brunei, rasanya merokok seperti sedang melakukan perbuatan jahat.”
Agus Sighro tidak sedang merangkai bait-bait jadi sebuah syair nan indah atau pula tengah meracau. Ia sedang menggerutu. Penyair ini mengerutu lantaran kesulitan menghisap rokok hingga harus sembunyi-sembunyi saat bertandang ke Brunei Darussalam. Penyair Jawa Timur ini dan rekannya sempat ke di Brunei dalam pertemuan Penyair Nusantara IV di Bandar Seri Begawan, 16 -19 Juli 2010 silam.
Saat itu, negeri yang dipimpin Sultan Hassanal Bolkiah ini telah menerapkan larangan merokok di tempat umum. Bahkan sejak Oktober 2010, mulai diberlakukan ketentuan lebih ketat soal izin menjual rokok bagi toko ritel di gedung-gedung pemerintahan, pasar, warung, dan berjarak 1 km dari sekolah.
Dalam sebuah laporan terbaru Februari 2017 yang berjudul “A Snapshot of the Tobacco Industry in the ASEAN Region” yang dibuat Southeast Asia Tobacco Control Alliance, Brunei termasuk negara yang paling banyak memberlakukan larangan promosi atau iklan produk rokok. Dari 7 item seperti iklan langsung, promosi, sponsorship, pos, CSR, tampilan pada kemasan, dan iklan lintas batas, hanya satu yang masih diizinkan secara parsial—yakni iklan rokok lintas batas.
Dalam laporan yang sama, Brunei sebagai negara yang tak memiliki industri manufaktur rokok. Brunei 100 persen menggantungkan rokok impor dari Indonesia dan Vietnam. Rokok buatan Kota Kudus, Djarum Super paling populer di negeri berpenduduk sekitar 400.000 jiwa ini. Di Indonesia sendiri, rokok lokal paling populer justru A Mild, pabrikan Philip Morris International (PMI), dan rokok impor populer adalah Marlboro yang juga dari PMI.
Apa yang terjadi di Brunei dan Indonesia jadi contoh bagaimana ASEAN sebagai sebuah kawasan ditelaah dari kacamata bisnis rokok. Aspek pasar, harga, regulasi, dampaknya dan lain-lain—menjadi teropong untuk melihat peta dunia rokok di kawasan berpenduduk sekitar 600 juta jiwa ini—sebagai bagian dari pangsa pasar rokok di dunia.
Di ASEAN diperkirakan ada 122 juta perokok, dan terus bertambah dari kalangan perokok muda. Jumlah ini lebih dari 10 persen dari perokok dunia versi WHO pada 2015 yang mencapai lebih dari 1,1 miliar perokok. Setiap tahunnya diperkirakan ada 5,6 triliun batang rokok terjual. Ini sama saja setiap orang rata-rata menghabiskan 5.000 batang per tahun atau 13 batang per hari—setara lebih 1 bungkus per hari per orang.
Jumlah itu diperebutkan oleh 10 besar pemain industri rokok global. Statista mencatat China National Tobacco Corporation (CNTC) masih pemegang pangsa pasar terbesar hingga 42 persen, Philip Morris International (PMI) dan British American Tobacco (BAT) masing-masing 14 persen dan 10 persen. Nama Gudang Garam asal Indonesia terpampang dengan pangsa pasar 1,2 persen di belantika industri rokok global.
Masuknya Gudang Garam dalam daftar produsen rokok papan atas global tak mengejutkan. Laporan Euromonitor International per Agustus 2016, perusahaan yang didirikan pada 1958 oleh Tjoa Jien Hwie alias Surya Wonowidjojo merupakan pemegang pangsa pasar rokok terbesar di Indonesia, dengan torehan 28,8 persen, atau hanya unggul tipis dari HM Sampoerna sebesar 28,7 persen. Djarum membuntuti keduanya dengan pangsa pasar 12,4 persen, sisanya ada Bentoel (British American Tobacco) 7,4 persen, lalu ada PMI 6,6 persen, Nojorono 6,4 persen, Wismilak 0,7 persen, KT&G 0,4 persen dan lainnya 8,4 persen.
Kenyataan yang ada di Indonesia relatif berlawanan dengan negara-negara di ASEAN. Pasar Kamboja misalnya dikuasai penuh oleh produsen rokok asal Inggris Imperial Tobacco Group yang mengambil porsi 38 persen. Pasar rokok Malaysia dikuasai BAT hingga 62 persen, atau Singapura dikuasai PMI hingga 47 persen.
Selain unggul dalam hal merek lokal yang jadi tuan rumah, pada 2015 penjualan rokok Indonesia adalah masih yang terbesar di kawasan dengan jumlah 248 miliar batang per tahun, disusul Filipina 90 miliar batang, Vietnam 79 miliar batang. Hingga 2020, Indonesia masih diprediksi akan tetap merajai penjualan rokok di kawasan hingga 281 miliar batang.
Sehingga wajar saja Indonesia pun tercatat sebagai negara dengan pangsa pasar rokok terbesar keempat di dunia bersama Filipina yang masuk sembilan besar pasar rokok global. Indonesia juga negara ASEAN dengan ekspor rokok terbanyak hingga 31,5 miliar batang, dibayangi oleh Singapura dan Vietnam masing-masing 27 miliar batang dan 23 miliar batang. Keuntungan dari ini, bagi pemerintah tentu potensi menambah kas negara lebih besar dari negara lainnya. Pemasukan kas pemerintah Indonesia dari rokok memang yang terbesar di kawasan, pada 2015 mencapai $10,6 miliar, dibandingkan dengan Brunei yang hanya $196.000.
Dalam hal pajak, Indonesia memang masih sedikit di bawah negara lain untuk penetapan pajak rokok terhadap harga rokok yang dijual eceran. Di ASEAN, negara yang paling tinggi menerapkan pajak rokok adalah Thailand hingga 70 persen dari harga ritel, disusul Singapura dan Brunei masing-masing 66 persen dan 62 persen. Konsekuensinya, harga rokok di Indonesia masih “ramah” dengan kantong konsumen. Harga rokok di Indonesia sekitar $1,4 per bungkus untuk merek asing. Bandingkan dengan harga rokok di Singapura bisa mencapai $9,6 per bungkus, Brunei—harga rokok di sana bisa mencapai $5,1 per bungkus.
Rokok yang relatif murah dan prevalensi perokok di Indonesia yang tertinggi di ASEAN, maka Indonesia harus menanggung konsekuensi dari biaya kesehatan akibat rokok yang jomplang dengan penerimaan pajak dari rokok. Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), November tahun lalu mengungkapkan pada 2015 biaya kesehatan akibat rokok mencapai US$ 28 miliar, sedangkan rata-rata penerimaan pajak dari rokok hanya US$ 7,9 miliar per tahun. Bisa dibilang Indonesia termasuk paling tekor dari negara-negara ASEAN.
Ucapan sang penyair asal Indonesia bahwa merokok seolah sedang berbuat jahat, tentu ini akan diamini bagi mereka yang anti dengan rokok. Sadar atau tidak sadar, negara asal sang penyair—adalah juara untuk urusan rokok, karena pemerintahnya masih berharap dari penerimaan pajak dari rokok dan mempertimbangkan keberlangsungan bisnis rokok yang sebagian besar mengakar dari lokal.